Serangan Umum 1 Maret 1949: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
DetectivePro (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Salm Abdullah (bicara | kontrib)
k Penyuntingan susunan kalimat dan ejaan
Baris 30:
Kurang lebih satu bulan setelah [[Agresi Militer Belanda II]] yang dilancarkan pada bulan [[Desember]] [[1948]], [[Tentara Nasional Indonesia|TNI]] mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara [[Belanda]] yang dimulai dengan memutuskan [[telepon]], merusak jalan [[kereta api]], menyerang [[konvoi]] [[Belanda]], serta tindakan [[sabotase]] lainnya.
 
[[Belanda]] terpaksa memperbanyak pos-pos di sepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan [[Belanda]] tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah [[republik]] yang kini merupakan medan [[gerilya]]. Dalam keadaaan pasukan [[Belanda]] yang sudah terpencar-pencar, mulailah [[Tentara Nasional Indonesia|TNI]] mulai melakukan serangan terhadap [[Belanda]].
 
Sekitar awal [[Februari]] [[1948]] di [[Perbatasan wilayah|perbatasan]] [[Jawa Timur]], Letkol. dr. [[Wiliater Hutagalung]] - yang sejak [[September]] [[1948]] diangkat menjadi [[Perwira]] Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III - bertemu dengan [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Soedirman|Sudirman]] gunauntuk melaporkan mengenai resolusi [[Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa|Dewan Keamanan]] [[PBB]] dan penolakan [[Belanda]] terhadap resolusi tersebut dan melancarkan [[propaganda]] yang menyatakan bahwa [[Indonesia|Republik Indonesia]] sudah tidak ada lagi. Melalui [[Radio Rimba Raya]], [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]] juga telah mendengar berita tersebut. [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]] menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil gunauntuk memutarbalikkan [[propaganda]] [[Belanda]].
 
Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]], dan menjadi penghubung antara [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]] dengan [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima]] Divisi II, [[Kolonel]] [[Gatot Subroto]] dan [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima]] Divisi III, [[Kolonel|Kol]]. [[Bambang Sugeng]]. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, iaHutagalung juga ikut merawat [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]] yang saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan keluarganya tinggal di Paviliun rumah [[Soedirman|Panglima Besar]] [[Sudirman]] di (dahulu) Jl. Widoro No. 10, [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]].
 
Pemikiran yang dikembangkan oleh [[Hutagalung]] adalah, perlunya meyakinkan [[Mancanegara|dunia internasional]] terutama [[Amerika Serikat]] dan [[Britania Raya|Inggris]], bahwa [[Indonesia|Negara Republik Indonesia]] masih kuat, adamemiliki pemerintahan ([[Pemerintahan Darurat Republik Indonesia|Pemerintah Darurat Republik Indonesia]] – [[PDRI]]), adameliki organisasi [[TNI]] dan ada tentaranya. UntukSebagai membuktikanpembuktian hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa disembunyikan oleh [[Belanda]], dan harus diketahui oleh [[Resolusi 67 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa|UNCI]] ([[United Nations Commission for Indonesia]]) dan [[Wartawan|wartawan-wartawan]] asing untuk disebarluaskan ke [[Mancanegara|seluruh dunia]]. Untuk menyampaikan kepada [[Resolusi 67 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa|UNCI]] dan para [[wartawan]] asing bahwa [[Indonesia|Negara Republik Indonesia]] masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam [[Tentara Nasional Indonesia]], yang dapat berbahasa [[Inggris]], [[Belanda]], atau [[Prancis]]. [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]] menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan [[Hutagalung]] agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.
 
[[Letnan Kolonel|Letkol]]. [[Doktor|dr]]. [[Hutagalung]] masih tinggal beberapa hari gunauntuk membantu merawat [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]], sebelum kembali ke markasnya di [[Gunung Sumbing]]. Sesuai tugas yang diberikan oleh [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]], dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah [[Gubernur]] Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal [[18 Februari]] [[1949]] di markas yang terletak di lereng [[Gunung Sumbing]]. Selain [[Gubernur]] Militer/Panglima Divisi III [[Kolonel|Kol.]] [[Bambang Sugeng]] dan [[Letnan Kolonel|Letkol]] [[Wiliater Hutagalung]], juga hadir [[Komandan]] [[Wehrkreise|Wehrkreis]] II, [[Letnan Kolonel|Letkol]]. [[Sarbini Martodiharjo]], dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu [[Gubernur]] Sipil, Mr. [[K.R.M.T. Wongsonegoro]], [[Residen]] [[Banyumas]] [[R. Budiono]], [[Residen]] [[Kedu]] [[Salamun]], [[Bupati]] [[Banjarnegara]] [[R. A. Sumitro Kolopaking]], dan [[Bupati]] [[Sangidi]].
 
[[Letnan Kolonel|Letkol]] [[Hutagalung|Wiliater Hutagalung]] yang pada waktu itu juga menjabat sebagai penasihat [[Gubernur]] Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]], dan kemudian dibahas bersama-sama yaitu:
Baris 50:
::* Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.
 
Tujuan utama dari ini rencana tersebut adalah bagaimanauntuk menunjukkan eksistensi [[TNI]] dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional. Untuk menunjukkan eksistensi [[TNI]], maka anggota [[UNCI]], wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat ''perwira-perwira yang berseragam [[TNI]]''.
 
Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, ''grand design'' yang diajukan oleh [[Hutagalung]] disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel [[Bambang Sugeng]] bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah [[Yogyakarta]].
Baris 64:
Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur [[Wongsonegoro]] serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.
 
Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa [[Belanda]], [[Inggris]] atau [[Prancis]] dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna ''menunjukkan diri'' kepada anggota-anggota [[UNCI]] serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel [[Wiyono]], Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di [[Gunung Sumbing]] akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa [[Belanda]] dan [[Inggris]].
 
Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan [[Tentara Nasional Indonesia]] terhadap tentara [[Belanda]], terutama terhadap [[Yogyakarta]], Ibu kota [[Republik]]. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. [[T.B. Simatupang]] yang bermarkas di Pedukuhan [[Banaran]], desa [[Banjarsari]], untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI ([[AURI]]) di [[Playen]], dekat [[Wonosari]], agar setelah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas [[Yogyakarta]] segera disiarkan.
 
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila [[Belanda]] melihat bahwa [[Yogyakarta]] diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan [[Belanda]] yang kuat seperti [[Magelang]], [[Semarang]] dan [[Solo]]. Jarak tempuh (waktu itu) [[Magelang]] - [[Yogya]] hanya sekitar 3 - 4 jam saja; [[Solo]] - [[Yogya]], sekitar 4 - 5 jam, dan [[Semarang]] - [[Yogya]], sekitar 6 - 7 jam. [[Magelang]] dan [[Semarang]] (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, namundan [[Solo]], berada di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel [[Gatot Subroto]]. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan [[Belanda]] dari [[Solo]] dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat.
 
Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur [[Wongsonegoro]], Residen [[Budiono]], Residen [[Salamun]], Bupati [[Sangidi]] dan Bupati [[Sumitro Kolopaking]] ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.