Suku Batak: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Dikembalikan VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Dikembalikan VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 214:
== Kontroversi ==
Sebagian orang [[Pakpak]], [[Simalungun]], dan [[Mandailing]] sempat tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak dan Batak Toba & Angkola masih mengakui jati dirinya. Meski mayoritas masih mengakui dirinya bagian dari suku Batak, wacana identitas itu sempat muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang primitif dan miskin oleh etnik lain masa Orde Baru. Bahkan sempat ada penolakan juga oleh suku Angkola sehingga Batak hanya Toba saja karena selalu identik dengan orang Toba dan Agama Kristen sedangkan Angkola mayoritas Islam meski Kristen juga memiliki populasi signifikan padahal agama tidak ada sangkut paut dengan suku tetap lah Batak dan bangga pada suku sendiri walau beragama minoritas. Hal ini disampaikan oleh antropolog dari Universitas
Negeri Medan (UNIMED) Dr. Erond. L Damanik MSi, mengungkap bahwa tidak ada Batak, Batak hanyalah ciptaan penjajah Belanda yang berkonotasi negatif untuk menghina dan mempersatukan penduduk dataran tinggi yang primitif agar bisa / mudah menguasainya serta terbelakang atau mereka menyebut Non Melayu yang manakala Melayu merujuk pada suku Melayu di sekitar pesisir yang sudah menganut agama yg jelas sedangkan penduduk pegunungan yang primitif masih menyembah berhala / beragama kepercayaan tradisional dan sama sekali terbelakang untuk lebih jelas nya baca ini https://www.tagar.id/enam-etnik-danau-toba-bukan-batak/amp/. Ada banyak versi tentang penamaan/label Batak yaitu pemberian penjajah, pemberian pengelana asing, nama pemukiman di pedalaman Aceh yg disebut "Bateh", atau tentang daerah yang wilayahnya terdapat banyak orang berkuda/menunggangi kuda. Belum ada yg jelas mana yang benar dari versi-versi tadi yang jelas adalah positifnya suku Batak menjadi pemersatu suku-suku yang mempunyai kebudayaan, bahasa, adat, silsilah, marga, asal usul, nenek moyang/leluhur yang sama serta geografis yang berdekatan dan beberapa segi kemiripan. Padahal banyak peninggalan penjajah di Indonesia jadi buat apa kita merubah lagi berpandanglah positif itu sebagai pemersatu masyarakat satu kaum yakni puak2 seperti Toba/Samosir, Angkola, Mandailing dan Pakpak/Dairi digabung dalam satu suku besar atau bangsa besar yang biasa disebut suku Batak yang mempunyai puak - puak/subetniksub etnik. Masyarakat Batak sendiri menyebut diri mereka sebagai 'Halak Hita/Ita' atau 'Kalak Kita' atau bisa juga disebut sebagai Bangsa, Yakni: 'bangsa batak/"Bangso Batak. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatra, khususnya di [[Kota Medan]], perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak. Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing dan Pakpak, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut.
 
Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922),<ref>{{cite book | last =Perret | first =Daniel | authorlink = | coauthors = | title =La Formation d'un Paysage Ethnique: Batak & Malais de Sumatra Nord-Est | publisher =École Française d'Extrême-Orient | date = | location = Paris | url = | doi = | isbn = | page = 316-325 }}</ref> dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009) yang membuat orang Selatan Tapanuli melupakan saudara nya sendiri / kaumnya sendiri di Utara Tapanuli.
 
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak.<ref>{{en}} Leo Suryadinata, Evi Nurvidya arifin, Aris Ananta, [http://books.google.co.id/books?id=nFckUneBbRIC&dq=Indonesia%27s+Population:+Ethnicity+and+Religion+in+a+Changing+Political+Landscape&printsec=frontcover&source=bl&ots=C_BK8d_8vs&sig=4_QnkNN1VlxjKnTP_T7tYzTlhZ8&hl=id&ei=8FIaSqPEOY6CkQXD9kQ&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=1#v=onepage&q=&f=false ''Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape''], Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, hal.48.</ref>