Hak fetus: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
penambahan teks
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
edit teks
Baris 7:
== Pengertian Anak dalam Kandungan ==
Anak dalam kandungan tidak bisa dilepaskan dari kehamilan seorang ibu. Terkait dengan hubungan tersebut, kehamilan dapat diartikan adanya bayi (anak), betapapun sederhananya, dalam rahim seorang ibu. Arti kata ‘betapapun sederhananya’ adalah semenjak terbuahinya sel telur oleh sperma, sehingga membentuk embrio. Tidak perlu bahwa bayi tersebut benar-benar telah berentuk sempurna seperti bayi yang dilahirkan. Penjelasan ini diperlukan untuk menganalisis ada atau tidaknya hubungan kewarisan antara pewaris dengan anak yang ada dalam kandungan.<ref>{{Cite journal|last=Darmawan|first=Darmawan|date=2018-08-02|title=Tahqîq al-Manâth dalam Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia|url=http://dx.doi.org/10.15642/ad.2018.8.1.165-193|journal=Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam|volume=8|issue=1|pages=165–193|doi=10.15642/ad.2018.8.1.165-193|issn=2503-0922}}</ref> Perkembangan sains dan teknologi berpengaruh mengembangkan keturunannya, sehingga bila diperhatikan ada 2 (dua) cara memperoleh keturunan. Pertama, dilakukan melalui hubungan langsung antara lawan jenis. Kedua, dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan teknologi.
 
== Periode Fetus Sejak Dimulai hingga Minggu Kesepuluh ==
Periode fetus atau dikenal dengan priode janin dimulai sejak akhir bulan kedua sampai lahir. Pada minggu kesembilan punggung bayi akan sedikiit menegak dan tulang ekornya sedikit memendek. Proporsi kepala masih lebih besar dari anggota lainnya dan bagian kepalanya masih menekuk ke arah dada. Kedua mata telah berkembang dengan baik, namun masih ditutupi oleh membran kelopak. Janin dapat melakukan gerakan-gerakan kecil setelah otot-ototnya mualai berkembang, anggota badannya juga mulai berkembang. Perkembangan lengan dan jari tangan lebih cepat daripada tungkai dan jari kaki. Pada tahap ini kelopak tangan janin telah memiliki batas jari tangan yang jelas. Kelima jari tangan tampak terpisah satu sama lain. Minggu kesepuluh janin telah memiliki rancangan struktur tubuh yang sempurna, janin mulai berwujud seperti manusia.<ref>{{Cite web|first=Fachrurodzy|date=2015|title=Hak Waris Anak dalam Kandugan Prespektif Fikih Konvensional dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)|url=https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30249/1/FACHRURODZY-FSH.pdf|website=https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30249/1/FACHRURODZY-FSH.pdf|access-date=30/07/2021}}</ref>
 
== Aborsi ==
Baris 77 ⟶ 80:
 
==== Hak Waris Janin dalam Fikih ====
Al Qur’an sebagai kitab suci umat Islam memuat petunjuk-petunjuk untuk kehidupan dunia dan akhirat yang sebagian besar dijelaskan secara global. Di dalamnya terdapat hukum-hukum yang menjadi landasan umat Islam. Namun, diantara berbagai permasalahan hukum yang dijelaskan dalam al-Quran, terdapat satu permasalahan hukum yaitu mengenai aturan pembagian harta warisan yang diuraikan secara terperinci. Kata “''warits''” dari ‘''yaritsu-irtsan-wamiratsan''’ terdapat dalam al-Quran surah ''An-Naml'': 16 “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud . Arti “''mirats''” menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lainnya. Mengutip definisi yang diberikan Wirjono Prodjodikoro, waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain, waris disebut juga dengan ''[[faraidh]]'' yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya. Kata ''al-faraidh'' ini dalam bahasa Arab menunjukkan jamak dari mufradnya al-faridhah yang bermakna ''almafrudhah'' atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah ditentukan kadarnya.<ref>{{Cite journal|last=Fithriani|first=Ahda|date=2016-02-03|title=PENGHALANG KEWARISAN DALAM PASAL 173 HURUF (a) KOMPILASI HUKUM ISLAM|url=http://dx.doi.org/10.18592/syariah.v15i2.547|journal=Syariah Jurnal Hukum dan Pemikiran|volume=15|issue=2|pages=93|doi=10.18592/syariah.v15i2.547|issn=2549-001X}}</ref> Janin dapat dikatakan sebagai ahli waris yang sah apabila pada waktu meninggalnya pewaris, eksistensinya dapat dibuktikan, baik dengan cara klasik, seperti adanya gerakan yang bersumber dari janin yang dirasakan oleh ibu yang mengandung atau dengan cara [[modern]], yakni memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis. Mayoritas ulama sepakat bahwa jika ibu mengandung janin kurang dari jangka waktu enam bulan sejak kematian pewaris, maka janin sah menjadi ahli waris. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa enam bulan adalah jangka waktu minimal umur sebuah kehamilan.<ref>{{Cite journal|last=Hopley|first=Russell|date=2013-09-30|title=Tamimi, Abu al-ʿArab Muhammad bin Ahmad al-Qayrawani|url=http://dx.doi.org/10.1093/acref/9780195301731.013.50348|journal=African American Studies Center|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-530173-1}}</ref> Kelahiran janin dalam keadaan hidup setelah jangka waktu minimal itu berarti sebuah bukti akan wujud janin pada waktu meninggalnya pewaris. Apabila ibu mengandung kurang dari jangka waktu enam bulan dan tidak dalam suatu hubungan pernikahan, maka janin tersebut termasuk dari ahli waris yang sah apabila ahli waris yang lain mengakui keberadaannya pada waktu kematian pewaris. Syarat kedua agar janin dapat menjadi ahli waris yang sah adalah bahwa janin tersebut harus lahir dalam keadaan hidup. Sistem pembagian waris dalam Islam menegaskan bahwa janin termasuk dari ahli waris yang sah dan tidak tertutupi oleh ahli waris lainnya. Namun demikian, apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal maka dianggap tidak ada.<ref>{{Cite journal|last=Kraemer|first=Jörg|date=1959-01-18|title=Dār al-kutub al-miṣriya, Fihrist al-Maxṭūṭāt. Al-Cuzʾ al-auwal, Muṣṭalaḥ, al-Ḥadīṯ. — Kairo, Maṭba ʿat Dār al-kutub al-miṣrīya 1375/1956. 371 S|url=http://dx.doi.org/10.1163/19606028_026_02-53|journal=Oriens|volume=12|issue=1|pages=278–279|doi=10.1163/19606028_026_02-53|issn=0078-6527}}</ref> Akan tetapi apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal sebagai akibat suatu tindak kekerasan terhadap sang ibu, menurut ulama Ḥanafiyyah, janin tersebut memiliki hak untuk menerima warisan. Hal ini berbeda dengan pendapat kalangan ulama Syāfi’iyyah, Ḥanābilah, ataupun Mālikiyyah. Pada sisi lain, kalangan ulama Ḥanafiyyah juga berpendapat bahwa apabila janin keluar sebagian kecilnya dalam keadaan hidup, tetapi kemudiaan meninggal, maka ia tidak berhak mewarisi. Sebaliknya, jika janin keluar sebagian besarnya dalam keadaan hidup dan kemudian meninggal, maka ia berhak mewarisi, karena bagian besar janin mewakili keseluruhan bagian janin.<ref>{{Cite journal|last=Hopley|first=Russell|date=2013-09-30|title=Tamimi, Abu al-ʿArab Muhammad bin Ahmad al-Qayrawani|url=http://dx.doi.org/10.1093/acref/9780195301731.013.50348|journal=African American Studies Center|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-530173-1}}</ref> Apabila janin lahir dalam keadaan hidup maka tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa janin termasuk ahli waris yang sah, sedangkan salah satu cara memastikan kehidupan janin adalah dengan terdengarnya suara tangisan. Hal ini tentu saja tidak menjadi perbedaan pendapat karena apabila janin tersebut lahir dalam keadaan selamat maka ia adalah bayi atau anak kecil. Akan tetapi yang menjadi persoalan apakah bayi tersebut lahir dalam waktu enam bulan setelah kematian atau tidak. Jika janin terlahir lebih dari enam bulan maka status keabsahannya menjadi dipertanyakan kembali mengingat ambang minimal usia kehamilan. Ini juga serupa bahwa anak yang lahir kurang dari enam bulan masa perkawinan dianggap sebagai anak di luar perkawinan (''premarital child'').<ref>{{Cite journal|last=Nurlaelawati|first=Euis|last2=van Huis|first2=Stijn Cornelis|date=2019-12|title=THE STATUS OF CHILDREN BORN OUT OF WEDLOCK AND ADOPTED CHILDREN IN INDONESIA: INTERACTIONS BETWEEN ISLAMIC, ADAT, AND HUMAN RIGHTS NORMS|url=http://dx.doi.org/10.1017/jlr.2019.41|journal=Journal of Law and Religion|volume=34|issue=3|pages=356–382|doi=10.1017/jlr.2019.41|issn=0748-0814}}</ref> Oleh karena itu ambang batas enam bulan menjadi faktor yang menentukan apakah anak tersebut dapat mewarisi atau tidak.
 
==== Hak Wasiat Janin dalam Fikih ====
Tidak jauh berbeda dengan kewarisan, bentuk perlindungan hukum Islam tentang pewasiatan atas hak-hak janin adalah dengan meletakkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh janin tersebut. Diskusi tentang wasiat dan waris dalam literatur fikih sering dibahas bersama atau berurutan satu sama lain. Hal ini karena keduanya memiliki persamaan, di antaranya adalah dalam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat menerima hak wasiat ataupun waris. Janin memiliki hak wasiat seperti halnya dalam hak menerima waris, apabila sudah dapat dipastikan nasabnya. Pada hak waris, apabila janin belum terkonfirmasi sebagai keturunan yang sah dari pewaris maka tidak dapat dilangsungkan proses pewarisan antara pewaris dan janin tersebut. Pengaturan dalam hal wasiat, janin juga harus memiliki status hukum yang sah bahwa janin tersebut tersambung nasabnya kepada bapaknya. Karena apabila nasab janin terhalang atau terputus oleh satu hal seperti ''li’ān'' maka wasiat terhadap janin dianggap batal. Seperti yang disebutkan dalam ''al-Mugni'', apabila diwasiatkan kepada anak dalam kandungan seorang perempuan dengan suaminya atau tuannya (apabila perempuan tersebut seorang hamba sahaya), maka wasiat tersebut sah untuk dilakukan dengan syarat kepastian nasab anak tersebut. Apabila nasabnya terhalang oleh ''li’ān'' maka wasiat tidak sah dilakukan karena kepastian nasab yang disyaratkan tidak terpenuhi.<ref>{{Cite journal|last=Khusairi|first=Halil|date=2016-03-30|title=KajianSyarat terhadapkedua Kitabadalah Al-Kafiadanya Fikepastian Fiqhkeberadaan Imamjanin. AhmadUlama KaryaSyāfi’iyyah Ibnudan Qudamah|url=http://dx.doi.org/10.32694/010190|journal=Al-Qisthu:Ḥanābilah Jurnalmensyaratkan Kajiankepastian Ilmu-ilmukeberadaan Hukum|volume=14|issue=2|doi=10janin ketika dilangsungkannya wasiat, sedangkan sebagian lain menyaratkannya ketika kematian yang memberi wasiat.32694/010190|issn=2654-3559}}</ref> Hal ini berkaitan dengan batas bawah dan batas atas umur kehamilan.
 
Syarat kedua adalah adanya kepastian keberadaan janin. Ulama Syāfi’iyyah dan Ḥanābilah mensyaratkan kepastian keberadaan janin ketika dilangsungkannya wasiat, sedangkan sebagian lain menyaratkannya ketika kematian yang memberi wasiat. Hal ini berkaitan dengan batas bawah dan batas atas umur kehamilan.<ref>{{Cite journal|last=Muranyi|first=Miklos|last2=Pouzet|first2=Louis|date=1986|title=Une hermeneutique de la tradition islamique: Le commentaire des arbaun al-nawawiya de Muhyi al-Din Yahya al-Nawawi|url=http://dx.doi.org/10.2307/1570801|journal=Die Welt des Islams|volume=26|issue=1/4|pages=230|doi=10.2307/1570801|issn=0043-2539}}</ref>
 
Adapun kaitannya dengan batas minimal usia kehamilan, para ulama Ḥanafiyyah, Syāfi’iyyah, dan Ḥanābilah berpendapat bahwa apabila kehamilan berlangsung kurang dari jangka waktu enam bulan dari berlangsungnya wasiat (baik masih dalam hubungan perkawinan atau tidak), maka janin tersebut berhak untuk mendapatkan hak wasiat. Apabila janin dilahirkan dalam jangka waktu enam bulan lebih dan masih dalam hubungan perkawinan, maka janin tidak berhak atas wasiat. Hal ini karena adanya kemungkinan awal kehamilan terjadi setelah wasiat berlangsung, sedangkan apabila terlahir dalam jangka waktu enam bulan dan tidak dalam hubungan perkawinan maka janin berhak atas wasiat.
 
Berkaitan dengan batas maksimal usia kehamilan yang dapat diberikan wasiat, ada dua pendapat yang berbeda. Ulama Ḥanafiyyah berpendapat, apabila seorang ibu mengandung janin kurang dari dua tahun dan tidak dalam satu hubungan perkawinan maka janin tersebut berhak atas wasiat.<ref>{{Cite journal|last=Kraemer|first=Jörg|date=1959-01-18|title=Dār al-kutub al-miṣriya, Fihrist al-Maxṭūṭāt. Al-Cuzʾ al-auwal, Muṣṭalaḥ, al-Ḥadīṯ. — Kairo, Maṭba ʿat Dār al-kutub al-miṣrīya 1375/1956. 371 S|url=http://dx.doi.org/10.1163/19606028_026_02-53|journal=Oriens|volume=12|issue=1|pages=278–279|doi=10.1163/19606028_026_02-53|issn=0078-6527}}</ref> Sementara pendapat paling terkenal di kalangan ulama Syāfi’iyyah dan satu pendapat lain dari kalangan Ḥanābilah menyatakan, bahwa seorang perempuan apabila mengandung janin kurang dari jangka waktu empat tahun dan ia tidak dalam hubungan perkawinan maka janin tersebut berhak atas wasiat.<ref>{{Cite journal|last=Al-Halloul|first=Gabr|date=2017|title=QirâaSama halnya Qawâiddengan al-Harbwaris, wabatas Ahdâfunaminimal usia al-Fikrkehamilan ad-Dînîmenjadi al-Islâmîsyarat wautama al-Fikryang ad-Dînîmenentukan al-Yahûdîkeabsahan wasiat.<ref>{{Cite journal|urllast=http://dx.doi.org/10.29355/iuif.2018.33Nizami|journalfirst=International Workshop on ReligiousAuliya SciencesGhazna|locationdate=Uygulama1 OteliJuni Toplantı Salonu|publisher=Iğdır Üniversitesi|doi=10.29355/iuif.2018.33|isbntitle=978Hak-605-83039-3-5}}</ref>hak SamaKeperdataan halnyaJanin dengandalam waris,Hukum batasIslam minimal usia kehamilan menjadi syarat utama yang menentukan keabsahan wasiat.dan
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia|url=http://asy-syirah.uin-suka.com/index.php/AS/article/view/458/251|journal=Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum|volume=52|issue=1|pages=83-84|doi=|issn=2443-0757}}</ref>
 
==== Hak Wakaf Janin dalam Fikih ====