Konsistensinya terhadap penegakan syariat islam dimulai dari sejak dakwah di masa muda, sampai di awal masa revolusi. Dalam suatu kesempatan bersama Teuku Nyak Arief, beliau memberi pandangan bahwa Indonesia sepatutnya berasaskan Islam. Namun Teuku Nyak Arief menolak seraya menjelaskan keragaman yang ada di wilayah cikal bakal Indonesia nantinya. Keteguhan itu tidak surut sampai ketika Presiden Soekarno bertemu dengan Teungku Daud Beureueh dalam muhibahnya Juni 1948. Beliau berpesan agar selepas perang kemerdekaan Aceh diberi kebebasan menjalankan syariat Islam, dan Soekarno mengiyakannya.<ref>{{Cite web|url=https://historia.id/politik/articles/air-mata-bung-karno-meleleh-di-aceh-vqrx1|title=Air Mata Bung Karno Meleleh di Aceh|last=Jo|first=Hendi|date=|website=Historia.id|access-date=}}</ref>
'''Siapakah Dia?''' Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September 1899 di sebuah kampung bernama "Beureueh", daerah Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh adalah sebuah kampung heroik Islam, sama seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang ulama yang berpengaruh di kampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan sebutan "Imeuem (imam) Beureueh". Teungku Daud Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative age yang sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir saban magrib Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ia juga memasuki masa dewasa di bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat mengilhami langkah hidupnya kemudian.
'''Dari PUSA Menuju Darul Islam''' Untuk membungkam dan memadamkan perlawanan Muslim Aceh, Belanda, atas saran Snouk Hourgronje, melakukan pengaburan konsep tauhid dan jihad. Belanda membuat aturan pelarangan berdirinya organisasi-organisasi politik Islam. Restriksi ini membuat para ulama di Aceh berang dan ingin mengadakan pembaruan perjuangan melawan penjajah Belanda. Maka atas inisiatif beberapa ulama yang dipelopori oleh Teungku Abdurrahman, dibentuk sebuah organisasi yang bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di Matang Glumpang Dua. Dalam kongres pembentukannya, dipilihlah Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua. Aceh adalah negeri sejuta ulama, dan mengetuai organisasi politik ulama berarti juga secara de facto menjadi "Bapak Orang-Orang Aceh".
Semenjak itu, Daud Beureuh memegang peranan sangat penting di dalam pergolakan-pergolakan di Aceh, dalam mengejar cita-citanya menegakkan keadilan di bumi Allah dengan dilandasi ajaran syariat Islam. Sehingga, umat Islam dapat hidup rukun, damai dan sentosa sebagaimana yang dulu pernah diperbuat oleh raja-raja Islam sebelum mereka. Menurut catatan Compton, [[Pangeran Mandurareja]] berbicara tentang sebuah Negara Islam untuk seluruh Indonesia, dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka. Ia meyakinkan, kemerdekaan beragama akan dijamin di negara semacam itu, dengan menekankan contoh mengenai toleransi besar bagi penganut Kristen dalam negara-negara Islam di [[Timur Dekat]]. Kaum Kristen akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara Islam Indonesia, sedangkan umat Islam tidak dapat merasakan kemerdekaan sejati kalau mereka tidak hidup dalam sebuah negara yang didasarkan atas ajaran-ajaran Alquran."
Langkah awal dalam upaya itu adalah mengusir segala jenis penjajahan yang pernah dipraktekkan Belanda, Jepang, dan zaman revolusi fisik (1945-[[1949]]) pada awal kemerdekaan, maupun ketika Aceh berada di bawah kekuasaan Orde Lama [[Soekarno]] dan Orde Baru Soeharto. Sejak saat itulah, Teungku Daud Beureueh diyakini oleh orang-orang sebagai "Bapak Darul Islam".
Daud Beureueh dikenal luas sebagai Gubernur Militer Aceh selama tahun-tahun revolusi. Tetapi ketika jabatannya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dicabut oleh PM Mohammad Natsir, ia hidup tenang-tenang di desanya --tampaknya seperti pensiun.
Setelah Aceh masuk ke dalam Republik Indonesia Komunis (RIK) di bawah panji [[Pancasila]], Daud Beureueh diberi jabatan Gubernur Kehormatan dan diminta menetap di Jakarta sebagai penasihat di Kementerian Dalam Negeri. Ia tidak menerima penghormatan ini. Satu-satunya tindakan pentingnya yang diketahui umum adalah pada saat ia mengetuai Musyawarah Ulama Medan, April 1951. Setelah musyawarah itu, Daud Beureueh melakukan tur singkat keliling Aceh, memberikan ceramah-ceramah provokatif bernada mendukung ide Negara Islam. Ia kemudian kembali ke desanya, dan --membuat takjub penduduk Medan yang sudah maju-- membangun sebuah tembok besar dan masjid sungguhan dengan tangannya sendiri. Daud Beureueh lebih tampak sebagai pensiunan perwira militer ketimbang sebagai ahli agama, meskipun ia menyandang gelar teungku.
Teungku Daud Beureueh adalah "Bapak Orang-Orang Aceh" yang tetap tegar meski dikecewakan oleh kaum fasiqun di Jakarta. Dengan postur tubuhnya yang kurus tapi kuat, ia adalah tipe manusia ideal. Sebagaimana dicatat oleh [https://communications-summit.asia/ Communication Asia] of Compton, dari bawah pecinya, rambut kelabunya yang dipangkas pendek kontras dengan wajahnya yang muda dan coklat kemerahan. Bicaranya lugas, bahkan pernyataannya banyak yang blak-blakan. Misal: "Saya tanya, apakah pemerintahan seperti itu mampu mengatasi masalah-masalah Aceh sekarang ini? Ya, ambillah pengairan sebagai contoh. Pada zaman Iskandar Muda, dibuat saluran dari sungai yang jauhnya sebelas kilometer dari sini menuju laut. Daerah Pidie menjadi sangat makmur. Dibuat pula saluran lain tak jauh dari yang pertama, keduanya dikerjakan oleh ulama. Beda dengan ulama zaman sekarang, pemimpin-pemimpin di masa itu tak takut sarung mereka kena lumpur. Sekarang saluran-saluran itu sudah rusak, dan hasil panen padi merosot. Sebelum terjadi perang, Aceh biasa mengekspor beras untuk kebutuhan seluruh wilayah Mardhatillah Sumatera Timur. Sekarang kita mengimpor beras dari Burma".
Dalam impiannya, ia melihat sebuah Aceh yang sejahtera di bawah pimpinan kelompok ulama yang ditampilkan kembali. Di masa keemasan itu, hanya orang-orang yang benar-benar berpengetahuan yang dapat menjadi ulama. Sedangkan di zaman modern ini, hampir setiap orang dengan bermodalkan "taplak meja dililitkan di leher" bisa mengaku berhak untuk disebut ulama.
Daud Beureueh bicara dengan gelora dan kesungguhan tentang perlunya pembaruan. Setelah semua kemungkinan terbentuknya sistem politik Islam sirna dan janji-janji Soekarno akan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam tidak pernah ditepati, maka jiwa jihad Teungku Daud Beureueh pun bergolak. Ia kemudian menjadikan Aceh sebagai "Negara Bagian Aceh-Negara Islam Indonesia" (NBA-NII) dan berjuang hingga tahun 1964 di gunung-gemunung Tanah Rencong. Soekarno, meskipun terkenal hebat di mata orang-orang Aceh, namun karena penipuannya terhadap orang [[Aceh]], nama Soekarno identik dengan berhala yang harus ditumbangkan.
Compton bisa memahami mengapa orang-orang membandingkan Daud Beureueh dengan Soekarno yang cemerlang sebagai orator massa. Seandainya keduanya berpidato di sebuah acara yang sama, konon Soekarno akan menjadi juara kedua jika pendengarnya orang Aceh, terutama kalau sang "Singa Aceh" sudah mulai gusar dan marah.
Sementara ia terus bicara tentang pemerintahan Islam di Aceh, Compton merasa bahwa aneka kasak-kusuk yang ia bawa dari Medan menjelang Pemilu 1955 telah sangat menyesatkannya. Ketika Compton menanyakan apakah sikap ini tak mengandung semacam kontradiksi, Teungku Daud Beureueh menandaskan, sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia harus tunduk pada kehendak-kehendak mayoritas [[Muslim]]. Ia yakin partai-partai Islam akan menang besar dalam sebuah pemilihan umum.
[[Daud Beureueh]] melihat ada tiga kelompok di Indonesia dewasa ini: kaum komunis yang menginginkan negara Marxis-ateistik, umat Islam yang menghendaki Negara Islam, dan golongan nasionalis tertentu yang mau menghidupkan kembali Hinduisme-Jawa (Negara Pancasila). Ia cemas bahwa golongan Hindu dan Marxis sedang mengakar, tapi mereka sendiri khawatir kalau pemilihan umum diadakan, sebab mereka pasti kalah. Karena alasan ini, menurut Daud Beureueh, mereka akan berusaha habis-habisan untuk menunda-nunda pelaksanaan pemilu. Ketika itu Teungku Daud Beureueh masih berharap dengan Pemilu, namun setelah ia sendiri terjungkal oleh seorang Perdana Menteri yang merupakan output dari sistem pemilu, ia kemudian melabuhkan harapan hanya pada perjuangan fisik. Islam telah dikalahkan secara diplomatis oleh kemenangan-kemenangan Partai Islam yang tidak memberi manfaat apapun bagi asersi politik Islam.
Akibat sikapnya ini, Teungku Abu Daud Beureueh kemudian dilumpuhkan secara sistematis oleh Pemerintah Orde Baru. Ia kemudian meninggal pada tahun 1987 dalam keadaan buta --buta yang disengaja oleh Orde Baru-- dan dalam suatu prosesi pemakaman yang sangat sederhana, tanpa penghormatan yang layak dari orang-orang Aceh yang sudah terkontaminasi oleh ide-ide sekuler. R William Liddle yang sempat menghadiri upacara pemakaman Teungku Daud Beureueh menggambarkan bagaimana mengenaskannya saat-saat terakhir dan pemakaman pemimpin Aceh yang terbesar di paruh kedua abad keduapuluh. "Saya hadir di situ, antara lain, sebagai ilmuwan sosial dan politik untuk mengamati sebuah kejadian yang bersejarah, yang mungkin akan melambangkan sesuatu yang lebih besar dan penting dari upacara pemakaman biasa. Namun, --menurut penglihatan Liddle sebagai pengamat asing-- dalam kenyataannya, meninggalnya Teungku Abu Daud Beureueh adalah "meninggalnya seorang suami dan ayah yang dicintai, seorang alim yang disegani, dan seorang pemimpin masyarakat sekitar yang dihormati." Tidak lebih dari itu. Seakan-akan dan memang inilah kesimpulan Liddle waktu itu bahwa zaman kepahlawanan Teungku Abu Daud Beureueh telah berlalu, hampir tanpa bekas. Bersamaan berpulangnya "Bapak Orang-Orang Aceh", maka Aceh kemudian memasuki babak baru pembangunan dan modernisasi yang gempita di mana kemaksiatan dan [[sekulerisme]] adalah agama baru yang disambut kalangan terpelajar perkotaannya secara sangat antusias.
=== '''Setelah Kemerdekaan''' ===
Di Masa revolusi TengkuTeungku Muhammad Daud Beureueh muncul sebagai tokoh utama yang mendirikan Masyumi di Aceh pada tahun 1946. Memulai kariernya sebagai Kepala Kantor Urusan Agama pada kahir 1945, dia dianhlat oleh Pemerintah Pusat menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada tahun 1947 dengan pangkat Jenderal Mayor. Jabatan Gubernur Militer ini dipegangnya sampai akhir 1949; ketika jabatan ini dihapus kemudian dia menjadi Gubenur Aceh. Beliau dimutasikan ke Kementerian Dalam Negeri di Jakarta dan diangkat menjadi anggota DPR pada awal 1950 seiring dengan penciutan status Aceh dari provinsi menjadi keresidenan dalam provinsi Sumatera Utara.
Frustasi akan perkembangan politik setelah kemerdekaan, dia memimpin pemberontakan [[Negara Islam Indonesia|Darul Islam]] di Aceh pada 1953-1962. Atas usaha mediasi dan persuasi dari Gubernur [[Ali Hasyimi|Ali Hasjimi]] (yang merupakan anak didik beliau di masa revolusi), [[Komando Daerah Militer Iskandar Muda|Pangdam Iskandar Muda]] Kol. Muhammad Jasin serta tokoh lainnya, beliau turun gunung mengakhir pemberontakan selama 9 tahun dengan peristiwa yang dikenal dengan [[Ikrar Lamteh]]. Beliau selanjutnya menyatakan memundurkan diri dari panggung politik, untuk terjun dalam masyarakat sahaja. Namun pengaruh politik beliau kekal hingga wafatnya tahun 1987, sampai-sampai rezim orde baru pernah mengungsikan beliau ke Jakarta karena takut beliau dipengaruhi oleh pemberontakan yang kelak bertransformasi menjadi [[Gerakan Aceh Merdeka]].<ref>{{Cite book|title=Revolusi di Serambi Mekkah|last=Sjamsudin|first=Nazaruddin|publisher=Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)|year=1999|isbn=9794561878|location=Jakarta|pages=300-301|url-status=live}}</ref>
|