= HAK PENYANDANG DISABILITAS =
Kelompok minoritas dimanapun berada sangat dekat dengan perlakuan diskriminatif. Tindakan diskriminatif baik berupa perkataan maupun perbuatan. Salah satu bagian dari kelompok minoritas yang ada adalah kelompok penyandang [[Difabel|disabilitas]]. Kata “penyandang” menurut Kamus Besar bahasa indonesia ([[Kamus Besar Bahasa Indonesia|KBBI]]) diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu, kata disabilitas merupakan kata bahasa indonesia yang berasal dari kata serapan [[bahasa Inggris]] [[Difabel|disability]] (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan.<ref>{{Cite journal|last=Sutami|first=Hermina|date=2009-10-01|title=Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa; Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, 1701 pp. [First edition: Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.] ISBN 978-979-22-3|url=http://dx.doi.org/10.17510/wjhi.v11i2.165|journal=Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia|volume=11|issue=2|pages=335|doi=10.17510/wjhi.v11i2.165|issn=2407-6899}}</ref> Sebagai bagian dari masyarakat umunyaumumnya, penyandang disabilitas memiliki [[Hak asasi manusia|hak]] yang sama. Hak tersebut meliputi hak hidup, hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hak berumah tangga, hak politik, serta hak pembangunan. Data menunjukkan jumlah disabilitas di Indonesia saat ini menacapai angka 12 persen sebagaimana [[survey]] yang dilakukan oleh [[Badan Pusat Statistik]] (BPS).<ref>{{Cite journal|last=Amaliah|first=Henni|last2=Hos|first2=Jamaluddin|last3=Tanzil|first3=Tanzil|date=2020-12-13|title=STRATEGI PENYANDANG DISABILITAS DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN SOSIAL EKONOMI (Studi Pada Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Provinsi Sulawesi Tenggara)|url=http://dx.doi.org/10.52423/well-being.v1i2.16524|journal=WELL-BEING: Journal of Social Welfare|volume=1|issue=2|pages=74|doi=10.52423/well-being.v1i2.16524|issn=2722-7960}}</ref> Angka tersebut terbagi dalam beberapa kategori, baik dari jenis kelamin, dan tingkat disabilitas (sedang dan berat). Permasalahan hak disabilitas tidak hanya di alami oleh Indonesia, dikarenakan isu ini merupakan isu global. Beberapa langkah masyarakat internasional untuk pemajuan pemenuhan hak penyandang disabilitas terus diupayakan. Pengakuan hak bagi penyandang disabilitas oleh masyarakat internasional dengan memulai gerakan tahun 1982 tidak berhenti hingga tahun 1993 dengan melibatkan peran serta [[Perserikatan Bangsa-Bangsa|persatuan Bangsa-Bangsa]] (PBB). Negara-negara peserta juga didorong untuk memperbaiki arah kebijakannya untuk lebih meningkatkan pemenuhan dan perlindungan [[hak penyandang disabilitas]]. Pada pertemuan para ahli yag diadakan di Boalt Hal School of Law pada tanggal 8-12 desember 1998 mengemukakan dua pendekatan yang selama ini terdapat dalam isu [[HAM]] penyandang cacat. 1. Pendekatan pertama yang di pandang tradisional yakni yang memandang penyandang cacat bukanlah sebagai bagian dari isu [[kesehatan]] dan [[Kesejahteraan sosial|kesejahteraan]]. Sehingga segala bentuk tindakan baik yang ditunjukkan bagi mereka hanyalah sebatas dalam bentuk dorongan [[moralitas]] atau kemurahan hati. Anggapan ini tidak bisa dilepaskan dari keyakinan bahwa kecacatan seseorang adalah sesuatu yang “abnormal, yang patut dikasihani dan diperdulikan”. 2. Pendekatan kedua adalah pendekatan yang berupaya untuk menolak penggunaan sikap paternalistic dan mempatonisasi para penyandang cacat tapi dengan memandangnya melalui model medis yang sebagai konsekuensinya memandang mereka sebagai bagian dari anggota komunitas dengan hak-hak yang setara.<ref>{{Cite journal|last=Sunyowati|first=Dina|date=2013-03-29|title=HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM HUKUM NASIONAL (Dalam Perspektif Hubungan Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Di Indonesia)|url=http://dx.doi.org/10.25216/jhp.2.1.2013.67-84|journal=Jurnal Hukum dan Peradilan|volume=2|issue=1|pages=67|doi=10.25216/jhp.2.1.2013.67-84|issn=2528-1100}}</ref> Salah satu langkah yang di lakukan adalah memberikan perlindungan hukum dalam pemenuhan hak dengan meratifikasi berbagai instrument HAM Internasional khususnya yang berkaitan dengan penyandang disabilitas, membentuk instrument hukum nasional hingga pada tingat daerah, serta melihat kebijakan negara-negara lainnya dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas. Tuntutan akan hak dan diadakannya sarana dan prasarana aksesibilitas fisik maupun non-fisik bagi penyandang disabilitas telah sering disuarakan oleh para aktivis Organisasi Penyandang Disabilitas (Disabled People Organisation). Sebagian hak sudah diupayakan dan direalisasikan oleh pemerintah, seperti: pembangunan sekolah luar biasa, dibangunnya fasilitas-fasilitas di beberapa gedung, penerjemah berita penyandang disabilitas rungu/tuli di televisi (sekarang justru ditiadakan), transportasi khusus disabilitas dan sebagainya, walaupun masih minim dan kadang tidak terurus.<ref>{{Cite journal|last=Ridlwan|first=Zulkarnain|date=2015-10-26|title=PERLINDUNGAN HAK-HAK KONSTITUSIONAL PENYANDANG DISABILITAS (RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES)|url=http://dx.doi.org/10.25041/fiatjustisia.v7no2.382|journal=FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum|volume=7|issue=2|doi=10.25041/fiatjustisia.v7no2.382|issn=2477-6238}}</ref> Dorongan bagi daerah terus dilakukan karena dalam lingkup pemerintahan di daerah belum banyak tersedia peraturan daerah yang dapat memberikan perlindungan yang dimaksud salah satunya hak aksebilitas. Suatu perlindungan yang mencakup seluruh hak yang dapat diakses oleh masyarakat secara umum, yang sering disebut aksesibilitas. Pentingnya aksesibilitas kepada lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan kebudayaan, kesehatan dan pendidikan, serta informasi dan komunikasi, yang memungkinkan penyandang disabilitas untuk menikmati sepenuhnya semua hak asasi manusia.<ref>{{Cite journal|last=Ridlwan|first=Zulkarnain|date=2015-11-06|title=Payung Hukum Pembentukan BUMDes|url=http://dx.doi.org/10.25041/fiatjustisia.v7no3.396|journal=FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum|volume=7|issue=3|doi=10.25041/fiatjustisia.v7no3.396|issn=2477-6238}}</ref> Momentum reformasi tahun 1998 membawa pengaruh yang cukup besar di dalam perubahan pengaturan hak asasi manusia di [[Indonesia]]. Khususnya dengan adanya [[Amendemen|amandemen]] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menambah Pasal 28 I- 28 J tentang HAM, yang semula pada naskah asli hanya mengatur tentang hak warga negara.<ref>{{Cite journal|last=Fatah|first=Abdul|date=2013-09-04|title=GUGATAN WARGA NEGARA SEBAGAI MEKANISME PEMENUHAN HAK ASASI MANUSIA DAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA|url=http://dx.doi.org/10.20473/ydk.v28i3.347|journal=Yuridika|volume=28|issue=3|doi=10.20473/ydk.v28i3.347|issn=2528-3103}}</ref> Perubahan ini tidak lepas dari pengaruh Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) dimana Indonesia juga turut menandatanganinya. Sekalipun perubahan tersebut juga memuat aturan pembatasan. Namun ini menjadi capaian yang baik sejak Indonesia merdeka Tahun 1945. Penyandang disabilitas sekalipun tidak disebut secara tegas dalam UUD NRI tahun 1945, namun merupakan bagian dari manusia yang kedudukannya sama. Sebagaimanan prinsip dalam HAM yang universal, non diskriminasi, tidak dapat di pungkiri, tidak dapat di bagi dan tidak dapat dikurangi. Pemenuhan hak perlu adanya payung hukum, hal ini selaras dengan tujuan pembentukan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945 “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pada intinya bahwa perwujudannya bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Baik manusia yang terlahir “normal” dan terlahir dengan “ketidaksempurnaan fisik atau mental”. Pada anak-anak disabilitas dibekali dengan pendidikan yang sama sehingga ketika tumbuh dewasa menjadi pribadi yang mandiri, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan. Jangan sampai hanya berakhir dijalanan karna tidak memiliki pendidikan dan keahlian. Terserapnya penyandang disabilitas di usia kerja pada lapangan pekerjaan baik sebagai pegawai negeri maupun pekerjaan swasta. Keengganan perusahaan mempekerjakan penyandang disabilitas turut menambah jumlah disabilitas yang tidak terserap pada dunia kerja. Diberikannya kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk aktif dalam dunia politik. Sebelum adanya [[ratifikasi]] atas CRPD banyak instrument-instrumen berkaitan dengan penyandang disabilitas. Dari Undang-Undang, Peraturan Menteri terkait hingga Peraturan Daerah. Undang-undang yang didalamnya juga menyinggung tentang penyandang disabilitas antara lain ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan [[Pabean|kepabeanan]]. Kondisi ini membuktikan bahwa sesuangguhnya Indonesia memiliki cukup instrument perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas namun terhambat pada taraf implementasinya. Indonesia juga memiliki organisasi penyandang disabilitas salah satunya adalah Persatuan Penyandang disabilitas Indonesia, yang memiliki kantor perwakilan di berbagai daerah, salah satu yang dilakukannya adalah advokasi terhadap penyandang disabilitas agar hak-haknya dapat dipenuhi oleh pemerintah, serta melakukan penggalangan dana serta kegiatan-kegiatan yang melibatkan penyandang disabilitas.<ref>{{Cite web|last=Setyadi|first=Stefanus Novian|date=2019-12-13|title=MEMAKNAI PENDERITAAN DALAM KATEKESE PENGHARAPAN DILIHAT DARI KITAB AYUB|url=http://dx.doi.org/10.31227/osf.io/8dkzx|website=dx.doi.org|access-date=2021-06-30}}</ref>
== Ragam dari Penyandang Disabilitas ==
|