Setelah dibebaskan dari penjara, Natsir kembali terlibat dalam organisasi-organisasi Islam, seperti Majelis Ta'sisi Rabitah Alam Islami dan Majelis Ala al-Alami lil Masjid yang berpusat di [[Mekkah]], Pusat Studi Islam Oxford (''Oxford Centre for Islamic Studies'') di [[Inggris]], dan Liga Muslim se-Dunia (''World Muslim Congress'') di [[Karachi]], [[Pakistan]].{{sfn|Ma'mur|1995|pp=30{{spaced ndash}}33}}
Di era [[Orde Baru]], ia membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ia juga mengkritikisimengkritisi kebijakan pemerintah, seperti ketika ia menandatangani [[Petisi 50]] pada 5 Mei 1980, yang menyebabkan ia dilarang pergi ke luar negeri.<ref name=luth2526/> Pada masa-masa awal Orde Baru ini, ia berjasa mengirim nota kepada [[Tunku Abdul Rahman]] dalam rangka mencairkan hubungan dengan [[Malaysia]]. Selain itu pula, dialah yang mengontak pemerintah [[Kuwait]] agar menanam modal di [[Indonesia]] dan meyakinkan pemerintah [[Jepang]] tentang kesungguhan Orde Baru membangun ekonomi.{{sfn|Adam|2009|pp=72-76}} [[Soeharto]] menganggap orang yang mengkritik dirinya sebagai penentang Pancasila. Ia ikut menandatangani Petisi tersebut bersama dengan Jenderal [[Hoegeng Imam Santoso|Hoegeng]], Letjen [[Ali Sadikin]], [[Sanusi Hardjadinata]], [[SK Trimurti]], dan lain-lain.{{sfn|Adam|2009|pp=72-76}} Akibat dilarangnya ia pergi ke luar negeri, banyak seminar yang tidak bisa diikutinya.{{sfn|Fadillah 2013, Mengenang M Natsir}} Natsir menolak kecurigaan [[Soeharto]] terhadap [[partai]]-partai, terutama partai Islam. Apalagi [[Opsus]] (Operasi Khusus) yang berada di bawah pimpinan langsung Soeharto juga ikut dikritisi.{{sfn|Noer|2012|p=169}} Padahal, badan intel inilah yang meminta Natsir dalam memulai hubungan dengan [[Malaysia]] dan [[Timur Tengah]] setelah naiknya Soeharto.{{sfn|Noer|2012|pp=169, 171}}