Kapitayan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 14:
Agama kapitayan ini, adalah agama kuno yang dipelajari dalam kajian arkeologi, yang tinggalan dan peninggalan arkeologisnya dalam terminologi Barat dikenal dengan dolmen, menhir, sarkofagus, dan lain-lain yang mengindikasikan adanya agama kuno disekitar tempat itu. Dan oleh sejarawan Belanda, agama ini secara salah disebut sebagai animisme dan dinamisme, karena memuja pohon, batu, dan makhluk halus. Menurut sudut pandang Ma Huan, praktek penyembahan benda-benda seperti itu disebut orang yang tidak beriman.<ref name=":0" /> Kapitayan ini lebih menyerupai [[Tauhid|ketauhidan]] daripada animisme-dinamisme seperti yang kebanyakan peneliti anggap. Penyebutan sebagai animisme-dinamisme sendiri muncul oleh karena, secara tampilan fisik, ritual yang dilakukan oleh para penganutnya tampak sebagai penyembahan terhadap benda-benda. Secara sederhana, penyembahan benda-benda itu dipahami sebagai pemujaan terhadap kekuatan benda itu sendiri (animisme-dinamisme). Sebenarnya, pada awalnya ajaran Kapitayan justru tidak menyembah benda itu sebagai kekuatan mutlak, namun lebih pada penyembahan Sang Hyang, kekuatan tertinggi. Benda-benda yang terdapat dalam ritual keagamaan, seperti pohon, batu, dan mata air adalah beberapa perwujudan saja dari kekuatan yang maha tinggi Sang Hyang tersebut.<ref>{{Cite journal|last=Ridho|first=Ali|date=2019|title=Tradisi Megengan dalam Menyambut Ramadhan: Living Qur’an Sebagai Kearifan Lokal Menyemai Islam di Jawa|journal=Jurnal Literasiologi|volume=1|issue=2|pages=24-50}}</ref>{{rp|25}}
Oleh karena Sanghyang Tunggal dengan dua sifat itu bersifat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati pancaindera dan alam pikiran manusia. Itu sebabnya, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Pribadi Tunggal Sanghyang Taya yang disebut Tu atau To itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki nama Tu atau To. Para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-tu, tu-gu, tu-tuk, tu-nda, tu-lang, tu-nggul, tu-ak, tu-k, tu-ban, tu-mbak, tunggak, tu-lup,tu-ngkub, tu-rumbukan, un-tu, pin-tu, tu-tud, to-peng, to-san, to-pong, to-parem, to-wok, to-ya. Sisa-sisa sarana pemujaan inilah yang dalam arkeologi dikenal sebagai Menhir, Dolmen, Punden Berundak, Nekara, Sarkofagus, dan lain lain. Dalam melakukan bhakti memuja Sanghyang Taya melalui sarana-sarana inilah, orang menyediakan sesaji berupa [[tumpeng]], tu-mbal, tu-mbu, tu-kung, tu-d kepada Sanghyang Taya melalui sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib.<ref name=":3" />{{rp|17}}
Seorang hamba pemuja Sanghyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif (tu-ah) dan yang bersifat negatif (tu-lah). Mereka yang sudah dikaruniai tu-ah dan tu-lah itulah yang dianggap berhak untuk menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-tu atau dha-tu. Mereka yang sudah dikaruniai tu-ah dan tu-lah, gerak-gerik Kehidupannya akan ditandai oleh PI, yakni kekuatan rahasia Ilahi Sanghyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya, ra-tu atau dha-tu, menyebut diri dengan kata ganti diri: PI-nakahulun. Jika berbicara disebut PI-dato. Jika mendengar disebut PI-harsa. Jika mengajar pengetahuan disebut PI-wulang. Jika memberi petuah disebut PI-tutur. Jika memberi petunjuk disebut PI-tuduh. Jika menghukum disebut PI-dana. Jika memberi keteguhan disebut PIandel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut PItapuja lazimnya berupa PI-nda (kue tepung), PI-nang, PI-tik, PIndodakakriya (nasi dan air), PI-sang. Jika memancarkan kekuatan disebut PI-deksa. Jika mereka meninggal dunia disebut PI-tara. Seorang ratu atau dha-tu, adalah pengejawantahan kekuatan gaib Sanghyang Taya. Seorang ratu adalah citra Pribadi Sanghyang Tunggal.<ref name=":3" />{{rp|17-18}}
Baris 20:
Dengan prasyarat-prasyarat sebagaimana terurai di muka, kedudukan ra-tu dan dha-tu tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-tu yang dituntut keharusan fundamental memiliki tu-ah dan tu-lah, tidak bisa diwariskan secara otomatis pada anak keturunannya. Seorang ra-tu harus berjuangkeras menunjukkan keunggulan tu-ah dan tu-lah, dengan mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil yang disebut wisaya. Penguasa wisaya diberi sebutan Raka. Seorang raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka yang lain, maka ia akan menduduki jabatan ra-tu. Dengan demikian, ra-tu adalah manusia yang benar-benar telah teruji kemampuannya, baik kemampuan memimpin dan mengatur strategi maupun kemampuan tu-ah dan tulah yang dimilikinya.<ref name=":3" />{{rp|18}}
Nilai-nilai keagamaan Kapitayan inilah yang kemudian diadopsi oleh para Walisongo dalam menyebarkan agama Islam ke daerah-daerah. Karena konsep tauhid dalam Kapitayan pada dasarnya sama dengan konsep tauhid dalam Islam: istilah
Walisongo juga menggunakan istilah “Sembahyang” (menyembah Sang Hyang Taya di Kapitayan) dalam memperkenalkan istilah “Shalat” dalam Islam. Dalam hal tempat pemujaan atau persembahyangan, Walisongo juga menggunakan istilah Sanggar di Kapitayan, yang merupakan bangunan empat persegi dengan lubang kosong di dindingnya sebagai simbol Sang Hyang Taya di Kapitayan, bukan arca atau arca seperti dalam agama Hindu atau agama Buddha. Istilah tempat untuk berdoa atau beribadah di Kapitayan ini juga digunakan oleh Walisongo dengan nama "Langgar" mewakili istilah Masjid dalam Islam.<ref>Sunyoto (2017). p. 17.</ref><ref name=":0" />
|