Masjid Tua Palopo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rescuing 0 sources and tagging 1 as dead.) #IABot (v2.0.8 |
k Perbaikan untuk PW:CW (Fokus: Minor/komestika; 1, 48, 64) + genfixes |
||
Baris 30:
== Arsitektur ==
Bangunan masjid terletak di tepi jalan, tepatnya di sudut perempatan [[jalan]]. Tidak jauh dari masjid ini berdiri Istana Raja Luwu. Denah masjid tua Palopo berbentuk [[bujur sangkar]]. Ukurannya yaitu 15 × 15 m, sedang ketebalan [[dinding]] mencapai 90,2
Masjid menghadap ke timur, pintu masuk diapit oleh enam buah [[jendela]] dengan ukuran lebar 85
Dinding sisi utara dan selatan berisi masing-masing dua buah jendela, sedangkan di sisi barat terdapat ceruk yang berfungsi sebagai [[mihrab]]. Mihrab bagian atas berbentuk melengkung (setengah [[lingkaran]]) dan bagian atas meruncing sehingga membentuk seperti [[kubah]]. Hiasan sekeliling mihrab yaitu daun-daun kecil. Sebagai pengapit ceruk adalah [[ventilasi]] yang berbentuk belah ketupat dengan komposisi enam buah berjajar dua-dua mengapit ceruk.<ref name="MENTERI AGAMA"/>
Masjid Palopo beratap tumpang tiga seperti masjid-masjid tua di [[Indonesia]] lainnya. Atap tumpang teratas terdapat sebuah mustaka yang terbuat dari [[keramik]] [[Tiongkok]] yang diperkirakan jenis Ming berwarna [[biru]]. Mustaka tersebut secara teknis sebagai pengunci puncak atap untuk menjaga masuknya [[air]], tetapi juga secara filosofis berarti menunjukkan ke Esaan Tuhan. Atap terbuat dari sirap. Tumpang tengah dan bawah masing-masing ditopang oleh empat buah pilar (tiang kayu), sedangkan tumpang paling atas ditopang oleh sebuah tiang utama (soko guru) yang langsung menopang atap. Soko guru inilah yang disakralkan oleh orang-orang tertentu, terbuat dari [[kayu]] lokal yaitu cinna gori yang dibentuk secara utuh, dan tampak ditatah dengan ukuran garis tengah 90
Lantai masjid dari tegel ubin teraso, pengganti ubin asli yang terbuat dari batu tumbuk. Di dalam ruangan masjid terdapat [[mimbar]] dari [[kayu]] dengan atap kala parang atau kulit kerang. Gapura mimbar berbentuk paduraksa, memiliki hiasan kala makara yang distilir dengan daun-daunan yang keluar dari kendi. Sebagian masyarakat Luwu beranggapan bahwa tepat di bawah mimbar terdapat makam Puang Ambe Monte yang berasal dari Sangalla Tana Toraja. la adalah arsitek yang dipercayakan oleh Sultan Abdullah untuk membuat dan membangun Masjid Tua Palopo pada tahun 1604.<ref name="MENTERI AGAMA"/>
Baris 49:
Terdapat dua pendapat seputar bentuk atap Masjid Tua Palopo ini.<ref name="Masjid Palopo"/> Yang pertama mengatakan bahwa atap tersebut mendapat pengaruh dari arsitektur Jawa. Sementara yang kedua menolak pendapat itu, dengan berargumen bahwa bentuk tersebut merupakan pengembangan dari konsep lokal masyarakat Sulawesi Selatan sendiri. Namun, mengingat hubungan antara kedua masyarakat telah terjalin begitu lama, wajar jika terjadi akulturasi budaya.<ref name="Masjid Palopo"/>
Susunan atap pertama dan kedua disangga empat tiang yang terbuat dari kayu cengaduri, dengan tinggi 8,5 meter dan berdiameter 90
''Ketiga'', unsur [[Hindu]].<ref name="Masjid Tua"/> Unsur ini terlihat pada denah masjid yang berbentuk segi empat yang dipengaruhi oleh konstruksi candi. Pada dinding bagian bawah, terdapat hiasan bunga lotus, mirip dengan hiasan di [[Candi Borobudur]]. Pada dinding bagian atas juga terdapat motif alur yang mirip dengan hiasan candi di Jawa.
Baris 63:
Pada awal [[abad ke-17]] para pedagang yang beragama [[Islam]] datang ke [[Sulawesi Selatan]] yang kemudian menyebarkan agama Islam. Agama ini berkembang pesat semenjak kedatangan penyebar dan pengembang Islam dari Koto Tangah [[Minangkabau]], [[Sumatra Barat]] yaitu Datuk Sulaeman, Abdul Jawad Datuk Ri Tiro, dan Abdul Makmur [[Datuk Ri Bandang]]. Ketiganya pertama kali mendarat di Bua Luwu tahun [[1603]]. Selanjutnya mubaliq asal Minangkabau itu berhasil mengislamkan Raja Luwu yang bergelar Payung Luru XV La Pattiware Daeng Parrebung, juga bergelar Sultan Muhammad Mudharuddin. Pengislaman ini terjadi pada tahun [[1603]] dan bertepatan 15 Ramadhan 1013 H. Setelah raja memeluk agama Islam, maka para pembesar dan rakyat Luwu mengikutinya. Kepesatan perkembangan agama Islam di [[Kerajaan Luwu]] mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Datu Luwu atau Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi, Sultan Abdullah Matinroe Ri Malangke yang menggantikan ayahandanya pada awal tahun [[1604]].<ref name="MENTERI AGAMA"/>
Pada awal pemerintahan Sultan Abdullah memindahkan [[Ibu kota]] [[Kerajaan Luwu]] dari Patimang ke Ware Palopo. Pertimbangan perpindahan ini berdasarkan pada teknis strategis pemerintahan dan pengembangan ajaran agama islam. Untuk mendukung perkembangan agama Islam maka Khatib Sulaeman yang kemudian bergelar Datuk Ri Patimang berhasil mendirikan sebuah [[masjid]] permanen pada tahun 1604 m di tengah [[kota Palopo]] tidak jauh dari [[istana]]. Masjid ini sampai kini masih berdiri disebut
Masjid Tua Palopo tumbuh pada zaman madya [[Indonesia]] yang berfungsi sebagai masjid Kerajaan atau masjid istana, maka dari itu letaknya berada di sebelah barat alun-alun dan masjid merupakan gambaran struktur perkotaan pada awal masa Islam di [[Indonesia]].<ref name="MENTERI AGAMA"/>
|