Pulau Sebesi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k v2.04b - Fixed using Wikipedia:ProyekWiki Cek Wikipedia (Templat dengan kontrol karakter Unicode)
HsfBot (bicara | kontrib)
k v2.04b - Fixed using Wikipedia:ProyekWiki Cek Wikipedia (Tanda baca setelah kode "<nowiki></ref></nowiki>")
Baris 31:
 
=== Pengikhan Singa Brata ===
Setelah [[Pengikhan Cecobaian]] wafat, hak kepemilikan atas Pulau Sebesi ini pada akhirnya diwariskan pada Pangeran Singa Brata, yang juga menjabat sebagai Kepala [[Kebandakhan Raja Basa]]. [[Pengikhan Singa Brata]] adalah keturunan ke-18 dari Pangeran Cecobaian.<ref name="pangerantjetjobaian" />. Ia juga merupakan salah satu pejuang dari [[Karesidenan Lampung]], [[onderafdeeling Katimbang]], yang turut membantu [[Radin Inten II|Raden Intan II]] berjuang melawan pemerintah Hindia Belanda.<ref>Pemerintah Provinsi Lampung. Dinas Pendidikan. ''Pahlawan Nasional Radin Intan II'', Leaflet. 2004.</ref>. Sempat terjadi sengketa kepemilikan Pulau Sebesi dan Sebuku antara [[Pengikhan Singa Brata]] dengan seorang penduduk [[Teluk Betung, Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung|Teluk Betung]] .Mengajukan permintaan tertanggal 17 Juli 1848 kepada ''Civiele en Militaire Gezaghebber ''agar diperbolehkan menanam di Pulau Sebesi dan Sebuku. Hal ini diduga dilakukan untuk melemahkan perjuangan Pengikhan Singa Brata terhadap penjajah. Pengikhan Singa Brata pun mengajukan keberatan pada pihak pemerintah. Lalu pemerintah [[Hindia - Belanda]] pada saat itu melakukan penyelidikan terhadap status hukum Pulau Sebesi dan Sebuku. Dari hasil investigasi itu diketahui bahwa [[Pangeran Singa Brata]] adalah pemilik yang sah atas Pulau Sebesi dan Sebuku.<ref name="besluitpangeransingabrata">Nederlands-Indië. 1864. [http://sipus.simaster.ugm.ac.id/digilib/index.php?mod=book_detail&sub=BookDetail&act=view&typ=htmlext&buku_id=181119&obyek_id=1 ''Besluiten van den Gouvernement 6 April 1864. Staatblad No. 54. 1864'']</ref>. Namun pada tahun 1856 Pengikhan Singa Brata tertangkap oleh tentara [[Hindia Belanda]] dan dibuang ke [[Manado|Manado, Sulawesi Utara]]. Untuk mengakhiri konflik, maka hak kepemilikan [[Pengikhan Singa Brata]] atas pulau ini disahkan melalui ''Besluit'' (Keputusan) [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda|Gubernur Jenderal Hindia - Belanda]] tahun 1864. Selama masa pengasingan Pengikhan Singa Brata ke Manado, pemerintahan Kebandakhan Raja Basa dan pengelolaan Pulau Sebesi dan [[Sebuku]] ditangani oleh para keluarga dari Pengikhan Singa Brata, antara lain [[Pangeran Warta Manggala]] (saudara kandung), [[Pangeran Warta Manggala]] (anak dari Pangeran Warta Manggala), dan [[Dalom Mangku Minggar]] (tetua dalam marga Raja Basa).<ref name="pangerantjetjobaian"/>.
 
Tahun 1879, atau 23 tahun setelah menjalani pengasingannya, Pengikhan Singa Brata dipulangkan ke Raja Basa atas permintaan 14 kepala pekon di pesisir dengan jaminan bahwa [[Pengikhan Singa Brata]] tidak akan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun 4 tahun setelah kepulangannya, tepatnya pada tanggal 27 Agustus 1883, [[Krakatau]] meletus dengan dahsyat yang memporak-porandakan wilayah pesisir gunung Raja Basa. Pengikhan Singa Brata turut menjadi korban atas peristiwa ini dan ia dinyatakan tewas.<ref name="pangerantjetjobaian"/>
Baris 45:
* <sup>A</sup> Ada sejumlah sumber yang menyatakan bahwa Raden Tinggi adalah anak Pengikhan Singa Brata yang tewas dalam pertempuran melawan Belanda.
* <sup>B</sup> Beberapa sumber menyatakan bahwa pengangkatan kepala kebandakhan ini juga disetujui oleh Sultan Banten. Tidak disebutkan siapa Sultan Banten yang dimaksud. Namun jika merunut dari tahun kejadiannya, kemungkinan besar Sultan Banten yang dimaksud saat itu sedang menjalani masa pembuangannya di Surabaya. pada tahun 1899. Ia dimakamkan di Pesarean Agung Sentono Botoputih (Pemakaman Keluarga Bupati Surabaya). Di pusaranya tertulis dengan huruf Arab yang terjemahannya sbb.: ''Ini kubur Sultan Banten Ketika lenyap almarhum pada malam Senen 3 Rajab 1318 H atau 11 November 1899''.
* <sup>C</sup> Menurut beberapa sumber sejarah hal ini dilakukan oleh Belanda untuk sebisa mungkin memutus regenerasi perjuangan Pengikhan Singa Brata. Sehingga pada setiap surat keputusan (Besluit) Pemerintah Hindia Belanda mengenai pengesahan keturunan Pengikhan Minak sebagai kepala kebandakhan selanjutnya selalu menggunakan sebutan Pesisir. Namun pihak jurnalis dari berbagai harian berbahasa Belanda yang memuat berita seputar Pesisir tak pernah menulis Pesisir, melainkan Kebandakhan Raja Basa.<ref name="nieuweamsterdamcourant1926" /><ref name="deindischecourant1934" />.
*
=== Raden Pengikhan Kalianda ===
Tahun 1896 Pengikhan Minak menjual Pulau Sebesi dan Sebuku kepada Kalianda, seorang kepala pekon Kalianda onderafdeeling Katimbang. Proses jual beli ini dicatatkan melalui sebuah akta jual-beli dan disaksikan oleh Controleur, Demang, serta Klerk-Griffier afdeeling Katimbang.<ref name="nieuweamsterdamcourant1926">Nieuwe Amsterdam Courant - Algemeen Handelsblad No. 32239: "''De Koning van Sebesi''", hal. 9. Nederlands, 1926.</ref><ref name="deindischecourant1934">De Indische Courant No. 64: "''Uit de Lampongs: Poelau Seboekoe en Sebesi''", hal. 6. Nederlands-Indië, 1934.</ref>. Hak kepemilikan Kalianda kemudian dikuatkan oleh Besluit Gubernur Jenderal Hindia - Belanda tahun 1900.
 
Sebelum membeli Pulau Sebesi dan Sebuku, tepatnya pada tahun 1888, Kalianda dan Pengikhan Minak sempat dipanggil oleh Pemerintah Banten di Anyer untuk menerima penghargaan. Kepala Pekon Kalianda mendapat bintang emas dan Pengikhan Minak menerima bintang perak.<ref name="bintangemas1888">Java-Bode No. 266: "''Officieele Berichten, Civiel Departement''", hal. 5. Nederlands-Indië, 1888.</ref>
Baris 55:
 
=== Muhammad Saleh Ali ===
Pasca meninggalnya Raden Pengikhan Kepala Pekon Kalianda pada tahun 1926, hak kepemilikan atas Pulau Sebesi dan Sebuku beralih kepada anak laki-laki satu-satunya, Muhammad Saleh Ali .<ref name="hetniewsvandendagags1936">Het Nieuws Van Den Dag No. 193: "''Mach van Adatrechten en Legenden''", hal. 17. Nederlands-Indië, 1936.</ref><ref name="desumatrapost1936">De Sumatra Post No. 201: "''Adatrechten en Legenden''", hal. 11. Nederlands-Indië, 1936.</ref>. Di masa kepemilikan M. Saleh Ali, Pulau Sebesi menjadi basis pendanaan bagi para pejuang Kalianda semasa perang kemerdekaan melawan Belanda dan Jepang, hingga agresi militer Belanda ke-2 pada tahun 1949.
 
Kini hak kepemilikan terhadap Pulau Sebesi dan Sebuku telah beralih pada Hasanudin bin M. Saleh Ali dan saudara-saudaranya.<ref name="putusanma1978">Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 1757K/SIP/1978.</ref><ref name="putusanma2009">Mahkamah Agung Republik Indonesia, [http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/perkara/perkara_detail.php?id=dd733090-0b2a-1b2a-e3c7-30353030 Putusan No. 3013K/PDT/2009].</ref>.
 
<u>'''Catatan Kaki:'''</u>
Baris 65:
 
=== Sebelum 1883 ===
Sebelum meletusnya Krakatau pada tahun 1883 masyarakat di Pulau Sebesi umumnya bertani karet, lada, dan kelapa. Bahkan riwayat mengenai kebun lada di Pulau Sebesi sudah berlangsung sejak Sultan Banten memberikan perintah pada Pengikhan Cecobaian agar mewajibkan seluruh elemen masyarakat Sabrang (sebutan dari orang-orang Banten untuk penduduk Lampung saat itu) mulai dari pembesar, punggawa, maupun orang kecil, untuk menanam lada sebanyak 500 batang per kepala. Setelah berbuah hasilnya boleh dijual kepada siapa saja, baik kepada orang Jawa, Cina, Eropa, maupun ke Banten. Barang siapa yang diketahui tidak menanam 500 batang pohon lada maka Sultan akan menjatuhi hukuman pasung dan seluruh anggota keluarganya diseret ke Banten. Perintah Sultan kepada Pangeran Cecobaian ini dituangkan dalam sebuah piagam tembaga beraksara Jawa yang diundangkan pada tahun 1074 H (1653 M) .<ref name="bandakhmargarajabasa"/>.
 
=== Setelah Letusan Besar Krakatau ===
Pasca letusan besar Krakatau, Pulau Sebesi sempat lama ditinggalkan oleh masyarakat pesisir karena takut akan terulangnya letusan Krakatau. Pulau Sebesi baru kembali ditanami tanaman perkebunan setelah pulau ini dibeli oleh Kepala pekon kalianda dari Pengikhan Minak. Setelah resmi menjadi pemilik tunggal Pulau Sebesi dan Sebuku, Kepala pekon kalianda secara berangsur-angsur membawa puluhan pekerja dan ribuan bibit tanaman [[Kelapa]] untuk ditanam di kedua pulau tersebut. Hal ini dicatat oleh sejumlah ahli biologi yang berkunjung ke Pulau Sebesi untuk pertama kalinya pada tahun 1920 .<ref name="ianthornton">Thornton, Ian W. B.: "[http://www.amazon.com/Krakatau-Destruction-Reassembly-Island-Ecosystem/dp/0674505727 ''Krakatau: The Destruction and Reassembly of an Island Ecosystem''"], hal. 128. New York, Harvard College, 1996.| ISBN 978-0-674-50572-8</ref>.
 
{{Quotation|"''Sebesi has permanent streams, and thus has been inhabited and considerably disturbed by agricultural practices for many years. Much of the island’s lowland area was cleared and planted by Hadji Djamaludin and his workers in 1890, and in about 1900 cattle, goats, and horses were introducted.''" | Dammerman (1948) | <ref name="ianthornton"/>}}
 
{{Quotation|"''Coconut plantations were now extensive, and there were fruit trees and ladangs (rice fields in cleared forest).''" | Dammerman (1948) | <ref name="ianthornton"/>}}
Selain itu pendapat ahli botani dari Buitenzorg Museum (Museum Botani Bogor) yang pada tahun 1906 tergabung dalam sebuah ''Comissie'' untuk menyelidiki usia tanaman di Sebesi memperkuat pernyataan itu. Pernyataan itu terangkum dalam isi vonis Pengadilan Proatin Kalianda tahun 1906.<ref name="proatinkalianda">Proatin Kalianda, Putusan No. 25. Tertanggal 5 Juli 1906.</ref>.
 
Sejak era penanaman kelapa di Pulau Sebesi, tanaman yang diproduksi baik dalam bentuk kelapa butir maupun kopra ini menjadi komoditas utama dari Pulau Sebesi. Bahkan hasil kopra dari pulau ini turut menjadi penyumbang dana untuk perjuangan rakyat Kalianda, Lampung Selatan, sejak masa sebelum kemerdekaan hingga agresi militer Belanda ke-2 pada tahun 1949.
Baris 84:
 
== Satwa ==
Letusan Krakatau tahun 1883 telah memusnahkan seluruh satwa yang ada di Pulau Sebesi .<ref name="dammerman">Dammerman, K. W., The Fauna of Krakatau, Verlaten Island, and Sebesy. Treubia, 3, 1922. pp. 61 112, 1 map.</ref>. Lalu untuk pertama kalinya Haji Djamaludin membawa hewan-hewan ternak seperti kuda, kambing, dan sapi .<ref name="dammerman" />. Sedangkan penelitian terhadap satwa baru dilakukan pada tahun 1920 oleh 2 ilmuwan, Dr. W. van Leeuwen dan Dr. K. W. Dammerman dari Buitenzorg Musem / Museum Bogor .<ref name="ianthornton"/><ref name="wmwheeler">Wheeler, William Morton, 1924. Ants of Krakatau and Other Islands In The Sunda Strait. Bussey Institution, Boston Mass. EXTRAIT, DE TREUBIA VOL. V, LIVR 1-3.</ref>.
 
Babi hutan merupakan satwa hama utama bagi warga Pulau Sebesi. Pada sekitar tahun 1930 Belanda membawa dan memelihara sejumlah babi hutan di pulau ini yang akhirnya berkembang biak secara liar. Oleh para pemburu dan tokoh masyarakat, jumlah babi hutan di pulau ini diperkirakan lebih dari separuh jumlah penduduk Pulau Sebesi.
Baris 90:
<br />
== Desa/Dusun ==
Pulau Sebesi terdiri dari 1 desa dan 4 dusun utama dan beberapa dusun kecil yang berada dibawah naungan dusun utama. Empat dusun utama tersebut adalah Dusun Bangunan, Dusun Inpres, Dusun Segenom, dan Dusun Regahan Lada .<ref name="fasilitaspendidikan" />.
 
Sebelum menjadi desa sendiri, Pulau Sebesi masih berada dalam naungan kampung Raja Basa. Saat itu kampung Raja Basa dipimpin oleh kepala marga Pesisir, Pangeran Warta Manggala II, anak dari Pangeran Minak Putra.