* Suku Tionghua: berada di kota Baturaja,masuk ke baturaja sebelum masa belanda
* Suku Jawa & Bali: Kota Baturaja, Semidang Aji, Peninjauan, Sinar Peninjauan, dan sekitarnya
* Khusus Suku Jawa yang ada di desa Lubuk rukamRukam Kecamatan Peninjauan disinyalir sudah ada sejak th 1556 M. Oleh Pemerintah Kabupaten OKU sudah ditetapkan sebagai tahun berdirinya desa Lubuk rukamRukam
* Suku Batak: berdomisili di hampir setiap wilayah Baturaja, dan wilayah Batumarta
* Suku Minang: berdomisili di kota baturaja
Baturaja merupakan ibukota Kabupaten Ogan Komering Ulu yang saat ini terdiri atas Kecamatan Baturaja Timur dan Kecamatan Baturaja Barat.
Dahulunya Baturaja berstatus Kota Administratif (Kotif) yang dipimpin oleh seorang Walikota Administratif berdasarkan PP No. 24 tahun 1982. Saat itu juga ada beberapa kotif lainnya di Provinsi Sumatera Selatan yang diantaranya Kotif Prabumulih (Muara Enim), Kotif Lubuklinggau (Musi Rawas), dan Kotif Pagaralam (Lahat).
Pembentukan Kotif Baturaja didasari atas pertimbangan beberapa aspek diantaranya terlihat adanya ciri kehidupan masyarakat perkotaan di Kecamatan Kota Baturaja sehingga dianggap perlu dibentuknya Kota Administratif Baturaja dibawah naungan dan pembinaan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Ogan Komering Ulu sebagai daerah induk. Sebagai tindak lanjutnya, maka wilayah yang masuk di dalam Kotif Baturaja yakni Kecamatan Kota Baturaja dimekarkan menjadi Kecamatan Baturaja Timur dan Kecamatan Baturaja Barat sekaligus menjadikan juga menjadikan Kotif Baturaja sebagai ibukota Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Dengan demikian, secara garis komando pemerintahan, maka Pemerintah Kota Administratif Baturaja dipimpin oleh Walikota Administratif Baturaja yang dijabat oleh seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan bertanggung jawab langsung kepada Bupati KDH Tk. II Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Seiring berjalannya waktu, Reformasi 1998 pun terjadi dan menuntut adanya sebuah otonomi daerah. Maka lahirlah UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang salah satu isinya adalah penghapusan status Kota Administratif karena saat iniunsur Pemerintah Daerah (Pemda) hanya terdiri atas Provinsi dan Kabupaten / Kota saja. Ini berarti bahwa mulai saat itu dalam unsur Pemerintahan Daerah tidak lagi mengenal istilah Kota Administratif (Kotif). Sebagai konsekuensinya, maka seluruh Kotif diyang seluruhada di Indonesia diberikan dua opsi pilihan.
Opsi pilihan pertama, Kotif harus dimekarkan (berpisah) dari kabupaten induknya dan berubah status menjadi kota (dahulu dikenal dengan istilah Kotamadya) yang otonom dengan memiliki sistem dan struktur pemerintahan sendiri (termasuk memiliki DPRD Kota) serta dipimpin oleh seorang Walikota yang tidak lagi dijabat oleh seorang PNS melainkan melalui prosesmekanisme politik yang dilaksanakan melalui sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung. Dengan kata lain, Walikota tidak lagi bertanggung jawab kepada Bupati kabupaten induknya. Proses peningkatan status Kotif menjadi Kota Otonom harus melalui studi kelayakan dan harus dinyatakan memenuhi indikator persyaratan yang diantaranya adalah jumlah penduduk, luas wilayah, kepadatan penduduk, mata pencaharian non pertanian area terbangun, fasilitas umum kota, heterogenitas penduduk, sifat hubungan masyarakat, potensi daerah, dan potensi keuangan.
Opsi pilihan kedua, jika tidak memenuhi indikator persyaratan untuk ditingkatkan menjadi Kota Otonom sehingga dinyatakan tidak layak, maka Kotif tersebut harus bergabung kembali menjadi bagian dari kabupaten induknya. Dengan kata lain, status danKota Administratif beserta struktur Kotifpemerintahan yang ada sebelumnya termasuk jabatan Walikota Administratif harus dihapuskan dan dibubarkan serta semua tanggung jawab daerah bekas Kotif kembali dipegang dan diambil alih oleh Bupati sebagai kepala daerah induknya.
Sangat disayangkan ketika tiga Kotif lainnya di Provinsi Sumatera Selatan dinyatakan layak dan berhasil ditingkatkan statusnya menjadi Kota Otonom seperti Kota Prabumulih (berdasarkan UU No. 6 Tahun 2001), Kota Lubuklinggau (berdasarkan UU No. 7 Tahun 2001), dan Kota Pagaralam (berdasarkan UU No. 8 Tahun 2001), Kotif Baturaja pun dinyatakan tidakbelum layak secara urgensi dan gagal untuk menjadi Kota Otonom. Sebagai konsekuensinya, maka Kotif Baturaja harus dibubarkan dan bergabung kembali ke Kabupaten Ogan Komering Ulu sebagai kabupaten induknya (berdasarkan PP No. 33 Tahun 2003) dengan status tetap sebagai Ibukota Kabupaten Ogan Komering Ulu. Padahal saat itu gedung baru untuk kantor Walikota Baturaja sudah dibangunselesai dan disiapkandibangun di kawasan Kemiling yang sebelumnya kantor Walikota Administratif Baturajatersebut berada dalam satu gedung bersama DPRD OKU. Akibatnya kantorgedung Walikota puntersebut menjadi vakum dan sempat terbengkalai beberapa tahun sampai akhirnya bangunan tersebut dijadikan sebagai kantor Dinas Pendidikan Kabupaten OKU hingga saat ini.
Alasan yang berkembang kemungkinan besar saat itu dikarenakantentang masyarakatperihal lebihmengapa mendukungKotif pemekaranBaturaja kabupatengagal baruditingkatkan yangstatusnya sudahmenjadi lamaKota merekaOtonom nantikanadalah ketimbangdikarenakan peningkatankurangnya statusdukungan Kotifdari Baturajamasyarakat. sebagaiSaat Kotaitu Otonommasyarakat sehinggaOKU Baturajalebih dinyatakanmendukung belumaspirasi layakdan secaratuntutan urgensipemekaran untukKabupaten menjadibaru Kotayang Otonomsudah lama mereka nantikan. Selain itu juga, mayoritas masyarakat OKU saat itu masih menginginkan Baturaja tetap menjadi bagian Kabupaten OKU sekaligus menjadi ibukotanya. Akhirnya perhatian para stakeholder termasuk Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ulu saat itu tertuju dan berfokus kepada aspirasi dan tututan masyarakat yang menginginkan adanya pemekaran dua kabupatenKabupaten baru yang padatersebut. akhirnyaMaka melaluiberdasarkan PP No. 37 tahun 2003 terbentuklahlahirnya dua kabupatenKabupaten baru tersebut yakni, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur dengan ibukota Martapura dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan dengan ibukota Muaradua.
Saat ini mulai muncul kembali rencana pemekaran Kota Baturaja yang digaungkan melalui media sosial. Sebagai responnya, DPRD OKU di tahun 2015 membahas hal ini melalui rapat pandangan umum antar fraksi dan berhasil mendapat persetujuan dari anggota dewan. Usulan tersebut dilontarkan atas pertimbangan berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 bahwa Baturaja dinilai sudah memenuhi kriteria dan layak menjadi sebuah Kota Otonom berdasarkan jumlah dan kepadatan penduduk, jumlah pegawai dan jenis mata pencarian, serta sudah menunjukkan adanya kemajuan dan perkembangan melalui berbagai fasilitas dan pembangunan infrastruktur yang ada saat ini. Hal ini juga sudah disambut baik oleh PemkabBupati OKU selaku daerah induk sertadan sudah disetujui olehbersama DPRD OKU melalui Raperda RPJMD 2016-2021 pada Sidang Paripurna laporan hasil kerja pansus tahun 2016. Meskipun harusdalam proses nantinya haruslah melalui tahapan kajian dan persiapan yang harus dilalui sembari menunggu berakhirnya moratorium Daerah Otonomi Baru (DOB).
DPRD OKU juga berencana akan memekarkan Kecamatan Baturaja Timur yang dinilai cukup luas menjadi dua atau tiga kecamatan dan menggabungkannya dengan Kecamatan Baturaja Barat atau bisa juga mengambil satu atau dua kecamatan sekitar dikarenakan syarat terbentuknya sebuah kota harus memiliki minimal empat kecamatan.
|