Soetan Noeralamsjah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 11:
| father = Mohamad Rasjad
}}]]
'''Soetan Noeralamsjah''' adalah kakak kandung tertua '''[[Sutan_Syahrir|Soetan Sjahrir]]''', '''[[Daftar_Perdana_Menteri_Indonesia|Perdana Menteri RI ke-I]]''' Periode 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Soetan Noeralamsjah lahir di Bondjol, Sumatra Barat pada tanggal 21 April 1900. Ayahnya bernama Mohammad Rasjad Gelar Maharadja Soetan bin Soetan Leman Palindih, dan Ibunya bernama Siti Rabiah. Semasa mudanya, Pendidikan '''[[School_tot_Opleiding_van_Indische_Artsen|STOVIA]]''' Batavia (Sekarang Kedokteran UI) tidak sampai Ia tamatkan di Jakarta.
[[Berkas:Soetan Noeralamsjah 04.jpg|pus|jmpl|Soetan Noeralamsjah bin Mohamad Rasjad Gelar Maharadja Soetan]]
[[Berkas:Soetan Noeralamsjah 03.jpg|480x480px|alt=|
Soetan Noeralamsjah, Soetan Sjahrir, dan bersama adik-adiknya|jmpl|kiri]]Pada tahun 1939, Soetan Noeralamsjah berkunjung ke Ranah Nata untuk mendirikan cabang dan ranting Parindra. Dikarenakan secara terang-terangan menyatakan antipati kolonial, antipati kaum kapitalisme, dan menuntut hak-hak kemerdekaan Nasional, maka atas putusan Pemerintah Hindia Belanda, Ia tidak diijinkan untuk memasuki wilayah Sumatra Barat. Tetapi Soetan Noeralamsjah tetap bersikukuh untuk berangkat ke Padang Panjang, Sumatera Barat, secara sembunyi-sembunyi, dan dibantu oleh beberapa kawannya untuk mengelabui tentara kolonial. Namun keberadaan tempatnya bersembunyi, pada akhirnya pun tercium juga oleh intelijen Belanda. Soetan Noeralamsjah ditangkap di Bukittinggi oleh Pemerintahan Belanda, dan dijatuhi hukuman kurungan selama tiga bulan penjara karena melanggar larangan berpergian. Setelah bebas dan tugasnya selesai, Soetan Noeralamsjah mendapat panggilan dari Pemerintah Pusat. Ia diangkat sebagai Jaksa Agung Muda dan merangkap sebagai Wakil Jaksa Militer dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler. Pada tahun 1943, Kewedanaan Nata dan Batangnata bersatu dengan dipimpin oleh Wedana Hidayatsjah Tuanku Mudo. Pada masa ini terjadi perebutan kekuasaan oleh Sutan Syaiful Manan (tokoh ulama Ranah Nata), sehingga Radja Djundjungan selaku Bupati Tapanuli Selatan mengadili mereka di Padangsidempuan.[[Berkas:Soetan Noeralamsjah 02.jpg|480x480px|jmpl|Soetan Noeralamsjah, duduk kedua dari kanan. Semasa menjabat sebagai Hoofd Djaksa.|kiri]]Sekian lama sidang berjalan, Bupati belum juga menentukan ketetapan atas penyelesaian peristiwa tersebut, akibatnya Kewedanaan tidak dapat melaksanakan tugas-tugasnya, ditambah dengan situasi yang semakin genting akibat adanya Agresi Militer Belanda ke-II pada tanggal 18 Desember 1948. Untuk mengatasi situasi kekosongan kekuasaan (Vacum of Power) yang semakin darurat, maka pemuka masyarakat dan pemimpin-pemimpin ranting yang ada di Kota Nata bersama dengan pemuka adat serta alim ulama sepakat untuk bermusyawarah, dan hasilnya adalah terbentuklah Dewan Pertahanan Kewedanaan Dinagari Nata.
|