Ahmadiyyah di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 19:
 
Dalam perkembangan terpisah, [[Gerakan Ahmadiyah Lahore]], yang telah berpisah dari Jamaah Muslim Ahmadiyah utama pada tahun 1914, mengirimkan misionaris pertamanya Mirza Wali Ahmad Baig pada tahun 1926. Meskipun Ahmadiyah Lahore didirikan di negara itu pada tanggal 10 Desember 1928, itu adalah tidak terdaftar secara resmi di negara ini (sebagai Gerakan Ahmadiyah Indonesia 'GAI') sampai bulan September berikutnya. Karena kurangnya upaya yang dihasilkan oleh Ahmadi Lahore dalam mencari penganut baru di Indonesia, dan menjadi beriman secara umum, kelompok tersebut gagal menarik pengikut yang cukup besar. Secara khusus, Mirza Wali Ahmad Baig adalah misionaris terakhir kelompok tersebut, berbeda dengan gerakan utama Ahmadiyah, yang mengirim misionaris demi misionaris ke Indonesia.<ref name="Burhani143"/> Karena kekuatan organisasi yang diadopsi dalam kegiatan misionaris di luar negeri, selama era [[Mirza Bashir-ud-Din Mahmood Ahmad|Khalifah kedua]], dan karena berbagai alasan keuangan dan teologis, cabang utama Ahmadiyah menjadi semakin sukses dalam mendapatkan mualaf untuk interpretasi Islam mereka.<ref name="IslamicConnection"/> Dilindungi oleh Konstitusi Indonesia, yang menjamin kebebasan beragama, Jemaat Ahmadiyah terus tumbuh, meski menghadapi sedikit penganiayaan hingga [[Kejatuhan Soeharto|jatuhnya pemerintahan Soeharto]].<ref name="newsweek2011"/>
 
=== Perkembangan awal ===
[[File:Singaparna1925.jpg|thumb|left|400px|Komunitas awal Muslim Ahmadiyah di depan sebuah masjid di [[Singaparna]], [[Jawa]], pada akhir 1920-an.]]
Diskusi, ceramah, dan debat memainkan peran penting dalam awal kemajuan gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Segera setelah Rahmat Ali tiba di Tapaktuan, kuliah pertama yang dia selenggarakan adalah tentang wafatnya [[Yesus]], di mana Muslim Ahmadi memiliki perspektif teologis yang berbeda dari Muslim arus utama dan Kristen. Banyak mualaf awal gerakan Ahmadiyah dikaitkan dengan perdebatan teologis, termasuk, namun tidak terbatas pada kematian Yesus. Namun, banyak konversi membutuhkan lebih dari argumen yang memuaskan, dan bukan hanya perdebatan yang menarik orang. Kharisma, sikap dan 'kekuatan spiritual' para misionaris menarik perhatian publik. Kesabaran yang dicontohkan oleh para pendebat Ahmadiyah dalam menghadapi kritik dan penghinaan memainkan peran penting.<ref name="Burhani663"/>
 
Setahun kemudian, setelah kedatangan Rahmat Ali, sebuah Komite Mencari Hak dibentuk oleh Tahar Sutan Marajo, seorang Muslim non-Ahmadi di wilayah [[Pasa Gadang, Padang Selatan, Padang|Pasar Gadang]], [[Padang]], Sumatera Barat, untuk membawa Para misionaris Ahmadiyah dan ulama ortodoks bersama-sama berdebat tentang masalah agama. Namun, perdebatan tidak terjadi karena para ulama tidak muncul. Menurut laporan Ahmadi, beberapa anggota komite masuk Ahmadiyah. Beberapa perdebatan yang paling terkenal, pada tahun-tahun awal gerakan, antara Muslim Ahmadi Indonesia dan ulama ortodoks adalah dengan [[Persatuan Islam]], sebuah organisasi Islam Indonesia yang didirikan pada tahun 1923. Perdebatan itu biasa diadakan di [[Bandung]] dan [[Batavia]], yang keduanya terletak di bagian barat Jawa. Debat pertama dengan Persatuan Islam adalah tentang kematian Yesus, dihadiri oleh lebih dari 1.000 orang dan berlangsung selama tiga hari selama April 1933. Debat kedua membahas topik yang lebih luas, diadakan pada bulan September tahun yang sama, dan disaksikan oleh lebih dari 2.000 orang.<ref name="Burhani663">{{cite journal | journal=Journal of Social Issues in Southeast Asia | title=Conversion to Ahmadiyya in Indonesia: Winning Hearts through Ethical and Spiritual Appeals | date=2014 | volume=29 | author=Ahmad Najib Burhani | publisher=Sojourn | pages=663–669}}</ref>
 
Keyakinan milenarian lokal tentang kedatangan Ratu Adil (Penguasa Yang Adil), [[Imam Mahdi]], dan Almasih yang dijanjikan adalah beberapa faktor penarik yang mengiringi kebangkitan gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Sebelum kedatangan Ahmadiyah di [[Cisalada, Cigombong, Bogor|Cisalada]], [[Kabupaten Bogor|Bogor]], penduduk desa percaya bahwa seorang utusan Almasih akan tiba di desa mereka suatu hari nanti. Tradisi dari desa menyatakan bahwa orang-orangnya harus mengikuti utusan ini setiap kali dia datang, bahkan jika dia adalah '[[Tarian ular|pawang ular]]' – praktik umum yang ditemukan di India. Keyakinan serupa tentang kedatangan Imam Mahdi atau Mesias yang dijanjikan berlimpah di banyak budaya, tradisi dan etnis di seluruh [[pulau Jawa]] dan [[Lombok]]. Konversi massal terjadi di desa-desa di seluruh Indonesia.<ref name="Burhani663"/>
 
== Penganiayaan ==