Serangan Umum 1 Maret 1949: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 231:
"... Maka muncul keputusan dalam pikiran saya: kita harus melakukan serangan pada siang hari, supaya bisa menunjukkan kepada dunia, kebohongan [[Belanda]] itu. Karena sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal [[Sudirman]], yang tempat bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas, maka sebagai komandan [[Wehrkreise]] yang memiliki wewenang untuk melakukan prakarsa ..."
Memang tidak semua prajurit dapat atau boleh mengetahui keberadaan Panglima Besar, yang menjadi incaran tentara [[Belanda]]. Akan tetapi pucuk pimpinan militer dan sipil, dapat selalu berkomunikasi dengan Jenderal [[Sudirman]], walaupun tempat persembunyiannya selalu berpindah-pindah, bahkan di beberapa tempat, hanya satu atau dua hari saja. Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh Kapten [[Suparjo Rustam]], ajudan Panglima Besar [[Sudirman]], tercatat kegiatan Panglima Besar, antara lain:
"… Tanggal 27.12.1948. Meninggalkan desa [[Karangnongko]] (di [[sungai Brantas]], [[Jawa Timur]]) dan pindah ke desa di lereng [[Gunung Wilis]]. Pak Dirman mengutus Kolonel [[Bambang Supeno]] supaya mencari hubungan dengan Pemerintah pusat di [[Jawa]], yang menurut kabar ada di [[gunung Lawu]]. Tidak lama setelah Kol. [[Bambang Supeno]] berangkat, datang pula Kol. [[Sungkono]] (Panglima Divisi/Gubernur Militer Jawa Timur). Tanggal 10.1.1949, [[Bambang Supeno]] kembal. Tanggal 11.1.1949 di desa [[Wayang]], pertemuan dengan Menteri Pembangunan [[Supeno]] dan Menteri Kehakiman [[Susanto Tirtoprojo
Selama perjalanan, Kapten [[Suparjo]] (ajudan Panglima Besar), selalu mengirimkan utusan untuk memberikan berita kepada KBN-KBN, di mana rombongan berada. Tercatat antara lain:
… Tanggal 8.2.1949, di desa [[Pringapus]]. Mengirimkan beberapa orang ke [[Yogyakarta]], di antaranya [[Harsono Cokroaminoto]] untuk mendapatkan keterangan-keterangan mengenai politik, Letnan [[Basuki]] dan dr. [[Suwondo]] (dokter pribadi Panglima Besar) untuk mencari obat-obatan, Kapten [[Cokropanolo]] untuk menghadap Sri Sultan … Orang-orang yang dikirim ke Yogya hampir semuanya ditangkap [[Belanda]], yang tidak ditangkap hanya dr. [[Suwondo]] dan Kapten [[Cokropranolo]].
Tanggal 3.3.1949 di desa [[Sobo]], datang utusan dari Kolonel [[Gatot Subroto]] dengan satu kompi tentara dipimpin Letkol. [[Su'adi]], untuk mengawal Pak Dirman …
Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh ajudan Panglima Besar terlihat, bahwa Panglima Divisi/Gubernur Militer serta pembesar sipil, dapat selalu mengetahui keberadaan Panglima Besar, dan Panglima Besar dapat mengirim utusan untuk bertemu dengan pimpinan militer dan sipil, seperti beberapa menteri yang tidak ditangkap [[Belanda]]. Jelas, [[Suharto]] yang waktu itu hanya komandan brigade, tidak termasuk lingkungan yang dapat atau boleh mengetahui keberadaan Panglima Besar. Selanjutnya, [[N.S.S. Tarjo]] menulis:
"...Dengan pemancar ini beserta radio-radio rimbu (Radio dengan tenaga listrik buatan. Kekuatan stromnya diperoleh dengan jalan memutar roda sepeda – pen.) , pimpinan Gerilya kita dapat mengikuti situasi Internasional dan dapat menyusun rencana perang Gerilya, sesuai dengan situasi politik, karenanya kita masih mampu berhubungan satu sama lain via darat dan udara, bahkan mampu mengadakan Konferensi Dinas Gubernur Militer, yang kita selenggarakan di daerah Wadas-lintang.
Maka datanglah peserta dari seluruh wilayah, mereka menginap, mereka membawa staf, mereka berunding sambil "makan besar", tak ketinggalan potret-potret sebagai dokumentasi. Tak ubahnya seperti konferensi dinas di dalam kota."
Komunikasi dengan pimpinan militer dan sipil di [[Sumatera]], akhir Januari 1949 telah dapat dijalin, seperti ditulis oleh [[Simatupang]]:
"...Dan memang, akhir bulan Januari hubungan radio telegrafis telah pulih dengan [[Sumatera]], dan melalui [[Sumatera]] sejak itu kami dapat pula mengirimkan berita-berita kepada perwakilan kita di [[New Delhi]].
Dengan [[Yogyakarta]] hubungan segera dapat diatur. Hari kedua setelah kami tiba di [[Dekso]] saya dapat mengirim surat-surat kepada Dr. [[Halim]] yang berada di kota dan tidak lama kemudian balasannya telah dapat saya terima…"
Ini hanya beberapa catatan sebagai bukti, bahwa pernyataan [[Suharto]] sama sekali tidak benar. Memang, hanya sebagai Komandan Brigade, dia tidak termasuk jajaran yang harus atau dapat mengetahui keberadaan Panglima Besar, sedangkan Panglima Divisi/Gubernur Militer atau pimpinan tertinggi sipil, tidak sulit untuk bertemu, bahkan hadir dalam Konferensi Dinas yang diselenggarakan oleh Panglima Besar. Dari sekian banyak dokumen yang ada mengenai korespondensi pimpinan sipil dan militer, terlihat bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai hambatan untuk memberikan perintah, instruksi atau saling berkomunikasi.
Juga terdapat kejanggalan mengenai pernyataan [[Suharto]] tersebut, yaitu bahwa dia mengambil keputusan tersebut, karena kesulitan menghubungi Panglima Besar Sudirman. Pertama, hal itu sebenarnya tidak dapat dia lakukan, karena Letnan Kolonel [[Suharto]], Komandan [[Brigade X]], masih mempunyai atasan langsung, yaitu [[Kolonel Bambang Sugeng]], Panglima [[Divisi III]], yang markasnya hanya berjarak sekitar dua hari berjalan kaki dari markas [[Wehrkreis III]]. Juga ada Kolonel [[A.H. Nasution]], Panglima Tentara dan Teritorium [[Jawa]], dan Markas Besar Komando [[Jawa]] berada di desa [[Manisrenggo]], di lereng [[gunung Merapi]]. Selain itu masih ada Kolonel [[Simatupang]], Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, yang bermarkas di pedukuhan [[Banaran]], desa [[Banjarsari]] di lereng [[gunung Sumbing]], tidak jauh dari markas [[Divisi III]]. Tentu menjadi suatu pertanyaan besar, untuk apa seorang komandan brigade ingin berhubungan langsung dengan Panglima Besar, dengan melewati tiga jajaran di atasnya. Semua markas-markas di wilayah [[Divisi III]] berada dalam radius sekitar 24 jam berjalan kaki.
Seorang pelaku serangan umum, [[Vence Sumual]], dalam biografinya yang diterbitkan tahun 1998 menulis, bahwa dia dipanggil oleh Suharto untuk membicarakan rencana serangan tersebut. Sumual menulis (Sumual, Vence, Menatap Hanya Ke Depan, Bina Insani, Jakarta, 1998, hlm. 85):
"... Panglima Divisi III, yang kini merupakan juga Gubernur Militer Daerah III, Kol [[Bambang Sugeng]] mengeluarkan Instruksi Rahasia untuk Letkol [[Suharto]], Komandan WK-III, agar mengadakan serangan umum yang lebih kuat lagi. Sedangkan kepada WK-I dan II diinstruksikan untuk memberikan bantuan pasukan ke dalam komando Letkol [[Suharto]]..."
Selanjutnya, [[Sumual]], yang waktu itu adalah Komandan SWK-103 A, Sektor Barat, menulis:
"... Sore harinya baru tiba. Markas SWK-106 berada di desa [[Semaken]]. Mayor [[Sumual]] langsung diantar masuk ke ruang dalam. [[Bob Mandagie]] tunggu di luar, mengobrol dengan beberapa anggota pasukan di situ.
Di situ hanya mereka bertiga. [[Vence Sumual]], Letkol [[Suharto]] dan Komandan SWK-106 Letkol [[Sudarto]] yang tuan rumah. Mereka bikin rapat.
Pembicaraan masuk ke pokok. Soal serangan umum ke Yogya. [[Suharto]] sudah mendapat Instruksi Rahasia dari Panglima [[Divisi III]] Kol [[Bambang Sugeng]] untuk mengadakan serangan umum besar-besaran yang lebih terencana matang. Serangan-serangan umum sebelumnya tak dirapatkan dengan para komandan SWK seperti ini, setidaknya komandan sektor barat..."
Uraian [[Sumual]], yang waktu itu adalah Komandan SWK-103 A, Sektor Barat, menunjukkan dengan tegas, bahwa perintah serangan umum datang dari Panglima [[Divisi III]]/GM III Kolonel [[Bambang Sugeng]], dan bukan gagasan [[Suharto]] atau perintah dari [[Hamengku Buwono IX]].
Buku yang diterbitkan [[SESKOAD]], [[Serangan Umum 1 Maret 1949]] di [[Yogyakarta]], mengandung sangat banyak kontroversi. Di satu sisi, buku tersebut dilengkapi dengan berbagai dokumen otentik yang sangat penting, namun di sisi lain, kesimpulan yang diambil hanya mengarah kepada yang telah digariskan oleh penguasa waktu itu, yaitu: Pemrakarsa dan Komandan Operasi Serangan Umum adalah Suharto. Banyak dokumen dilampirkan dalam buku tersebut, termasuk yang dikeluarkan oleh Panglima [[Divisi III]]/Gubernur Militer III Kolonel [[Bambang Sugeng]], yaitu Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949, dan yang terpenting adalah Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, di mana jelas tertera Instruksi kepada Komandan Daerah III Letkol [[Suharto]] dan Komandan Daerah I Letkol. [[M. Bachrun]]. Di samping kedua surat tersebut, Perintah Siasat yang dikeluarkan tanggal 15 Maret 1949 menunjukkan, bahwa Bambang Sugeng tetap memegang kendali operasi dan selalu melibatkan seluruh potensi yang ada di bawah komandonya:
Selain itu, juga terdapat kalimat yang memberi gambaran, bahwa serangan terhadap [[Yogyakarta]] tersebut adalah bagian dari operasi [[Gubernur Militer III]], yang juga melibatkan pasukan di bawah komando [[Gubernur Militer II]]. Koordinasi pada tingkat Gubernur Militer, jelas tidak mungkin dilakukan oleh seorang komandan Brigade:
Serangan yang akan dilaksanakan oleh [[Wehrkreis III]] sesungguhnya merupakan operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel [[Bambang Sugeng]]. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melaksanakan operasi untuk mengimbangi serangan [[Wehrkreis III]] ialah pasukan GM II yang melaksanakan operasi di daerah [[Surakarta]] dan [[Wehrkreis II]] [[Divisi III]] yang melaksanakan operasi di daerah [[Kedu]]/[[Magelang]].
Kalimat:
"...dan [[Wehrkreis II]] [[Divisi III]] yang melaksanakan operasi di daerah [[Kedu]]/[[Magelang]]"
juga membuktikan kebenaran keterangan Letnan Kolonel [[dr. Hutagalung]], yang menyebutkan, bahwa [[Wehrkreis II]] juga terlibat dalam aksi besar-besaran tersebut; perintah tertulis kepada Komandan [[Wehrkreis II]] tidak perlu diberikan, karena Letnan Kolonel Sarbini hadir dalam rapat perencanaan di lereng [[Gunung Sumbing]].
Buku yang diterbitkan oleh [[SESKOAD]] untuk glorifikasi [[Suharto]], sekaligus mengecilkan peran banyak atasan Suharto, dan bahkan hanya dengan beberapa baris kalimat, sangat menjatuhkan nama baik Presiden [[Sukarno]] serta pimpinan sipil lain, yang -setelah pertimbangan yang matang- memutuskan untuk tidak ke luar kota.
Dalam buku SESKOAD tertulis:
"... Tiba-tiba datang seorang kurir dari Istana membawa berita bahwa apapun yang terjadi, para pejabat pemerintah tetap di kota. Mereka semua mendongkol, segera direncanakan penculikan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Sebuah pasukan telah disiapkan. Namun, kemudian Kolonel [[T.B. Simatupang]] melarangnya. Rencana itu dibatalkan."
Sebagaimana telah dituliskan di muka, bahwa keputusan untuk tetap tinggal di kota, diambil setelah dilakukan Sidang Kabinet yang berlangsung dari pagi sampai siang. Selain itu, Panglima Besar [[Sudirman]] dan Kolonel [[Simatupang]] sendiri juga berada di Istana. Para penulis buku [[SESKOAD]] sama sekali tidak menyebutkan adanya Sidang Kabinet, percakapan antara Presiden [[Sukarno]] dengan Panglima Besar dan surat perintah Wakil Presiden/Menteri Pertahanan, yang ditujukan kepada seluruh Angkatan Perang, yang diserahkan langsung kepada Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel [[Simatupang]], seusai Sidang Kabinet di Istana. Buku [[SESKOAD]] juga tidak menjelaskan, siapa kelompok yang "mendongkol" dan akan menculik Presiden serta Wakil Presiden untuk dibawa ke luar kota. Mengenai kegiatannya sepanjang tanggal 19 Desember 1948, [[Simatupang]] menulis sangat rinci dalam buku Laporan dari [[Banaran]], dan tidak menyebutkan bertemu dengan "kelompok yang mendongkol" tersebut. Seandainya memang benar ada rencana "penculikan" Presiden dan Wakil Presiden, pasti hal itu telah ditulis dalam catatan hariannya. Dalam buku [[SESKOAD]] setebal sekitar 400 halaman hanya dengan beberapa baris saja [[Sukarno]] didiskreditkan, dan digambarkan sebagai seorang pengecut yang tidak berani memimpin perang gerilya.
== Kontroversi dalam Serangan Umum 1 Maret pada era reformasi ==
|