Borobudur: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8 |
→Pembangunan: Hapus bagian tahapan pembangunan (tanpa referensi), hapus Pangeran Monconagoro (nama tidak disebutkan di sumber (Soekmono, 1976: 5)) |
||
Baris 99:
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, [[Rakai Panangkaran]] memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.<ref name="meulen">{{cite journal |journal=Indonesia |title=King Sañjaya and His Successors |author=W. J. van der Meulen| volume=28 |year=1979 |pages=17–54 |url=http://cip.cornell.edu/DPubS?service=UI&version=1.0&verb=Display&handle=seap.indo/1107121629 |doi=10.2307/3350894 |jstor=3350894 |issue=28}}</ref> Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa [[Kalasan, Sleman|Kalasan]] kepada [[sangha]] (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan [[Candi Kalasan]] yang dibangun untuk memuliakan [[Tara (Bodhisattva)|Bodhisattwadewi Tara]], sebagaimana disebutkan dalam [[Prasasti Kalasan]] berangka tahun 778 Masehi.<ref name="meulen" /> Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.<ref name="Soekmono10">Soekmono (1976), halaman 10.</ref> Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja [[Siwa]] — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan [[Ratu Boko]].<ref name="hall">{{cite journal |title=Problems of Indonesian Historiography |author=D.G.E. Hall |journal=Pacific Affairs |volume=38 |issue=3/4 |pages=353–359 |year=1956 |doi=10.2307/2754037 |jstor=2754037}}</ref> Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di [[Prambanan]], candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra,<ref name="hall" /> akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.<ref>{{cite book|author=Roy E. Jordaan|title=Imagine Buddha in Prambanan: Reconsidering the Buddhist Background of the Loro Jonggrang Temple Complex|location=Leiden|year=1993|publisher=Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Ocenanië, Rijksuniversiteit te Leiden|isbn=90-73084-08-3}}</ref>
=== Borobudur diterlantarkan ===
Baris 112 ⟶ 104:
Borobudur tersembunyi dan telantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja [[Mpu Sindok]] memindahkan ibu kota kerajaan [[Medang]] ke kawasan [[Jawa Timur]] setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.<ref name="Soekmono4" /><ref name="Murwanto" /> Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh [[Mpu Prapanca]] dalam naskahnya ''[[Nagarakretagama]]'' yang ditulis pada masa kerajaan [[Majapahit]]. Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.<ref name="Soekmono4" />
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut ''Babad Tanah Jawi'' (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja [[Kesultanan Mataram]] pada 1709.<ref name="Soekmono4"/> Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam ''Babad Mataram'' (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan
=== Penemuan kembali ===
|