Serangan Umum 1 Maret 1949: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 202:
# Perintah Siasat No. 9/PS/49, tertanggal 15 Maret 1949,
 
membuktikan, bahwa sejak awal bergerilya, seluruh operasi di wilayah [[Divisi III]], tetap diatur dan dikendalikan oleh Panglima [[Divisi III]]/[[Gubernur Militer III]]. Dokumen-dokumen tersebut diperkuat antara lain dengan catatan harian Kolonel [[Simatupang]], Wakil KSAP, dan otobiografi Letkol dr. [[Wiliater Hutagalung]], Perwira Teritorial, serta kemudian di dalam berbagai tulisan dari [[A.H. Nasution]], yang waktu itu adalah Panglima Tentara & Teritorium Jawa/MBKD. Selain itu, semua dokumen menunjukkan, bahwa Panglima [[Divisi III]] selalu memberikan instruksi dan melibatkan ketiga Wehrkreise tersebut; dengan demikian menjadi jelas, bahwa komando operasi ada di tangan Panglima Divisi, dan bukan di tangan Komandan Brigade.
 
Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, cocok dengan catatan harian [[Simatupang]] tertanggal 18 Februari 1949 yang dimuat dalam buku Laporan dari [[Banaran]], di mana tertera:
Kolonel [[Bambang Sugeng]], yang sedang mengunjungi daerah [[Yogyakarta]] (dia adalah Gubernur Militer daerah [[Yogyakarta]] - [[Kedu]] - [[Banyumas]] - [[Pekalongan]] - sebagian dari [[Semarang]]) datang dan bermalam di [[Banaran]].
 
...Idenya ialah: [[Yogya]] harus direbut dengan senjata. Paling sedikit dia ingin bahwa [[Yogyakarta]] kita serang secara besar-besaran...
Demikianlah kurang lebih jalan pikiran dan perasan dari [[Bambang Sugeng]] yang dapat saya tangkap...
Dengan Kolonel [[Sugeng]] masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya.
 
Bila disimak kalimat [[Simatupang]]:
"...datang dan bermalam di [[Banaran]]. ...Dengan Kolonel [[Soegeng]] masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya"
 
terlihat, bahwa [[Bambang Sugeng]] mengeluarkan instruksi rahasia tersebut tertanggal 18 Februari, setelah berkonsultasi dengan [[Simatupang]], Wakil Kepala Staf Angkatan Perang.
Juga apabila mencocokkannya dengan tulisan [[Budiarjo]] terbukti, bahwa [[Simatupang]] banyak terlibat dalam persiapan serangan tersebut. Hal ini dapat dilihat, bahwa [[Simatupang]] telah mempersiapkan teks dalam bahasa [[Inggris]] tanggal 28 Februari, sehari sebelum serangan terjadi dan meminta teks tersebut disiarkan oleh pemancar [[AURI]] [[Playen]], setelah serangan dilaksanakan tanggal 1 Maret 1949. Juga dari catatan [[Simatupang]] dapat dilihat, bahwa di [[Wiladek]] mereka juga telah "dipersiapkan" untuk menyiarkan berita mengenai serangan atas [[Yogyakarta]]. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa [[Simatupang]] juga memberikan teks yang akan dibacakan seperti halnya di [[Playen]], karena dalam catatan hariannya, [[Simatupang]] sendiri tidak menyebutkan nama [[Budiarjo]] ketika dia menyampaikan teks yang akan dibacakan di [[Playen]]. Di sini terlihat jelas, bahwa "Serangan Spektakuler" tersebut adalah suatu skenario -rekayasa- untuk konsumsi dunia internasional.
 
Catatan harian tersebut, yang tertulis dalam buku Laporan dari [[Banaran]], sekaligus juga menunjukkan keterlibatan besar dari [[Simatupang]], yang dalam hirarki militer beberapa tingkat di atas Suharto. Buku Laporan dari Banaran diterbitkan pertama kali tahun 1960, ketika [[Suharto]] belum menjadi Presiden, dan episode perjuangan tersebut belum diekspos menjadi mercu suar, dan sejarah tidak ditulis untuk kepentingan penguasa.
 
Selain itu, melihat besarnya operasi tersebut serta keterlibatan berbagai pihak, yang dalam hirarki militer berada di posisi lebih tinggi, sangat tidak mungkin, bahwa komando operasi dipegang oleh seorang komandan brigade. Dalam instruksi No. 1/MBKD/1948, tertanggal 25 Desember 1948, butir 5, Kolonel [[Nasution]], Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menegaskan:
"… Peliharalah terus hierarchie ketentaraan…"
 
Perencanaan serangan tersebut sangat dirahasiakan, sehingga selain pucuk pimpinan tertinggi militer dan sipil, pada waktu itu hampir tidak ada anggota staf di jajaran bawah, yang mengetahui mengenai rencana tersebut, bahkan staf Gubernur Militer sekalipun. Seorang pelaku sejarah menyampaikan, bahwa dia sebagai anggota staf GM III yang berada di lereng [[gunung Sumbing]], baru mengetahui mengenai serangan tersebut setelah serangan dilancarkan.
Begitu juga dengan para pelaksana di lapangan, tidak mengetahui mengenai perencanaan serta Grand Design serangan umum, sebagaimana diungkapkan oleh seorang pelaku di lapangan, Kol. (Purn.) [[A. Latief]] (waktu itu komandan kompi, berpangkat Kapten). Dalam naskah yang ditulis di [[penjara Cipinang]] antara tahun 1991 - 1997, tertera ([[Abdul Latief]]. Naskah, belum ada judul, (diperoleh penulis tahun 1998), hlm. 57):
"Semua yang saya tulis di sini dengan sendirinya menurut pengalaman yang saya rasakan, saya ketahui dan saya alami pada kejadian waktu itu di sekitar daerah yang ditugaskan kepada saya. Sebab skope pasukan saya kecil, yaitu hanya merupakan sebuah kompi saja yang hanya mempunyai daerah terbatas."
 
Jadi sangat jelas, bahwa setiap komandan hanya mengetahui sebatas tugas yang diberikan kepadanya dan mempunyai wewenang hanya atas pasukannya. Pernyataan [[Suharto]], seperti disampaikan dalam otobiografinya, selain tidak logis dan tampak hanya mengarang cerita belaka, dapat dibantah berdasarkan bukti yang ada.
 
Perlu dianalisis kalimat yang tertulis dalam otobiografi [[Suharto]], yaitu:
"... Maka muncul keputusan dalam pikiran saya: kita harus melakukan serangan pada siang hari, supaya bisa menunjukkan kepada dunia, kebohongan [[Belanda]] itu. Karena sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal [[Sudirman]], yang tempat bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas, maka sebagai komandan [[Wehrkreise]] yang memiliki wewenang untuk melakukan prakarsa ..."
 
Memang tidak semua prajurit dapat atau boleh mengetahui keberadaan Panglima Besar, yang menjadi incaran tentara [[Belanda]]. Akan tetapi pucuk pimpinan militer dan sipil, dapat selalu berkomunikasi dengan Jenderal [[Sudirman]], walaupun tempat persembunyiannya selalu berpindah-pindah, bahkan di beberapa tempat, hanya satu atau dua hari saja. Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh Kapten [[Suparjo Rustam]], ajudan Panglima Besar Sudirman, tercatat kegiatan Panglima Besar, antara lain:
"… Tanggal 27.12.1948. Meninggalkan desa Karangnongko (di sungai Brantas, Jawa Timur) dan pindah ke desa di lereng Gunung Wilis. Pak Dirman mengutus Kolonel Bambang Supeno supaya mencari hubungan dengan Pemerintah pusat di Jawa, yang menurut kabar ada di gunung Lawu. Tidak lama setelah Kol. Bambang Supeno berangkat, datang pula Kol. Sungkono (Panglima Divisi/Gubernur Militer Jawa Timur). Tanggal 10.1.1949, Bambang Supeno kembal. Tanggal 11.1.1949 di desa Wayang, pertemuan dengan Menteri Pembangunan Supeno dan Menteri Kehakiman Susanto Tirtoprojo . Selama beberapa hari setelah tanggal 12.1.1949 banyak tamu-tamu dari berbagai kota dan daerah datang menemui Pak Dirman.”