Nama Bali: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
M. Adiputra (bicara | kontrib) ~~ Tag: Pengembalian manual |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Dikembalikan kemungkinan IP LTA Mengosongkan sebagian besar isi Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 1:
'''Sebutan nama depan''' Ida Bagus adalah milik Wangsa/ klan Brahmana di kalangan '''[[suku Bali]]''' adalah Wangsa/ Klan Brahmana yg merupakan satu garis keturunan dari Brahmana yg berasal dari jaman Majapahit.
Penamaan ini juga untuk mengetahui suku Bali yg datang dari Majapahit dan Suku Bali Aga/ asli Bali.
Suku Bali asal Majapahit umunya adalah Wangsa/ Klan dari para Arya arya dan rohaniawan Atau Kaum dari keluarga Brahmana dan Bangsawan kerajaan Majapahit
Nama orang Bali merupakan suatu budaya yang unik, karena berkaitan dengan jenis kelamin, urutan kelahiran, Wangsa/ Klan dari satu garis keturunan mereka terorganisir dgn Baik behitu juga status kebangsawanan ([[kasta]]) di Jaman dahulu. Karena masong menyandang nama dari Garis Wangsa/ Klannya.
Dengan penamaan yang khas ini, masyarakat Bali dapat dengan mudah mengetahui klan atau marganya dari garis keturunan leluhurnya.
Ida Bagus adalah nama depan untuk klan Brahmana yg ada di Bali,Sejarah Klan Ida Bagus (Brahmana di Bali) dimulai dari datangnya seorang Brahmana
Danghyang Nirartha dari Jawa.
Mula – mula bertempat tinggal di Kediri, Jawa Timur. Di sini Beliau menurunkan dua orang putra yaitu Ida Ayu Swabhawa, dan Ida Kemenuh. Keturunan Ida Kemenuh menjadi Brahmana Kemenuh di Bali. Sedangkan Ida Ayu Swabhawa kemudian didharmakan di Pura Pulaki dengan nama Dewi Melanting.
Dari Kediri kemudian Danghyang Nirartha pindah ke Pasuruan, di sinipun menurunkan putra – putra yaitu Ida Kuluan, Ida Wetan Ida Ler, Ida Lor. Karena ibunya dari Manuaba, maka keturunannya disebut Brahmana Manuaba.
Dari Pasuruan, lalu Danghyang Nirartha pindah ke Blambangan, disinipun Danghyang Nirartha menikah dengan adik Dalem Blambangan, lalu menurunkan : Ida Istra Rai, Ida Sakti Telaga, da, Ida Kaniten. Semua keturunannya ini lalu disebut Brahmana Keniten. Setelah sampai di Bali, Danghyang Nirartha menetap di Desa Mas. Dari sinipun Danghyang Nirartha menikahi anak bendesa Mas. Dari pernikahan in Danghyang Nirartha memiliki putra : Ida Timbul, Ida Alngkajeng, Ida Penarukan, dan Ida Sigaran. Karena beribu Bendesa Manik Mas maka keturunan ini disebut Brahmana Mas, terakhir, Danghyang Nirartha juga menikahi pajroannya Putri Bendesa Mas, lalu menurunkan Ida Petapan.
Dengan demikian, putra – putra Danghyang Nirartha masing – masing melekatkan identitas sendiri : Brahmana Kemenuh, brahmana Manuaba, Brahman Kaniten, Brahmana Mas, dan Brahmana Patapan. Dalam upacara karya agung di Pura Besakih, Sri Dalem Waturenggong mengundang Danghyang Angsoka. Tapi karena sudah terlalu tua, maka diutuslah putranya ke Bali, yaitu Danghyang Astapaka. Kemudian Danghyang Astapaka mewakili unsur Pandita Budha, dan akhirnya menetap di Bali. Dalam perkembangan selanjutnya, Danghyang Nirartha diangkat menjadi Nabe, sekaligus sebagai pendeta utama kerajaan Gelgel.
Semenjak kedatangan dua pandita ini di Bali, maka kedudukan para empu yang tadinya sebagai purohito kerajaan mewakili unsur Siva – Budha dan Rsi Bhujangga yang mewakili unsur Waisnava diganti kedudukannya oleh mereka berdua. Dan unsur dari Bhujangga Waisnava tidak di ikut sertakan dalam hal kepanditaan dan kerohanian di dalam kerajaan. Bahkan dalam bidang kemasyarakatan Dang hyang Nirartha dengan restu Dalem membuat sturkturisasi pelapisan masyarakat di Bali. Pada mulanya masyarakat Bali menganut sistem varnasrma, lalu disusun berdasarkan wangsa, yang dalam istilah Barat (terutama Portugis) disebut kasta. Dimana keluarga dan keturunan Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka menduduki pos sebagai Brahmana Wangsa. Kesatria Wangsa di isi oleh para keluarga Dalem dan para kerabat keluarga kerajaan. Para Arya didudukkan sebagai vaisya wangsa dan dari sudra adalah mereka di luar warga tadi, dengan tidak melihat asal-usul mereka di dalamnya termasuk warga Pasek dan Bhujangga. Dimana golongan ini dikenal dengan sebutan “Wang Jaba”.
Untuk meresmikan hal ini di masyarakat, struktur baru ini dimasukkan dalam lontar-lontar pedoman seperti Widhisastra Saking Nithi Danghyang Dwijendra. Namun warga Pasek yang digolongkan sudra diperkenankan menjadi pandita, hal ini karena antara keluarga Danghyang Nirartha dan keluarga Pasek masih memiliki hubungan keluarga. Kalau dilihat lagi dari asal usulnya Danghyang Nirarta adalah putra dari Danghyang Smaranatha, Danghyang Smaranatha adalah putra Mpu Tantular, Mpu Tantular adalah putra Mpu Bahula dengan Dyah Ratnamanggali, sedangkan orang tua dari Mpu Bahula adalah Mpu Bharadah dari pihak ayah. Sedangkan dari pihak ibu, Mpu Bahula adalah keturunan Mpu Kuturan.
Baik Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah adalah saudara dari Mpu Gnijaya yang tidak lain adalah leluhur para Warga Pasek, jadi dapat dikatakan mereka dalah sama-sama keturunan Bhatara Hyang Pasupati yang berparahyangan di gunung Mahameru India. Walaupun demikian, para Warga Pasek pada saat diksa (inisiasi) hanya menggunakan gelar Dukuh saja. Strukturisasi masyarakat seperti ini mulai diberlakukan di Bali, akhirnya sistem wangsa ini diterapkan dalam segala kehidupan bermasyarakat di Bali. Hal ini terbukti dari pelaksanaan upacara ngaben, pengarge tirtha pengentas, surat kajang dan atribut-atribut lainnya dalam upakara. Hal ini selalu di kaitkan dengan wangsa brahmana selaku pemegang kebijakan dalam pelaksanaannya di masyarakat. Selanjutnya, sebutan pandita untuk brahmana Siwa dan Budha dari keluarga Danghyang Nirartha tidak lagi memakai istilah Danghyang atau Mpu, melainkan menggunakan istilah Pedanda. Danda bisa berarti hukum dan bisa berarti tongkat. Jadi yang dimaksud pedanda adalah pemegang hukum atau pemegang tongkat. Demikianlah akhirnya putra-putra Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka lalu disebut pedanda bagi yang telah di diksa (inisiasi). Hal lain, yang juga berlaku adalah rakyat biasa atau wang jaba/sudra tidak diperkenankan mempelajari veda, tanpa seijin dari wangsa brahmana, kalau sampai ada yang melanggar akan dikenakan hukuman berat.
Selanjutnya, putra-putra Danghyang Nirartha di Bali menurunkan keturunannya masing-masing. Ida Kuluan Brahmana Manuaba menurunkan Pedanda Penida di Wanasari dan Pedanda Temban di Tembau. Pedanda Temban adalah seorang pengawi kidung Wedari Smara dan kidung Brahmana Cangupati. Pedanda Weser dan Pedanda Batulumpang. Ida Wetan berputra Pedanda Panida, Pedanda Tegal Suci di Manuaba. Pedanda Lor berputra Pedanda Mambal yang beribu dari Pasuruan. Pedanda Ler berputra Pedanda Teges beribu dari Srijati. Ida Sakti Telaga (Brahmana Kaniten) berputra Pedanda Gusti dan Pedanda Alang kajeng yang berputra Pedanda Sangsi dan Pedanda Mas.
Ida Patapan berputra Ida Ketut Tabanan, Ida Kukub di Tabanan dan Ida Ngenjuk di Lombok. Pedanda Lor juga beristri putri dari I Gusti Dauh Bale Agung yang menurunkan Pedanda Buruan yang bergelar Pedanda Manuaba yang berasrama di Manuaba, Gianyar. Pedanda Sakti Manuaba beristri dari Bajangan, lalu berputra pedanda Gde Taman di Sidawa, Taman Bali, Bangli yang berasrama di bukit Buwung di Sidawa. Pedanda Bajangan berasrama di bukit Bangli. Pedanda Abian di Telaga Tawang dan Pedanda Nengah Bajangan di Bukit. Pedanda Sakti Manuaba juga beristri putri Gajah Para dari Tianyar, lalu berputra pedanda wayahan Tianyar, Pedanda Nengah Tianyar, dan Pedanda Ketut Tianyar. Sedangkan Ida Kemenuh, putra Danghyang Nirartha yang tertua dengan keturunannya disebut Brahmana Kemenuh. Keturunan Ida Kemenuh disebut juga Brahmana Kediri. Sekianlah banyaknya keturunan Danghyang Nirartha di pulau Bali dan Lombok.
Di dalam masyarakat Bali masih dapat di lihat strukturisasi masyarakat yang disebut wangsa dengan ciri-ciri nama sebagai berikut :
1. Wangsa Brahmana dikenal dengan sebutan Ida Bagus dan Ida Ayu.
2. Wangsa Kesatria dapat dikenali dengan sebutan Anak Agung dan Anak Agung Ayu.
3. Wangsa Vaisya dapat dikenali dengan sebutan I Dewa, I Gusti, I Dewa Ayu, Desak, I Gusti Ayu, Ngakan dan lain-lain,
4. Sedangkan mereka yang disebut sudra atau dalam istilah Balinya dikenal dengan “Wang Jaba” dapat dikenali dengan sebutan I Gede, I Wayan, I Putu, I Made, I Nyoman, I Ketut dan lain sebagainya.
Walaupun saat ini tidak seperti pada masa-masa kerajaan, namun pengaruhnya masih terasa sampai saat ini. Terutama pada saat upacara agama dan adat.
== Sistem kasta ==
|