Hak fetus: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
menambah tulisan
Baris 1:
{{Sedang ditulis}}Dalam bahasa Inggris, janin disebut ''[[Janin|fetus]]'' yang artinya [[vertebrata]] yang belum lahir atau belum menetas khususnya setelah mencapai struktur dasar dari jenisnya.<ref>{{Cite web|title=Definition of FETUS|url=https://www.merriam-webster.com/dictionary/fetus|website=www.merriam-webster.com|language=en|access-date=2021-07-07}}</ref> Sehubungan dengan '''[[janin]]''' yang merupakan anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang [[Hak asasi manusia|Hak Asasi Manusia]] yang juga memuat terkait perlindungan hak janin.<ref>{{Cite journal|last=Aswandi|first=Bobi|last2=Roisah|first2=Kholis|date=2019-01-29|title=NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI PANCASILA DALAM KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)|url=http://dx.doi.org/10.14710/jphi.v1i1.128-145|journal=Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia|volume=1|issue=1|pages=128|doi=10.14710/jphi.v1i1.128-145|issn=2656-3193}}</ref> Dalam pasal 53 dinyatakan bahwa, “Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Anak dalam kandungan yang dimaksud adalah janin yang nantinya akan tumbuh menjadi anak dan berkembang selayaknya manusia. Janin merupakan langkah awal kehidupan yang harus dihormati oleh setiap [[manusia]] dan dijaga karena janin nantinya akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang kelak juga akan menghasilkan hal yang sama.
<gallery>
Berkas:Catfetus1.jpg|Gambar.1 Fetus dalam kandungan
Baris 47:
=== Hak-hak Janin dalam Fikih Klasik ===
Janin merupakan salah satu tahap awal kehidupan manusia sebelum ia lahir dan menjadi [[subjek hukum]]. [[Al-Qur'an|Alquran]] telah menjelaskan bahwa manusia pertama-tama diciptakan dari tanah liat.<ref>{{Cite web|title=Sūrat al-Ḥijr (Aya 26 to 38)|url=http://dx.doi.org/10.1163/1875-3922_eqc_a340|website=Qurʾān Concordance|access-date=2021-07-07}}</ref> Setelah itu pada penciptaan selanjutnya anak manusia diciptakan secara bertahap. Tahap-tahap penciptaan tersebut meliputi tahap ''annuṭfah'', kemudian ''‘alaqah'', kemudian ''al-muḍgah'', hingga berbentuk lebih sempurna sebagai calon bayi yang lalu berkembang menjadi “makhluk lain” (''khalqan ākhar''), yaitu makhluk manusia yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan ''insaniyah''.<ref>{{Cite journal|last=Alwi|first=Zulfahmi|date=2013-12-15|title=ABORTUS DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM|url=http://dx.doi.org/10.24239/jsi.v10i2.33.293-321|journal=HUNAFA: Jurnal Studia Islamika|volume=10|issue=2|pages=293|doi=10.24239/jsi.v10i2.33.293-321|issn=2355-7710}}</ref> Tahap-tahap perkembangan ini juga disebutkan oleh al-Ghazali.<ref>{{Cite journal|last=Alwi HS|first=Muhammad|last2=Hamid|first2=Nur|date=2020-01-30|title=Relasi Kelisanan Al-Qur’an dan Pancasila Dalam Upaya Menjaga dan Mengembangkan Identitas Islam Indonesia|url=http://dx.doi.org/10.21580/ihya.21.1.4833|journal=International Journal Ihya' 'Ulum al-Din|volume=21|issue=1|pages=17–38|doi=10.21580/ihya.21.1.4833|issn=2580-5983}}</ref> Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) janin berarti bakal bayi (masih dalam kandungan), atau embrio setelah melebihi umur dua bulan.<ref>{{Cite book|last=Nasional.|first=Indonesia. Departemen Pendidikan|date=2008|url=http://worldcat.org/oclc/311800219|title=Kamus besar bahasa Indonesia.|publisher=Departemen Pendidikan Nasional|isbn=978-979-22-3841-9|oclc=311800219}}</ref> Janin dalam bahasa Arab berasal dari kata ''janīn'' (jamak: ''ajinnah'') secara harfiah berarti “yang terselubung atau tertutup”. Alquran menyebut janīn sebagai makhluk yang dilahirkan di dalam tubuh wanita,<ref>{{Cite journal|last=Ulya|first=Nurun Najmatul|date=2020-12-25|title=Kajian terhadap Interpretasi Nicolai Sinai dalam An Interpretation of Sura>h al-Najm (QS.53)|url=http://dx.doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i2.6318|journal=Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur'an dan al-Hadits|volume=14|issue=2|pages=179–204|doi=10.24042/al-dzikra.v14i2.6318|issn=2714-7916}}</ref> terlepas dari tahap perkembangannya. Berdasarkan [[Ilmu Kedokteran|ilmu kedokteran]], janin telah terbentuk pada usia kehamilan delapan minggu. Pada usia ini barulah janin menunjukkan tanda vital manusia secara lengkap.<ref>{{Cite journal|date=1984-05|title=Intervention and reflection: Basic issues medical ethics2nd ed. By Ronald Munson. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Co., Inc., 1983. xvii + 589 pages. $23.95, hardcover|url=http://dx.doi.org/10.1016/0091-2182(84)90223-4|journal=Journal of Nurse-Midwifery|volume=29|issue=3|pages=223–226|doi=10.1016/0091-2182(84)90223-4|issn=0091-2182}}</ref> Sebelum berbentuk janin seutuhnya terlebih dahulu ia menjadi [[zigot]], [[blastokista]], dan [[Embrio|embrio.]] <ref>{{Cite journal|last=Heizer|first=Ruth B.|date=1983-12|title=Book Review: Birth and Death: Bioethical Decision-Making|url=http://dx.doi.org/10.1177/003463738308000414|journal=Review & Expositor|volume=80|issue=4|pages=609–610|doi=10.1177/003463738308000414|issn=0034-6373}}</ref> Berdasarkan [[perspektif]] hukum Islam, janin dilihat sebagai tahapan awal sebuah kehidupan manusia. Namun demikian, apakah janin yang ada dalam kandungan sudah bisa dikategorikan sebagai manusia, dengan segala hak yang melekat padanya, atau ia belum bisa dikatakan sebagai manusia sehingga hak-haknya juga tidak bisa disamakan dengan manusia yang telah lahir ke dunia. Berkaitan dengan hal ini, ada banyak pendapat di kalangan [[fukaha]]. Imam [[Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi'i|asySyafi’i]], misalnya, memahami istilah janin sebagai sebuah simbol dari tahap akhir dari sebuah proses pembuahan sperma terhadap sel telur yang berujung pada lahirnya seorang anak kecil atau bayi dari kandungan ibunya. Sementara an-Nuwairi menyebutkan bahwa janin baru bisa disebut janin jika sudah ditiupkan ruh. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, para juris Islam pada umumnya menyatakan bahwa proses kehidupan manusia sudah dimulai sejak terjadinya pembuahan, yakni bertemunya sel sperma laki-laki dengan sel telur perempuan.<ref>{{Cite web|last=Dewa|first=Ananda Dharmawan Kustia|date=2020-09-12|title=Pandangan Hukum dan Kesehatan Terhadap Aborsi dan Euthanasia|url=http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/cws2x|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-07}}</ref> Perlindungan hak-hak janin secara perspektif hukum Islam dapat diwujudkan dengan memanfaatkan asas dan kaidah fikih untuk merumuskan substansi hukum dan kemudian mentransformasikannya menjadi peraturan perundang-undangan nasional. Peran hukum Islam secara materi untuk mengatur dan mengikat sejatinya ada pada berbagai aturan perundang-undangan di Indonesia, baik dalam [[hukum pidana]], hukum keluarga, maupun hukum keperdataan lainnya.<ref>{{Cite web|last=gumanti|first=Adinda Febrian|date=2020-03-24|title=Tata peraturan perundang-undangan yang pernah ada di indonesia|url=http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/tdj8n|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-07}}</ref> Dalam literatur fikih klasik tidak ditemukan istilah khusus untuk pengertian perlindungan atas hak anak. Istilah yang mendekati adalah ''haḍānah,'' yang berarti memelihara dan mendidik anak. Selain ''haḍānah'', terdapat istilah ''al-wilāyat'' yang memiliki makna perwalian. Menurut Wahbah az-Zuhaili, ''al-wilāyat'' dapat bermakna perwalian atas diri (''wilāyat ‘ala an-nafs'') dan perwalian atas harta ''(wilāyat ‘ala al-māl''). Perwalian atas diri yakni perwalian atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisik dan mental, termasuk ''haḍānah'' di dalamnya. Sedangkan perwalian harta merupakan perwalian dalam hal pengelolaan harta benda, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, dan hutang-piutang.<ref>{{Cite journal|date=1998|title=The Concept Of Custody In Islamic Law|url=http://dx.doi.org/10.1163/026805598125826076|journal=Arab Law Quarterly|volume=13|issue=2|pages=155–177|doi=10.1163/026805598125826076|issn=0268-0556}}</ref> Secara sederhana, perbedaan antara ''haḍānah'' dan ''wilāyat'' layaknya perbedaan antara ''physical custody'' dan ''legal custody'' yang di beberapa negara bagian [[Amerika (disambiguasi)|Amerika]].<ref>{{Cite journal|last=Ibrahim|first=Ahmed Fekry|date=2015-12-14|title=The Best Interests of the Child in Pre-modern Islamic Juristic Discourse and Practice|url=http://dx.doi.org/10.5131/ajcl.2015.0026|journal=American Journal of Comparative Law|volume=63|issue=4|pages=859–891|doi=10.5131/ajcl.2015.0026|issn=0002-919X}}</ref>
 
Secara umum, di antara hak-hak anak dalam Islam yakni: (1) hak hidup, (2) hak pengakuan nasab, (3) hak mendapat nama yang baik, (4) hak mendapatkan penyusuan, (5) hak memperoleh pengasuhan dan perawatan, (6) hak mendapatkan nafkah, (7) hak memperoleh pendidikan dan pengajaran, dan (8) hak diperlakukan secara adil.<ref>{{Cite journal|last=Djamal|first=Djamal|date=2018-12-29|title=WASIAT WAJIBAH BAGI ANAK ANGKAT DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK (Perspektif Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam)|url=http://dx.doi.org/10.35673/al-bayyinah.v2i2.54|journal=Al-Bayyinah|volume=2|issue=2|pages=117–134|doi=10.35673/al-bayyinah.v2i2.54|issn=1979-7486}}</ref> Kedelapan hak anak ini bersifat general, tidak secara khusus melihat hak keperdataan anak. Sejatinya, kecakapan anak menerima hak dimulai sejak kelahiran, tetapi anak yang masih dalam kandungan dapat mewarisi dan menerima warisan, dapat menerima harta dengan jalan wasiat, berhak dibebaskan dari perbudakan, berhak mendapat nasab, dan hak wakaf.<ref>{{Cite journal|last=Coulson|first=N. J.|date=1965-01|title=An Introduction to Islamic Law. By Joseph Schacht. [Oxford: The Clarendon Press. 1964. viii and 304 pp. £2 8s.]|url=http://dx.doi.org/10.1093/iclqaj/14.1.336|journal=International and Comparative Law Quarterly|volume=14|issue=1|pages=336–338|doi=10.1093/iclqaj/14.1.336|issn=0020-5893}}</ref> Tiga di antara hak ini (hak waris, wasiat, dan wakaf) merupakan hak keperdataan. Ketiga hak inilah yang akan dipaparkan lebih lanjut pada bagian berikut ini.
 
==== Hak Waris Janin dalam Fikih ====
Berdasar hukum Islam, janin baru mendapatkan bagian dari harta warisan apabila memenuhi dua syarat yakni adanya kepastian keberadaan janin dalam kandungan sang ibu pada waktu meninggalnya sang pewaris dan janin terlahir dalam keadaan hidup. Berdasar [[hukum waris]] Islam dinyatakan, bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.<ref>{{Cite journal|last=Fithriani|first=Ahda|date=2016-02-03|title=PENGHALANG KEWARISAN DALAM PASAL 173 HURUF (a) KOMPILASI HUKUM ISLAM|url=http://dx.doi.org/10.18592/syariah.v15i2.547|journal=Syariah Jurnal Hukum dan Pemikiran|volume=15|issue=2|doi=10.18592/syariah.v15i2.547|issn=2549-001X}}</ref> Janin dapat dikatakan sebagai ahli waris yang sah apabila pada waktu meninggalnya pewaris, eksistensinya dapat dibuktikan, baik dengan cara klasik, seperti adanya gerakan yang bersumber dari janin yang dirasakan oleh ibu yang mengandung atau dengan cara [[modern]], yakni memanfatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis. Mayoritas ulama sepakat bahwa jika ibu mengandung janin kurang dari jangka waktu enam bulan sejak kematian pewaris, maka janin sah menjadi ahli waris. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa enam bulan adalah jangka waktu minimal umur sebuah kehamilan.<ref>{{Cite journal|last=Hopley|first=Russell|date=2013-09-30|title=Tamimi, Abu al-ʿArab Muhammad bin Ahmad al-Qayrawani|url=http://dx.doi.org/10.1093/acref/9780195301731.013.50348|journal=African American Studies Center|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-530173-1}}</ref> Kelahiran janin dalam keadaan hidup setelah jangka waktu minimal itu berarti sebuah bukti akan wujud janin pada waktu meninggalnya pewaris. Apabila ibu mengandung kurang dari jangka waktu enam bulan dan tidak dalam suatu hubungan pernikahan, maka janin tersebut termasuk dari ahli waris yang sah apabila ahli waris yang lain mengakui keberadaannya pada waktu kematian pewaris.<ref>{{Cite web|title=Al-Assaf, Dr Ibrahim Bin Abdul Aziz Bin Abdullah|url=http://dx.doi.org/10.1163/1570-6664_iyb_sim_person_36709|website=International Year Book and Statesmen's Who's Who|access-date=2021-07-07}}</ref> Syarat kedua agar janin dapat menjadi ahli waris yang sah adalah bahwa janin tersebut harus lahir dalam keadaan hidup. Sistem pembagian waris dalam Islam menegaskan bahwa janin termasuk dari ahli waris yang sah dan tidak tertutupi oleh ahli waris lainnya. Namun demikian, apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal maka dianggap tidak ada.<ref>{{Cite journal|last=Kraemer|first=Jörg|date=1959-01-18|title=Dār al-kutub al-miṣriya, Fihrist al-Maxṭūṭāt. Al-Cuzʾ al-auwal, Muṣṭalaḥ, al-Ḥadīṯ. — Kairo, Maṭba ʿat Dār al-kutub al-miṣrīya 1375/1956. 371 S|url=http://dx.doi.org/10.1163/19606028_026_02-53|journal=Oriens|volume=12|issue=1|pages=278–279|doi=10.1163/19606028_026_02-53|issn=0078-6527}}</ref> Akan tetapi apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal sebagai akibat suatu tindak kekerasan terhadap sang ibu, menurut ulama Ḥanafiyyah, janin tersebut memiliki hak untuk menerima warisan. Hal ini berbeda dengan pendapat kalangan ulama Syāfi’iyyah, Ḥanābilah, ataupun Mālikiyyah. Pada sisi lain, kalangan ulama Ḥanafiyyah juga berpendapat bahwa apabila janin keluar sebagian kecilnya dalam keadaan hidup, tetapi kemudiaan meninggal, maka ia tidak berhak mewarisi. Sebaliknya, jika janin keluar sebagian besarnya dalam keadaan hidup dan kemudian meninggal, maka ia berhak mewarisi, karena bagian besar janin mewakili keseluruhan bagian janin.<ref>{{Cite journal|last=Hopley|first=Russell|date=2013-09-30|title=Tamimi, Abu al-ʿArab Muhammad bin Ahmad al-Qayrawani|url=http://dx.doi.org/10.1093/acref/9780195301731.013.50348|journal=African American Studies Center|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-530173-1}}</ref> Apabila janin lahir dalam keadaan hidup maka tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa janin termasuk ahli waris yang sah, sedangkan salah satu cara memastikan kehidupan janin adalah dengan terdengarnya suara tangisan.<ref>{{Cite web|title=Muḥammad al-Ṣaghīr b. Aḥmad al-Bakkāʾī al-Kuntī|url=http://dx.doi.org/10.1163/2405-4453_alao_com_ala_40003_2_10|website=Arabic Literature of Africa Online|access-date=2021-07-07}}</ref> Hal ini tentu saja tidak menjadi perbedaan pendapat karena apabila janin tersebut lahir dalam keadaan selamat maka ia adalah bayi atau anak kecil. Akan tetapi yang menjadi persoalan apakah bayi tersebut lahir dalam waktu enam bulan setelah kematian atau tidak. Jika janin terlahir lebih dari enam bulan maka status keabsahannya menjadi dipertanyakan kembali mengingat ambang minimal usia kehamilan. Ini juga serupa bahwa anak yang lahir kurang dari enam bulan masa perkawinan dianggap sebagai anak di luar perkawinan (''premarital child'').<ref>{{Cite journal|last=Nurlaelawati|first=Euis|last2=van Huis|first2=Stijn Cornelis|date=2019-12|title=THE STATUS OF CHILDREN BORN OUT OF WEDLOCK AND ADOPTED CHILDREN IN INDONESIA: INTERACTIONS BETWEEN ISLAMIC, ADAT, AND HUMAN RIGHTS NORMS|url=http://dx.doi.org/10.1017/jlr.2019.41|journal=Journal of Law and Religion|volume=34|issue=3|pages=356–382|doi=10.1017/jlr.2019.41|issn=0748-0814}}</ref> Oleh karena itu ambang batas enam bulan menjadi faktor yang menentukan apakah anak tersebut dapat mewarisi atau tidak.
 
==== Hak Wasiat Janin dalam Fikih ====
Tidak jauh berbeda dengan kewarisan, bentuk perlindungan hukum Islam tentang pewasiatan atas hak-hak janin adalah dengan meletakkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh janin tersebut. Diskusi tentang wasiat dan waris dalam literatur fikih sering dibahas bersama atau berurutan satu sama lain. Hal ini karena keduanya memiliki persamaan, di antaranya adalah dalam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat menerima hak wasiat ataupun waris. Janin memiliki hak wasiat seperti halnya dalam hak menerima waris, apabila sudah dapat dipastikan nasabnya. Pada hak waris, apabila janin belum terkonfirmasi sebagai keturunan yang sah dari pewaris maka tidak dapat dilangsungkan proses pewarisan antara pewaris dan janin tersebut. Pengaturan dalam hal wasiat, janin juga harus memiliki status hukum yang sah bahwa janin tersebut tersambung nasabnya kepada bapaknya. Karena apabila nasab janin terhalang atau terputus oleh satu hal seperti ''li’ān''<ref>{{Cite web|date=2005-08-12|title=Li’an (Saling Melaknat) {{!}} Almanhaj|url=https://almanhaj.or.id/1530-lian-saling-melaknat.html|website=almanhaj.or.id|language=en-US|access-date=2021-07-07}}</ref> maka wasiat terhadap janin dianggap batal. Seperti yang disebutkan dalam ''al-Mugni'', apabila diwasiatkan kepada anak dalam kandungan seorang perempuan dengan suaminya atau tuannya (apabila perempuan tersebut seorang hamba sahaya), maka wasiat tersebut sah untuk dilakukan dengan syarat kepastian nasab anak tersebut. Apabila