Hak fetus: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
membuat infobox
Baris 7:
Berdasarkan Pasal 1 butir (1) UU.No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak seseorang dapat dikatakan sebagai seseorang dapat dikatakan sebagai anak jika “Seseorang yang berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.<ref>{{Cite journal|last=Karyati|first=Sri|date=2019-03-30|title=PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK DI INDONESIA PASCA DIBERLAKUKANNYA UNDANG-UNDANG NO.35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK|url=http://dx.doi.org/10.29303/jatiswara.v34i1.192|journal=Jurnal Jatiswara|volume=34|issue=1|pages=41|doi=10.29303/jatiswara.v34i1.192|issn=2579-3071}}</ref> Anak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan, yakni segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan , serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi. Hak untuk hidup tercantum sebagai salah satu hak asasi pada BAB XA tentang Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 setelah amandemen.Pasal 28A menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28B ayat (2) menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Pasal 28 I ayat (1) menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah satu dari tujuh hak asasi manusia yang oleh UUD 1945 dinyatakan sebagai hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.Selaras dengan dasar negara Pancasila, maka dalam negara Indonesia, manusia, siapapun dia, adalah mahluk yang hakekat dan martabatnya harus dihormati.Berbeda dengan UUD 1945 sebelum perubahan, UUD 1945 setelah perubahan mengakui dan menghormati bahwa hak-hak asasi manusia bukanlah pemberian negara tetapi melekat dalam keberadaan manusia. Di dalam UUD 1945 yang lama, hanya ada satu hak asasi yang diakui sebagaimana tertera dalam Pasal 29 ayat (2), yaitu hak tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan hak-hak lain, seperti kemerdekaan berserikat dan berkumpul dan lain-lain, sebenarnya belum tergolong hak asasi manusia, melainkan hak warga negara.<ref>{{Cite web|last=Subardjo|date=2017-11-10|title=Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pembentukan Undang-undang Menurut Undang-Undang Dasar 1945|url=http://dx.doi.org/10.31227/osf.io/g38x5|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-03}}</ref> Pengakuan hak untuk hidup itu amat sentral dalam seluruh peri kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita. Keberadaan bangsa dan negara pertama-tama harus mengakui harkat dan martabat keberadaan manusia, prinsip ''rule of law,'' yaitu sistem dan praktek pemerintahan wajib melindungi warga dari kesewenangan kekuasaan dan melindungi warga dan hak-miliknya dari kesewenangan sesama warga, merupakan konsekuensi dari pengakuan atas hak hidup, mempertahankan kehidupan dan mengembangkan kehidupan. Tujuan bernegara yang hendak dicapai juga adalah berintikan peningkatan kualitas hidup sebagai penghormatan atas kehidupan manusia. Hak asasi ini berhubungan langsung dengan masalah [[Gugur kandungan|aborsi]], [[hukuman mati]], [[eutanasia]], membela diri, [[pembunuhan]] dan [[perang]]. Karena hak hidup, termasuk hak untuk hidup dan berkembang, diakui, maka aborsi pada dasarnya tidak dapat diizinkan. Hanya dalam keadaan yang sangat membahayakan nyawa sang ibu, yang disimpulkan ahli yang kompeten, aborsi dapat dilakukan. Seseorang berhak membela diri untuk mempertahankan kehidupannya bila kehidupannya terancam tetapi pembunuhan adalah pelanggaran [[hak asasi manusia]] yang paling fatal.Dengan pengakuan hak atas hidup, hukuman mati dalam sistem hukum kita seharusnya tidak diberlakukan lagi. Meminta diakhiri atau mengakhiri hidup (eutanasia), misalnya karena menderita penyakit yang tidak akan tersembuhkan atau sekarat, juga tidak dapat diizinkan.<ref>{{Cite journal|last=Baihaqi|first=Wahid Ahtar|date=2017-08-16|title=Revitalisasi Maqasid Al-Shari’ah: Pembacaan Ulang Konsep Kewarisan Beda Agama|url=http://dx.doi.org/10.21154/muslimheritage.v2i1.1048|journal=Muslim Heritage|volume=2|issue=1|pages=107|doi=10.21154/muslimheritage.v2i1.1048|issn=2502-5341}}</ref> Pembunuhan dan hukuman mati dalam perang adalah kejahatan yang sering terjadi justru untuk melindungi manusia lain dari pembunuhan. Memahami hak hidup ini dalam kerangka hak asasi manusia sebenarnyalah harus dilakukan secara utuh dan tak semata-mata merumuskan dengan cukup singkat sebagaimana Pasal 28A, namun dengan menyatakan “tiap-tiap orang memiliki hak yang melekat untuk hidup”, yang kemudian dilanjutkan dengan frasa “hak ini haruslah dilindungi oleh hukum”, dan kemudian dengan frasa “tak seorangpun dapat dirampas nyawanya secara sewenang-wenang”<ref>{{Cite journal|last=Amanda|first=Delia Yopi|last2=Tukiman|first2=Tukiman|date=2018-10-07|title=Pengawasan Terhadap Bangunan Liar Sepanjang Garis Sempadan Jalan Oleh Satuan Polisi Pamong Praja Di Kota Surabaya (Studi Kasus di Jalan Pandegiling Surabaya)|url=http://dx.doi.org/10.33005/jdg.v8i2.1185|journal=Dinamika Governance : Jurnal Ilmu Administrasi Negara|volume=8|issue=2|doi=10.33005/jdg.v8i2.1185|issn=2656-9949}}</ref><references />
[[Kategori:Hak asasi manusia]]
[[Kategori:Hukum aborsi]]
[[Kategori:Hukum keluarga]]
[[Kategori:Gerakan anti aborsi]]