Serangan Umum 1 Maret 1949: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 137:
[[Mr. Alexander Andries Maramis]], yang berkedudukan di [[New Delhi]] menggambarkan, betapa gembiranya mereka mendengar siaran radio yang ditangkap dari [[Burma]], mengenai serangan "besar-besaran" [[Tentara Nasional Republik Indonesia]] terhadap [[Belanda]]. Berita tersebut menjadi Headlines di berbagai media cetak yang terbit di [[India]]. Hal ini diungkapkan oleh [[Mr. Maramis]] kepada dr. [[W. Hutagalung]], ketika bertemu di tahun limapuluhan di [[Pulo Mas]], [[Jakarta]].
 
== Kontroversi dalam Serangan Umum 1 Maret pada era Orde Baru ==
 
Hingga awal tahun tujuhpuluhan, serangan atas [[Yogyakarta]] 1 Maret 1949, sama sekali tidak pernah ditonjolkan, karena para pejuang waktu itu menilai, bahwa episode ini tidak melebihi episode-episode perjuangan lain, yaitu pertempuran heroik di [[Medan]] ([[Medan Area]] Oktober 1945), [[Palagan Ambarawa]] (12 – 15 Desember 1945), [[Bandung lautan api]] (April 1946), perang [[Puputan Margarana/Bali]] (20 November 1946), [[pertempuran 5 hari 5 malam]] di palembangPalembang (1 – 5 Januari 1947), juga tidak melebihi semangat berjuang [[Divisi Siliwangi]], ketika melakukan long march, yaitu berjalan kaki selama sekitar dua bulan –sebagian bersama keluarga mereka- dari [[Yogyakarta]]/[[Jawa Tengah]] ke [[Jawa Barat]], dalam rangka melancarkan operasi [[Wingate]] untuk melakukan perang gerilya di [[Jawa Barat]], setelah [[Belanda]] melancarkan [[Agresi II]] tanggal 19 Desember 1948. Dan masih banyak lagi pertempuran heroik di daerah lain. Hingga waktu itu, yang sangat menonjol dan dikenal oleh rakyat Indonesia adalah perjuangan arek Suroboyo pada 28/29 Oktober dan bulan November/Desember 1945, yang dimanifestasikan dengan pengukuhan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan. Dalam bukunya “Memenuhi Panggilan Tugas”, [[Nasution]] menulis:
"...enam jam di [[Yogya]] -yang setelah [[Orde Baru]] berdiri selalu diperingati secara besar-besaran. Dan aksi ini adalah dalam rangka tahap taktis-ofensif yang sedang dilancarkan oleh Panglima [[B. Sugeng]] di seluruh wilayahnya, terhadap kota-kota kabupaten dan keresidenan, terutama di daerah [[Banyumas]], [[Kedu]], [[Semarang]] dan [[Yogya]]. Pada waktu yang agak bersamaan juga [[Divisi I]] memulai aksi yang demikian di [[Jawa Timur]], menyusul [[Divisi II]] ([[Jawa Tengah]] bagian timur), kemudian [[Divisi IV]] ([[Jawa Barat]])."
Dalam bukunya “Memenuhi Panggilan Tugas”, Nasution menulis:
"...enam jam di Yogya -yang setelah Orde Baru berdiri selalu diperingati secara besar-besaran. Dan aksi ini adalah dalam rangka tahap taktis-ofensif yang sedang dilancarkan oleh Panglima B. Sugeng di seluruh wilayahnya, terhadap kota-kota kabupaten dan keresidenan, terutama di daerah Banyumas, Kedu, Semarang dan Yogya. Pada waktu yang agak bersamaan juga Divisi I memulai aksi yang demikian di Jawa Timur, menyusul Divisi II (Jawa Tengah bagian timur), kemudian Divisi IV (Jawa Barat)."
 
Dari sumber-sumber yang dapat dipercaya serta dokumen-dokumen yang terlampir dalam tulisan ini, terlihat jelas bahwa perencanaan dan persiapan serangan atas [[Yogyakarta]] yang kemudian dilaksanakan pada 1 Maret 1949, dilakukan di jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III -dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat- berdasarkan instruksi dari Panglima Besar [[Sudirman]], untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa [[TNI]] -berarti juga [[Republik Indonesia]]- masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan [[PBB]].
 
Serangan tersebut melibatkan berbagai pihak, bukan saja dari Angkatan Darat, melainkan juga [[AURI]], Bagian Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah (Pejabat [[PDRI]] di [[Jawa]]) dan Pepolit dari Kementerian Pertahanan. Pasukan yang terlibat langsung dalam penyerangan terhadap Yogyakarta adalah dari [[Brigade IX]] dan [[Brigade X]], di-back up oleh pasukan [[Wehrkreis I]] dan II, yang bertugas mengikat Belanda dalam pertempuran di luar [[Wehrkreis III]], guna mencegah atau paling tidak memperlambat gerakan bantuan mereka ke Yogyakarta. Tidak mungkin seorang panglima atau komandan, tidak mengerahkan seluruh kekuatan yang ada di bawah komandonya, untuk menghadapi musuh yang jauh lebih kuat. Perlu diingat, ketika [[Belanda]] menduduki Ibukota [[RI]], [[Yogyakarta]], tanpa perlawanan dari [[TNI]], karena dari semula telah diperhitungkan, kekuatan [[TNI]] tidak sanggup menahan serangan [[Belanda]]. Juga tidak mungkin seorang panglima atau komandan pasukan memerintahkan melakukan serangan terhadap suatu sasaran musuh yang kuat, tanpa memikirkan perlindungan belakang. Selain itu, juga penting masalah logistik; suply (pasokan) perlengkapan dan perbekalan untuk ribuan pejuang serta perawatan medis yang melibatkan beberapa pihak di luar [[TNI]]. Apakah semua ini dapat dipersiapkan, dilakukan atau diperintahkan oleh seorang komandan brigade?
 
Dalam perencanaan dan pelaksanaan, juga melibatkan bagian Pepolit (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan. Selain itu, juga terlihat peran Kolonel [[T.B. Simatupang]], Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Untuk penyiaran berita mengenai serangan tersebut ke luar negeri, melibatkan pemancar radio [[AURI]] di [[Playen]], dan pemancar radio Staf Penerangan Komisariat Pusat, yang waktu itu berada di [[Wiladek]].
 
Cukup kuat alasan untuk meragukan versi yang mengatakan, bahwa seorang komandan brigade dapat memberi tugas kepada Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, yang berada dua tingkat di atasnya, untuk membuat teks (dalam bahasa [[Inggris]]) yang akan disampaikan kepada pihak [[AURI]] untuk kemudian disiarkan oleh stasiun pemancar [[AURI]]. Dengan demikian, menurut versi ini, perencanaan serta persiapan serangan dilakukan di jajaran brigade, kemudian "memberikan instruksi" kepada sejumlah atasan, termasuk Panglima Divisi.
 
Perlu diketahui, bahwa selama perang gerilya, berdasarkan Instruksi No. 1/MBKD/1948 tertanggal 22 Desember 1948 yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara dan Teritorium Jawa/Markas Besar Komando Jawa (MBKD), Kolonel [[Abdul Haris Nasution]], dibentuk Pemerintah Militer di seluruh [[Jawa]]. Struktur dan hirarki militer berfungsi dengan baik dan garis komando sangat jelas.
 
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, tidak mungkin seorang komandan pasukan dapat menggerakkan pasukan-pasukan lain yang bukan di bawah komandonya tanpa seizin atasan. Seandainya ada gerakan pasukan lain, pasti harus dengan perintah dari atasan, dan tidak mungkin dilakukan oleh komandan yang satu level. Apalagi menugaskan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang yang dalam hirarki militer berada dua tingkat di atasnya, dan pihak Kementerian Pertahanan serta pihak AURI, yang memiliki/mengoperasikan pemancar radio. Berdasarkan bukti dan dokumen yang ada, serangan tersebut jelas melibatkan berapa pihak di luar [[Brigade X]]/[[Wehrkreis III]]; bahkan terlihat peran beberapa atasan langsung Letkol [[Suharto]].
 
Nasih terdapat cukup bukti serta dokumen yang menunjukkan, bahwa kendali seluruh operasi di wilayah Divisi III tetap berada di pucuk pimpinan Divisi III, yaitu Kolonel [[Bambang Sugeng]]. Hal ini terbukti dengan jelas, a.l. dengan adanya Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, yang ditujukan kepada Komandan [[Wehrkreis II]] [[Letkol. M. Bachrun]], di mana jelas disebutkan, bahwa Instruksi Rahasia tersebut sehubungan dengan perintah yang diberikan kepada [[Komandan Wehrkreis III]], Letkol [[Suharto]]. Juga disebutkan, bahwa pasukan yang langsung membantu dalam serangan ke kota adalah [[Brigade IX]].
 
Dalam naskah otobiografi Letnan Kolonel (Purn.) dr. [[W. Hutagalung]] disebutkan, bahwa Komandan [[Wehrkreis II]] Letkol [[Sarbini]] hadir dalam rapat perencanaan, sehingga tidak diperlukan lagi Instruksi tertulis.
 
Instruksi Rahasia tersebut merupakan kelanjutan dari Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949 yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, untuk a.l.
"... mengadakan perlawanan serentak terhadap Belanda sehebat-hebatnya... yang dapat menarik perhatian dunia luar...".
 
Dari dokumen ini dapat dilihat dengan jelas, bahwa tujuan semua serangan besar-besaran adalah untuk menarik perhatian dunia internasional, dan sejalan dengan Perintah Siasat 1 yang dikeluarkan oleh Panglima Besar [[Sudirman]] pada bulan Juni 1948.
Dalam buku yang sama di halaman 265, [[Nasution]] menulis:
"Panglima Divisi III telah memerintahkan serangan umum terhadap [[Yogya]] pada tanggal 1 Maret 1949, yang mempunyai efek yang besar terhadap...."
 
Dokumen ketiga yang membuktikan, bahwa seluruh operasi tersebut ada di bawah kendali Panglima Divisi III/GM III, adalah Perintah Siasat No. 9/PS/19, tertanggal 15 Maret 1949. Perintah diberikan kepada komandan [[Wehrkreis I]] (Letkol. [[Bachrun]]) dan II (Letkol. [[Sarbini]]), untuk meningkatkan penyerangan terhadap tentara [[Belanda]] di daerah masing-masing, dalam upaya untuk mengurangi bantuan Belanda ke Yogyakarta dan tekanan Belanda terhadap pasukan Republik di wilayah Wehrkreis III yang membawahi Yogyakarta, setelah dilaksanakan serangan atas Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949.
Isi Perintah Siasat tersebut adalah:
 
Staf Gubernur Militer III.
 
Sangat Rahasia.
 
PERINTAH SIASAT
 
Nomor: 9/PS/49
 
Keadaan:
Keadaan: 1.* Mulai tanggal 1-III-1949 serangan terhadap Ibukota telah dimulai dan usaha merebut Ibukota akan dilakukan berkali-kali. Kekuatan dari fihak kita melulu dari Brigade X, ditambah dengan pasukan-pasukan kecil dari kesatuan-kesatuan lain-lainnya.
Bantuan yang diberikan kepada Brigade X
1# Cie (kompi-pen.) dari Bat. Srohardoyo
1# Bat. Dari Bat. Darjatmo Brigade IX.
* Berhubung dengan aktiviteit dari fihak kita, maka [[Belanda]] menggerakkan balabantuan dari [[Semarang]] dan [[Magelang]] ditaksir 2000 orang lengkap) dan dibantu dengan [[Luchtmach]]-nya (Angkatan Udara-pen.), sehingga druk (tekanan-pen.) ke medan [[Yogya]] sangat beratnya. Perintah: Berhubung dengan hal tsb. Maka diperintahkan kepada Cdt. Daerah I dan Cdt. Daerah II Untuk:
2. Berhubung dengan aktiviteit dari fihak kita, maka Belanda
* Vernegen (meningkatkan-pen.) aktiviteitnya di daerahnya,terutama ditujukan kepada centra dari [[Prembun]]-[[Kebumen]]-[[Magelang]]-[[Semarang]] wetelijk gedeelte [[Purwokerto]]-[[Probolinggo]]-[[Karangkobar]].
menggerakkan balabantuan dari Semarang dan Magelang
* Untuk daerah W.K. [[Brigade IX]], terutama verbindingsweg (jalan penghubung-pen.) [[Magelang]]-[[Semarang]] dan [[Magelang]] - [[Yogya]]. (Dalam hal ini [[Bat. Panuju]] ditarik ke [[Magelang]] utara dan [[Bat. Bintoro]] verschuiven ke arah timur).
(ditaksir 2000 orang lengkap) dan dibantu dengan Luchtmach-nya (Angkatan Udara-pen.), sehingga druk (tekanan-pen.) ke medan Yogya sangat beratnya.
3.* Gerakan-gerakan tsb. dilakukan intensif dalam periode 15-III-1949 hingga 1-IV-1949 dan selanjutnya tetap meluaskan perlawanan.
Perintah: Berhubung dengan hal tsb. Maka diperintahkan kepada
 
Cdt. Daerah I dan
Cdt. Daerah II
U n t u k: 1. Vernegen (meningkatkan-pen.) aktiviteitnya di daerahnya,
terutama ditujukan kepada centra dari Prembun-Kebumen-
Magelang-Semarang wetelijk gedeelte Purwokerto-
Probolinggo-Karangkobar.
2. Untuk daerah W.K. Brigade IX, terutama verbindingsweg (jalan
penghubung-pen.) Magelang-Semarang dan Magelang- Yogya.
(Dalam hal ini Bat. Panuju ditarik ke Magelang utara dan Bat.
Bintoro verschuiven ke arah timur).
3. Gerakan-gerakan tsb. dilakukan intensif dalam periode
15-III-1949 hingga 1-IV-1949 dan selanjutnya tetap
meluaskan perlawanan.
S e l e s a i.
 
Dibuat utk. Dibuat di tempat
1.# Cdt. Daerah I. Tanggal : 15-III-1949
2.# Cdt. Daerah II J a m : 12.00
Tindasan utk. Panglima Divisi III/G.M. III
1.# Staf Divisi III.
2.# M.B.K.D.
3.# Cdt. Daerah III. (Kolonel [[Bambang Sugeng]])
4.# Arsip.
 
Dengan demikian, tiga dokumen yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, Kolonel Bambang Sugeng, yaitu:
1.# Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949,
2.# Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, dan
3.# Perintah Siasat No. 9/PS/49, tertanggal 15 Maret 1949,
 
membuktikan, bahwa sejak awal bergerilya, seluruh operasi di wilayah Divisi III, tetap diatur dan dikendalikan oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III. Dokumen-dokumen tersebut diperkuat antara lain dengan catatan harian Kolonel Simatupang, Wakil KSAP, dan otobiografi Letkol dr. Wiliater Hutagalung, Perwira Teritorial, serta kemudian di dalam berbagai tulisan dari A.H. Nasution, yang waktu itu adalah Panglima Tentara & Teritorium Jawa/MBKD. Selain itu, semua dokumen menunjukkan, bahwa Panglima Divisi III selalu memberikan instruksi dan melibatkan ketiga Wehrkreise tersebut; dengan demikian menjadi jelas, bahwa komando operasi ada di tangan Panglima Divisi, dan bukan di tangan Komandan Brigade.