Tribhuwana Wijayatunggadewi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rusmantuban (bicara | kontrib)
Menambahkan kisah
Tag: Dikembalikan Mengosongkan sebagian besar isi VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Reverted 1 edit by Rusmantuban (talk): Saltem dari https://rusmannulis.blogspot.com/2020/04/wanita-perkasa-di-balik-kejayaan.html
Tag: Pembatalan
Baris 50:
 
''[[Nagarakretagama]]'' menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana adalah tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya [[Gayatri]]. Berita ini kurang tepat karena menurut [[prasasti Singasari]], pada tahun 1351 Tribhuwana masih menjadi ratu [[Majapahit]].
 
Pada KISAH LAIN tentang kiprah Raja putri Majapahit ini, ditulis oleh Rusmantuban atau Rus Rusman dengan judul TRIBUANA TUNGGADEWI DAN AJIAN CAKRASEWU, sebagai berikut:
 
DIA BERNAMA Dyah Gitarja, seorang wanita yang benar-benar trahing kusuma rembesing madu. Wanodya pilihan, wijining tapa tedhaking andhanawarih.
 
Dalam dirinya mengalir darah biru keturunan tus para narendra trahing ngaluhur kang awatak sinatriya kahambeg pandhita.
 
Betapa tidak, karena Dyah Gitarja adalah putri Sri Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) raja besar pendiri kerajaan Majapahit.
 
Ibunya bernama Dyah Gayatri atau Rajapatni, putri Prabu Kertanegara, yakni raja Singosari yang terkenal dengan *Ekspedisi Pamalayu* (1275) untuk memulai ambisinya menyatukan Nuswantara.
 
Maka tidak mengherankan jika sejak kecil wanita kinasih ini terlihat bakat kepemimpinannya. Nampak dari cara dia melindungi adiknya, Dyah Wiyat, saat diganggu oleh Kakak tirinya Raden Kalagemet (Jayanegara).
 
Selalu saja dengan caranya yang bijaksana Dyah Gitarja mampu mendamaikan kembali kedua saudaranya yang bertengkar.
 
Konon Dyah Gitarja berwajah cantik, bertubuh semampai, dengan pembawaan yang lembut keibuan, serta sangat berbakti kepada ibunya.
 
Setidaknya itulah kesan penulis pada lukisan *Mpu Haris Poerwadi* (2016) yang konon selama tiga kali bermeditasi untuk bisa bertemu dengan sosok wanita yang hidup di awal abad ke-14 ini.
 
Pada waktu Majapahit dipimpin Prabu Jayanegara, Dyah Gitarja ditugaskan menjadi penguasa di Jiwana bergelar Bre Kahuripan. Sedang Dyah Wiyat menjadi Bre Daha.
 
Ini adalah usulan ibu suri yang disetujui Prabu Jayanegara dengan satu syarat mereka tidak boleh kawin dan menurunkan anak. Suatu upaya untuk melanggengkan kekuasaan.
 
Tapi ketika sang raja wafat (1328) maka pihak istana segera menyelenggarakan sayembara bagi priya yang ingin mempersunting kedua mutiara itu. Alhasil, berkat peran Ki Bekel Gajah Mada terpilihlah Raden Cakradara (Bre Tumapel) sebagai suami Dyah Gitarja dan Raden Kudamarta (Bre Wengker) sebagai suami Dyah Wiyat.
 
Pada tahun 1329 Dyah Gitarja dinobatkan sebagai Rajaputri menggantikan sang ibu yang mahas ing asamun madhep ing panembah sebagai biksuni. Sejak itu wanodya pilihan ini menyandang gelar *Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani* (1329-1351).
 
Ketika itu Majapahit sedang dihantui oleh tingkah polah raja Sadeng dan raja Keta. Keduanya sedang menyusun kekuatan untuk mbalela kepada Majapahit.
 
Kerajaan Sadeng berada di daerah Jember (sekarang) dan merupakan lumbung padi bagi Majapahit. Sedang Kerajaan Keta berada di Besuki terkenal sebagai penghasil ikan laut.
 
Tersebutlah Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah, seorang ksatriya sepuh yang sudah mengabdi sejak zaman Raden Wijaya. Ia merasa usianya tak mampu lagi menghadapi dua kekuatan Sadeng dan Keta. Orang tua ini mengusulkan agar Gajahmada bisa menggantikan kedudukannya.
 
Dewan Kerajaan (Bathara Saptaprabu) yang beranggotakan tujuh orang  menyetujui, namun sebelum diangkat sebagai mahapatih Gajahmada harus menakhlukkan Sadeng dan Keta terlebih dahulu.
 
Mendengar hal itu perwira lain, Ra Kembar dan Ra Warak, diam-diam menyusun kekuatan untuk memotong peran Gajahmada. Mereka Tak rela selalu dia saja yang diistimewakan, mereka menggiring pasukannya mendahului Gajahmada.
 
Melihat potensi perpecahan itu Tribuana langsung mengambil alih komando pasukan. Bersama sepupunya, Raden Adityawarman, ia menyusun strategi dan jumeneng senopati perang menghadapi musuh.
 
Wow, si Ratu Ayu memimpin perang? Ya, mengapa tidak. Jangan hanya dilihat dari sikapnya yang lembut mempesona, jangan pula diukur dari wajahnya yang cantik bak mutiara, ternyata di medan laga Rajaputri Majapahit itu adalah singa betina yang menggemparkan.
 
Konon ia adalah salah seorang yang mewarisi ajian *Cakrasewu* milik ramanda Raden Wijaya. Meski jarang sekali ia terapkan namun di saat-saat tertentu tangan yang gemulai itu bagaikan guntur yang memporak-porandakan pasukan lawan.
 
Konon ajian inilah yang dulu sangat dikagumi tentara Tartar saat bersama Raden Wijaya menumpas pasukan Jayakatwang. Kemampuan membuat ribuan bola api di atas pasukan musuh.
 
Jayalah negeriku jayalah wilwatikta, sejarah telah membuktikan bahwa Kerajaan Sadeng dan Keta berhasil ditundukkan (1331). Semua perwira yang berjasa dinaikkan pangkatnya, tak terkecuali dua orang yang saling berselisih, ialah Gajahmada dan Rakembar.
 
PADA TAHUN 1334 Tribuana Tunggadewi mengangkat Gajahmada sebagai Mahapatih Amangkubumi. Dan di saat itu pulalah Gajahmada mengucapkan Sumpah Palapa.
 
Pengangkatan mahapatih baru ini menyulutkan api dendam di hati Rakembar, dadanya hampir pecah menahan amarah. Ia memprovokasi banyak orang untuk menentang prinsip kesatuan Nuswantara yang digagas Gajahmada.
 
Padahal Ratu Tribuana dan Adityawarman sangat mendukung cita-cita mulia itu dan bahkan menetapkannya sebagai program kerajaan.
 
Atas tindakannya yang sering mengancam nilai persatuan, akhirnya raja menghukum mati Rakembar dan mempidana para penganutnya sesuai dengan aturan kerajaan.
 
DIMULAILAH kemudian ekspedisi-ekspedisi penaklukan kerajaan lain. Sasaran pertama adalah raja-raja di tanah Jawa. Mereka yang tunduk secara damai dirangkul, dilindungi, sedang yang menentang diperingatkan kalau perlu ditendang.
 
Selanjutnya perhatian diarahkan ke wilayah timur. Diawali dari Kerajaan Pejeng (Bali) di tahun 1343, lalu Kerajaan Bedahulu, baru kemudian seluruh Bali. Sukses di wilayah timur dilanjutkan ke wilayah Sumatera tahun 1347 (S. Raharjo, dkk., ‎Sejarah Kebudayaan Bali, 1998).
 
Pada tahun 1348 Adityawarman diangkat sebagai penguasa wilayah Sumatra. Kebijakan Sang Tribuana dinilai sangat tepat mengingat ksatriya ini adalah putra Swarnabumi.
 
Adityawarman adalah putra Mahamantri I Hino Dyah Adwayabrahma, seorang pejabat Singosari. Ibunya bernama Dara Jingga ialah kakak Dara Petak istri Raden Wijaya atau ibu Sri Jayanegara.
 
Dara Jingga dan Dara Petak merupakan putri raja Swarnabumi yang bergelar sang Mauliwarmadewa.
 
Adityawarman pandai berbahasa China dan pernah berkunjung ke negeri tirai bambu sebagai utusan prabu Jayanegara (1325) dan Tribuana (1332).
 
Adityawarman sangat dihormati oleh Gajahmada, disamping pilih tanding, bijaksana, juga pengalaman politiknya sangat matang.
 
Sebaliknya Adityawarman juga menghargai Gajahmada karena kesaktian dan jiwa satrianya. Gajahmada punya ilmu lembu sekilan dan ilmu Guntur Sayuta. Konon ilmu ini bisa membelah gunung dan melompati samodra.
 
NAMUN di tengah semangat yang tinggi serta kiprah membangun negeri itu, tiba-tiba kabar duka datang bagaikan petir di siang bolong. Ada laporan bahwa Ibunda Dyah Gayatri berpulang menghadap Yang Maha Kuasa (1350).
 
Maka suasana duka segera menyelimuti langit Majapahit. Negara berkabung atas wafatnya sosok yang diibaratkan pusaka kerajaan itu.
 
Bagi Tribuana ibunda Gayatri bagaikan matahari atau bulan purnama yang sinarnya tak pernah pudar. Selalu menjadi penerang dalam suka maupun duka.
 
Maka kehilangan beliau rasanya tidak berbeda dengan kehilangan seluruh jiwa. Lantas untuk apa semua perjuangan ini?
 
Dan lagi pula, bukankah kedudukanku sebagai raja ini hanyalah mewakili beliau yang waktu itu lebih memilih jalan agama?
 
Begitulah perang batin Tribuana Tunggadewi yang rasanya terus mengaung-ngaung mengejar hati sanubarinya.
 
Maka setelah melalui berbagai pertimbangan dan musyawarah agung Bathara Saptaprabu akhirnya Tribuana Tunggadewi menyatakan mengundurkan diri sebagai Rajaputri Majapahit (1351).
 
Dewan kerajaan kemudian mengangkat Hayam Wuruk (1351-1389 M) sebagai penggantinya. Dia tidak lain adalah putra kinasih Tribuana Tunggadewi sendiri.
 
Sang dewi kemudian kembali menjadi Bre Kahuripan sampai wafatnya di tahun 1371. Beliau didarmakan di Candi Pantarapura yang berlokasi di Desa Panggih dekat Trowulan Mojokerta.***
 
Demikian semoga bermanfaat.
 
Tasikmadu Palang Tuban, april 2020.
 
== Akhir Hayat Tribhuwana ==