Perang Besar Cirebon: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 279:
 
[[File:Albertus_Henricus_Wiese_(1810).jpg|thumb|200px|left|Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese]]
Di Batavia pada tahun 1803, setelah hancur oleh serangan British pada tahun 1800<ref name="dinascagarbudayadki" />, pulau [[Onrust]] yang merupakan benteng pertahanan Batavia oleh Belanda dibawah pimpinan [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Johannes_Siberg Gubernur Jenderal Johannes Siberg] (menantu dari [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Willem_Arnold_Alting Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting]) berusaha direstorasi kembali<ref>[https://amp.kompas.com/properti/read/2019/01/19/070000821/onrust-pulau-pengasingan-yang-jadi-rebutan-inggris-dan-belanda Haryanti, Rosiana. 2019. Onrust, Pulau Pengasingan yang Jadi Rebutan Inggris dan Belanda. ][[Jakarta]]: Kompas</ref>, sementara itu di Cirebon, Sultan Muhammad Chaeruddin baru saja meninggal dunia dan sebagai penggantinya, Imamuddin yang telah ditunjuk sebagai putera mahkota sejak 1798 menggantikan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan oleh Belanda ke Ambon naik tahta menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Sultan Anom V Abu Soleh Imamuddin<ref>Suryawan. 2014. Srabad Dalam Seni Rupa Tradisi Cirebon. [[Yogyakarta]]: Institut Seni Indonesia Yogyakarta</ref> dan hal ini disetujui oleh Belanda<ref name="monique" />, dijelaskan kondisi sosial pada saat itu bahwa bencana kelaparan dan wabah penyakit sempat melanda Cirebon sejak akhir abad ke 18, mengakibatkan banyak penduduk Cirebon meninggal dunia.<ref name="paramita1">Paramita R. Abdurachman, 1982, Cerbon, Jakarta: Sinar Harapan</ref>, dalam narasinya Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) mengatakan bahwa sejak naiknya Imamuddin menjadi Sultan di kesultanan Kanoman maka banyak hal buruk yang terjadi tidak hanya soal banyaknya warga yang sakit dan meninggal namun juga hal hal lain seperti kosongnya bulir bulir padi yang ditanam<ref name="monique" />, permasalahan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan ke [[Ambon]] tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1805, perwakilan masyarakat Cirebon sekitar 1000 orang berdatangan guna melakukan ''long march'' (berjalan kaki) untuk menemui Gubernur Jenderal mereka datang untuk menuntut hak Pangeran Raja Kanoman bertahta menggantikan ayahnya Sultan Anom Muhammad Chaeruddin<ref name="bochari" /> yang telah meninggal pada [[1803]]<ref name="lasmiyatianom" />, perwakilan masyarakat Cirebon itu mengatakan bahwa Imamuddin tidak berhak menjadi Sultan di kesultanan Kanoman karena masih ada Pangeran Raja Kanoman yang lebih berhak, dinarasikan oleh Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) bahwa perwakilan masyarakat Cirebon tersebut menghubung-hubungkan kejadian buruk di Cirebon dari mulai banyaknya masyarakat yang sakit dan meninggal hingga kejadian dimana bulir bulir padi yang ditanam namun tidak ada isinya yang menyebabkan kelaparan dengan naiknya Imamuddin sebagai Sultan di kesultanan Kanoman<ref name="monique" />, Pejabat Belanda untuk wilayah Kesultanan Cirebon pada masa itu Simon Hendrik-Rose kemudian mengajukan permohonan pada tanggal 26 Februari 1805<ref name=":2" /> agar pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengeluarkan sebuah peraturan kepada para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan nasyarakat Cirebon yang akan menemui Gubernur Jenderal, permohonan Simon Hendrik-Rose selaku pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon dikabulkan dengan dikeluarkannya surat keputusan (''besluit'') 15 Maret 1805 yang berisi perintah kepada para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan masyarakat Cirebon, berdasarkan ''besluit'' tersebut maka bupati [[Karawang]] diperintahkan agar mencegah rombongan tersebut ke Batavia, Belanda kemudian mengirimkan kapal ke pesisir Cilincing (sebelah timur kota Batavia) untuk mengangkut para rombongan masyarakat Cirebon dan pada tanggal 177 Mei 1805 rombongan tersebut kembali ke Cirebon<ref name=":2">Ekadjati, Edi Suhardi. 1982. Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di daerah Jawa Barat. [[Jakarta]]: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional</ref>, mendengar hal ini [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Albertus_Henricus_Wiese Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese] yang secara resmi mulai menjabat pada 15 Juni 1805 dikemudian hari mengabulkan permintaan perwakilan masyarakat Cirebon dengan memulangkan Pangeran Raja Kanoman dari pengasingannya di Ambon, hal tersebut dilakukan karena Belanda tidak mau masalah ini menjadi lebih panjang lagi yang nantinya akan berimbas kepada peperangan yang lebih besar lagi dengan Cirebon, karena dengan pertempuran yang sekarang sedang berlangsung dengan para pejuang sudah banyak korban dari pihak Belanda<ref name="monique" />,
 
Persoalan hak waris Sultan Kanoman ke empat, Sultan Anom Chaeruddin Muhammad Chaerudin yang seharusnya diberikan kepada putera mahkotanya yaitu ''Pangeran Raja Kanoman'' yang telah diasingkan Belanda ke Ambon dianggap sebagai penyebab timbulnya pemberontakan. Rakyat melakukan pemberontakan dan mengidentifikasi diri dengan Sultan Kanoman yang tercabut hak warisnya (Pengeran Raja Kanoman yang dibuang dan sulit mengklaim haknya) . Para pemberontak ini berhasil dihimpun Bagus Rangin untuk melakukan pemberontakan yang lebih besar. Di daerah Jatitujuh, merupakan pusat gerakan Bagus Rangin dalam rangka membicarakan strategi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bagus Rangin menganggap residen Belanda telah merampas tanah warisan nenek moyangnya, untuk digunakan sendiri oleh residen itu.