Perenialisme agama: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 40:
Berdasarkan arah ini pula manusia merasakan makna simbolis kehadiran Sang Pemilik Kehidupan. Wujud hakikat agama itu sejatinya merupakan pengetahuan, sekaligus kebijaksanaan. Hal ini dapat diistilahkan dengan ''sophia'' (menurut orang [[Yunani Kuno]]), ''spientia'' (menurut istilah orang Kristen pada Abad Pertengahan), ''jnana'' (ungkapan dalam agama Hindu), dan ''al-ma’rifah'' atau ''al-hikmah'' (menurut konsep sufi). Itulah sebabnya, hakikat agama kerap disebut sebagai ''scientia sacra'', yang berarti pengetahuan suci. Pengetahuan ini dialami dan bukan sekadar diyakini berasal dari “alam surgawi,” yang kemudian diturunkan sebagai wahyu dengan berbagai metode. Oleh karena itu, kesatuan agama-agama berada dalam “langit ilahi” (esoterik dan transenden), bukan dalam “atmosfir bumi” (eksoteris), yang kerap memantik perdebatan.
Dengan demikian, filsafat perenial menguraikan keanekaragaman “jalan keagamaan” yang ada dalam kenyataan historis setiap agama dan dapat diterima dengan lapang dada dengan toleransi. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya ajaran (perenial) Tuhan – seperti Tuhan itu sendiri – hanya satu, tetapi diungkapkan dengan banyak nama dan ajaran yang diturunkan melalui para [[nabi]] dan [[rasul]]. “Yang Satu” ini dalam perspektif perenial adalah “Yang Tidak Berubah” dan merupakan fitrah. Mengembalikan keanekaragaman yang ada dalam kehidupan sehari-hari kepada "Yang Tidak Berubah", merupakan pesan dasar dari filsafat perenial, yang pada dasarnya adalah pesan keagamaan – sebagaimana disebut dalam terminologi Islam adalah ''al-din-u ‘l-nashihah'' (agama itu nasihat). Pesan ini tersurat dalam [[Al-Qur'an]] Surah Ar-Rum ayat ke-30 berikut.
{{cquote|''Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui''
|