==== Hak Waris Janin dalam Fikih ====
BerdasarAl Qur’an sebagai kitab suci umat Islam memuat petunjuk-petunjuk untuk kehidupan dunia dan akhirat yang sebagian besar dijelaskan secara global. Di dalamnya terdapat hukum-hukum yang menjadi landasan umat Islam. Namun, janindiantara baruberbagai mendapatkanpermasalahan bagianhukum dariyang dijelaskan dalam al-Quran, terdapat satu permasalahan hukum yaitu mengenai aturan pembagian harta warisan apabilayang memenuhidiuraikan duasecara syaratterperinci. yakniKata adanya“''warits''” kepastiandari keberadaan‘''yaritsu-irtsan-wamiratsan''’ janinterdapat dalam kandunganal-Quran sangsurah ibu''An-Naml'': pada16 waktu“Dan meninggalnyaSulaiman sangtelah pewarismewarisi danDaud janin. terlahirArti dalam“''mirats''” keadaanmenurut hidup.bahasa Berdasaradalah [[hukumberpindahnya waris]]sesuatu Islamdari dinyatakan,seseorang bahwakepada ahliorang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lainnya. Mengutip definisi yang diberikan Wirjono Prodjodikoro, waris adalah orangberbagai yangaturan padatentang perpindahan hak milik seseorang yang saattelah meninggal dunia mempunyaikepada hubunganahli darahwarisnya. atauDalam hubunganistilah perkawinanlain, waris disebut juga dengan pewaris,''[[faraidh]]'' beragamayang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam, dankepada tidaksemua terhalangyang karenaberhak hukummenerimanya. untukKata menjadi''al-faraidh'' ahliini warisdalam bahasa Arab menunjukkan jamak dari mufradnya al-faridhah yang bermakna ''almafrudhah'' atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah ditentukan kadarnya.<ref>{{Cite journal|last=Fithriani|first=Ahda|date=2016-02-03|title=PENGHALANG KEWARISAN DALAM PASAL 173 HURUF (a) KOMPILASI HUKUM ISLAM|url=http://dx.doi.org/10.18592/syariah.v15i2.547|journal=Syariah Jurnal Hukum dan Pemikiran|volume=15|issue=2|pages=93|doi=10.18592/syariah.v15i2.547|issn=2549-001X}}</ref> Janin dapat dikatakan sebagai ahli waris yang sah apabila pada waktu meninggalnya pewaris, eksistensinya dapat dibuktikan, baik dengan cara klasik, seperti adanya gerakan yang bersumber dari janin yang dirasakan oleh ibu yang mengandung atau dengan cara [[modern]], yakni memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis. Mayoritas ulama sepakat bahwa jika ibu mengandung janin kurang dari jangka waktu enam bulan sejak kematian pewaris, maka janin sah menjadi ahli waris. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa enam bulan adalah jangka waktu minimal umur sebuah kehamilan.<ref>{{Cite journal|last=Hopley|first=Russell|date=2013-09-30|title=Tamimi, Abu al-ʿArab Muhammad bin Ahmad al-Qayrawani|url=http://dx.doi.org/10.1093/acref/9780195301731.013.50348|journal=African American Studies Center|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-530173-1}}</ref> Kelahiran janin dalam keadaan hidup setelah jangka waktu minimal itu berarti sebuah bukti akan wujud janin pada waktu meninggalnya pewaris. Apabila ibu mengandung kurang dari jangka waktu enam bulan dan tidak dalam suatu hubungan pernikahan, maka janin tersebut termasuk dari ahli waris yang sah apabila ahli waris yang lain mengakui keberadaannya pada waktu kematian pewaris. Syarat kedua agar janin dapat menjadi ahli waris yang sah adalah bahwa janin tersebut harus lahir dalam keadaan hidup. Sistem pembagian waris dalam Islam menegaskan bahwa janin termasuk dari ahli waris yang sah dan tidak tertutupi oleh ahli waris lainnya. Namun demikian, apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal maka dianggap tidak ada.<ref>{{Cite journal|last=Kraemer|first=Jörg|date=1959-01-18|title=Dār al-kutub al-miṣriya, Fihrist al-Maxṭūṭāt. Al-Cuzʾ al-auwal, Muṣṭalaḥ, al-Ḥadīṯ. — Kairo, Maṭba ʿat Dār al-kutub al-miṣrīya 1375/1956. 371 S|url=http://dx.doi.org/10.1163/19606028_026_02-53|journal=Oriens|volume=12|issue=1|pages=278–279|doi=10.1163/19606028_026_02-53|issn=0078-6527}}</ref> Akan tetapi apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal sebagai akibat suatu tindak kekerasan terhadap sang ibu, menurut ulama Ḥanafiyyah, janin tersebut memiliki hak untuk menerima warisan. Hal ini berbeda dengan pendapat kalangan ulama Syāfi’iyyah, Ḥanābilah, ataupun Mālikiyyah. Pada sisi lain, kalangan ulama Ḥanafiyyah juga berpendapat bahwa apabila janin keluar sebagian kecilnya dalam keadaan hidup, tetapi kemudiaan meninggal, maka ia tidak berhak mewarisi. Sebaliknya, jika janin keluar sebagian besarnya dalam keadaan hidup dan kemudian meninggal, maka ia berhak mewarisi, karena bagian besar janin mewakili keseluruhan bagian janin.<ref>{{Cite journal|last=Hopley|first=Russell|date=2013-09-30|title=Tamimi, Abu al-ʿArab Muhammad bin Ahmad al-Qayrawani|url=http://dx.doi.org/10.1093/acref/9780195301731.013.50348|journal=African American Studies Center|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-530173-1}}</ref> Apabila janin lahir dalam keadaan hidup maka tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa janin termasuk ahli waris yang sah, sedangkan salah satu cara memastikan kehidupan janin adalah dengan terdengarnya suara tangisan. Hal ini tentu saja tidak menjadi perbedaan pendapat karena apabila janin tersebut lahir dalam keadaan selamat maka ia adalah bayi atau anak kecil. Akan tetapi yang menjadi persoalan apakah bayi tersebut lahir dalam waktu enam bulan setelah kematian atau tidak. Jika janin terlahir lebih dari enam bulan maka status keabsahannya menjadi dipertanyakan kembali mengingat ambang minimal usia kehamilan. Ini juga serupa bahwa anak yang lahir kurang dari enam bulan masa perkawinan dianggap sebagai anak di luar perkawinan (''premarital child'').<ref>{{Cite journal|last=Nurlaelawati|first=Euis|last2=van Huis|first2=Stijn Cornelis|date=2019-12|title=THE STATUS OF CHILDREN BORN OUT OF WEDLOCK AND ADOPTED CHILDREN IN INDONESIA: INTERACTIONS BETWEEN ISLAMIC, ADAT, AND HUMAN RIGHTS NORMS|url=http://dx.doi.org/10.1017/jlr.2019.41|journal=Journal of Law and Religion|volume=34|issue=3|pages=356–382|doi=10.1017/jlr.2019.41|issn=0748-0814}}</ref> Oleh karena itu ambang batas enam bulan menjadi faktor yang menentukan apakah anak tersebut dapat mewarisi atau tidak.
==== Hak Wasiat Janin dalam Fikih ====
|