Perenialisme agama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 4:
== Etimologi ==
 
Secara etimologis, filsafat ini dikenal dengan filsafat perenialisme (bahasa Latin: ''philosophia{{efn|Selain dari teoremanya tentang segitiga siku-siku, banyak yang tahu tentang diri Phytagoras – belakangan para pengikutnya cenderung menisbahkan penemuan mereka sendiri kepada gurunya – tetapi mungkin dialah yang menemukan istilah ''philosophia'', "cinta hikmah". Filosofi bukanlah sebuah disiplin rasional yang dingin, melainkan pencarian spiritual yang akan mengubah pencarinya ({{harvnb|Armstrong|2011|pp=121}}).}} perenialis''), yang berarti "kekal", "selama-lamanya", dan "abadi". Konsep perenial bisa diartikan juga sebagai ''Imago Dei'' (pandangan [[Kekristenan|Kristen]]), ''Dharma'' (dalam tradisi [[Agama Hindu|Hindu]] dan [[Agama Buddha|Buddha]]), atau ''Tao'' dalam pandangan [[Taoisme]]. Filsafat ini berbicara tentang Tuhan, Wujud yang Absolut, dan sumber dari segala wujud. Tuhan Yang Maha Besar adalah satu, sehingga semua [[agama]] yang muncul dari Yang Satu – prinsipnya sama karena datang dari sumber yang sama.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|69–70|p=75|ps=}} Filsafat tersebut adalah sebuah sudut pandang dalam filsafat agama yang meyakini bahwa setiap agama di dunia sesungguhnya memiliki suatu kebenaran tunggal dan universal. Filsafat itu juga meyakini bahwa semua pengetahuan dan doktrin religius, apa pun itu dan tanpa kecuali, pasti bermuara kepada titik temu realitas yang satu dan tertinggi.<ref>{{Cite web|last=Portal Informasi Indonesia|date=7 Maret 2019|title=Siwa-Buddha, Sebuah Praktik Filsafat Perenialisme|url=https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/siwa-budha-sebuah-praktik-filsafat-perenialisme|website=Portal Informasi Indonesia|access-date=5 Juli 2021}}</ref>
 
Selain itu, filsafat perenial membahas fenomena pluralisme agama secara kritis dan komprehensif. Filsafat ini juga menelusuri akar-akar kesadaran religoisitasreligioisitas seseorang atau sekelompok melalui simbol-simbol, ritus dan pengalaman keberagaman. (KomaruddinElemen-elemen Hidayatreligiositas danyang Muhamadpartikular W.tidak Nafisdiberi ruang dalam filsafat ini, 2003:tetapi 39-40)perenialisme secara holistik tidak menegasikan keberadaan pluralitas beragama karena agama dalam seluruh dimensinya tetap mempunyai keunikan dan ekspresi yang dihasilkan dalam pengalaman dengan realitas absolut.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|70|p=75|ps=}}
 
Keseluruhan ekspresi yang ditampilkan tidak menjadi sebuah paradigma tertutup, tetapi tetap terintegrasi dengan realitas yang menjamin keterkaitan antara pelbagai aspek yang membentuk pluralitas. Dengan demikian, keberadaan setiap bagian padadalam dirinya sendiri adalah sebuah keseluruhan yang membentuk suatu lingkaran yang tidak akan putus yang diilhami oleh Yang Kudus.
Elemen-elemen religiositas yang partikular tidak diberi ruang dalam filsafat perenial. Namun, secara holistik, perenialisme tidak menegasikan keberadaan pluralitas beragama karena agama dalam seluruh dimensinya tetap mempunyai keunikan dan ekspresi yang dihasilkan dalam pengalaman dengan Realitas Absolut.
 
== Subtansi ==
Keseluruhan ekspresi yang ditampilkan tidak menjadi sebuah paradigma tertutup tetapi tetap terintegrasi dengan realitas yang menjamin keterkaitan antara pelbagai aspek yang membentuk pluralitas. Dengan demikian, keberadaan setiap bagian pada dirinya sendiri adalah sebuah keseluruhan yang membentuk suatu lingkaran yang tidak akan putus yang diilhami oleh Yang Kudus.
Semua agama bersifat parsial karena lahir dari konteks dan tradisi tertentu. Bentuk-bentuk agama apa pun tidak pernah mencapai finalitas atau kesempurnaan. Radikalisasi agama di sisi lain seringkali disebabkan oleh fanatisme agama yang sempit dan terdistorsi oleh legalisme agama yang antagonistik. Ketertindasan yang dialami manusia mendistorsi peran agama yang terperangkap dalam ideologi tertentu, yang hendak membahasakan universalitas agama dalam bahasa agamaku, ''agama saya''.
 
Marginalisasi agama juga disebabkan oleh cara pandang agama secara tekstual dan literer yang statis dan kaku serta cenderung membuat para pengikutnya resisten terhadap pelbagai perubahan sosial yang terjadi. Menurut kaum perenialis, filsafat ini membahas autensitas subtansi keberadaan agama yang bersumber dari Realitas Absolut dan yang berproses dalam kesadaran akal budi manusia yang historis. Psikologi primordial yang dimiliki manusia ini menginisiasi keterbukaan yang imanen sekaligun transenden dengan Wujud Tertinggi sekaligus dengan sesama manusia.
Apakah ratio manusia yang terbatas dapat memahami Realitas Absolut yang tidak terbatas? Dapatkah dalam keterpecahannya manusia memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang perbedaan pandangan yang bisa menimbulkan percecokan? Semua agama bersifat parsial karena lahir dari konteks dan tradisi tertentu. Bentuk-bentuk agama apapun tidak pernah mencapai finalitas atau kesempurnaan.
 
Radikalisasi agama seringkali disebabkan oleh fanatisme agama yang sempit dan terdistorsi oleh legalisme agama yang antagonistik. Ketertindasan yang dialami manusia mendistorsi peran agama yang terperangkap dalam ideologi tertentu yang hendak membahasakan universalitas agama dalam bahasa agamaku, ''agama saya''.
 
Marginalisasi agama juga disebabkan oleh cara pandang agama secara tekstual dan literer yang statis dan kaku serta cenderung membuat para pengikutnya resisten terhadap pelbagai perubahan sosial yang terjadi.
 
Menurut kaum perenialis, filsafat ini membahas autensitas subtansi keberadaan agama yang bersumber dari Realitas Absolut dan yang berproses dalam kesadaran akal budi manusia yang historis. Psikologi primordial yang dimiliki manusia ini menginisiasi keterbukaan yang imanen sekaligun transenden dengan Wujud Tertinggi sekaligus dengan sesama manusia.
 
Dalam keterbatasan ratio, manusia hanya mampu memahami hakikat Tuhan tanpa bisa mendefinisikan eksistensiNya. Namun, dikotomi ini mengakibatkan manusia mengalami keterguncangan antara bersatu atau berpisah dari Realitas Absolut. Akan tetapi, menurut kaum perenialis, manusia memiliki dalam dirinya suatu kerinduan yang tetap eksis untuk terus menerus mengarahkan diri pada Tuhan. Makhluk rasional memiliki intelegensi untuk mengerti dan memahami pengetahuan secara unitif tentang hakikat ilahi (emanasi).Pancaran alamiah ini mendorong manusia untuk melakukan kebajikan-kebajikan karena bersumber dari Allah sendiri.