Suku Caniago: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Dikembalikan kemungkinan menambah konten tanpa referensi atau referensi keliru Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Menolak 3 perubahan teks terakhir (oleh 182.0.137.181, 182.0.231.205 dan 182.0.234.231) dan mengembalikan revisi 17316664 oleh Rachmat04
Tag: Pengembalian manual
Baris 1:
{{pemastian}}
 
'''Suku Chaniago '''adalah suku(klan) / (marga) pribumi di Sumatra Baratasal yang dibuatdibawa oleh ''[[Datuk Perpatih Nan Saba TangSebatang]]'', Nan Saba adalah bahasa Minang berarti orang sabar yang merupakan salah satu suku induk di [[Minangkabau]] selain [[suku Koto]], [[suku Piliang]] dan [[suku Bodi]]. Suku Chaniago memiliki falsafah hidup [[demokrasi|demokratis]], yaitu dengan menjunjung tinggi falsafah "''bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat. Nan bulek samo digolongkan, nan picak samo dilayangkan''" artinya: "Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat". Dengan demikian pada masyarakat suku Chaniago semua keputusan yang akan diambil untuk suatu kepentingan harus melalui suatu proses [[musyawarah]] untuk [[mufakat]].
 
Falsafah tersebut tercermin pula pada bentuk [[arsitektur]] rumah adat bodi Chaniago yang ditandai dengan tidak terdapatnya [[anjuang]] pada kedua sisi bangunan [[Rumah Gadang]]. Hal tersebut menandakan bahwa tingkat kasta seseorang tidak membuat perbedaan perlakuan antara yang tinggi dengan yang rendah. Hal yang membedakan tinggi rendahnya seseorang pada masyarakat suku Chaniago hanyalah dinilai dari besar tanggung jawab yang dipikul oleh orang tersebut. {{fact}}
 
Salah satu falsafah lain untuk mencari kata kesepakatan dalam mengambil keputusan pada suku Chaniago adalah "''aia mambasuik dari bumi''" artinya suara yang harus didengarkan adalah suara yang datang dari bawah atau suara itu adalah suara rakyat kecil, baru kemudian dirembukkan dalam sidang musyawarah untuk mendapatkan sebuah kata [[mufakat]] barulah pimpinan tertinggi baik raja maupun penghulu yang menetapkan keputusan tersebut.{{fact}}
 
Identik dengan identitas Islam, karena raja Budha Majapahit sudah mememeluk Islam dengan Wali Songo (Wali Sembilan) yang diantaranya para pangeran atau bangsawan Majapahit, oleh karena itu tidak ada pilihan lain sebagai keluarga Budha Chaniago (Bodi Chaniago) harus bulat memeluk Islam mengikuti Majapahit agar keluarga Budha tidak pecah seperti Majapahit di Bali, sesuai falsafah Minang "bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat. Nan bulek samo digolongkan, nan picak samo dilayangkan" artinya: "Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat".
 
== Pecahan Suku ==
# Sumagek
Baris 59 ⟶ 56:
* [[Albert Rahmat Chaniago]]
* [[Deo Saputra Chaniago]]
* [[Arfan Septiadi Chaniago ]]
*Abdurohim Chaniago
{{endDiv}}