Iskandar Alisjahbana: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 14:
==Kesan-Kesan dari Anak Didik==
 
===Anonymous===
Kesan saya yang tidak terlupakan kepada Profesor Iskandar adalah saat saya diwisuda pada tahun 1974. Sebagai dekan Departemen Elektroteknik, beliau berdiri bersama rektor ITB, Prof Dr. Dodi Tisna Amidjaya, menyalami seluruh wisudawan dari lulusan elektroteknik. Beliau menjabat tangan para wisudawan dengan erat sambil bertanya "Mau kerja dimana? Mau gaji berapa?"
 
Baris 20 ⟶ 21:
Pada tahun-tahun sebelumnya lulusan ITB sebagian besar bekerja di pemerintah sebagai pegawai negri. Beliau mendorong para insinyur yang baru lulus untuk berwiraswasta, berfikir bebas, membuka usaha baru. Mungkin dengan latar belakang inilah beliau merasa tidak cocok untuk tetap menjadi rektor yang pada saat itu ditutup untuk me-"netralisir" kampus dari kegiatan politik.
 
=== =Onno W. Purbo ====
"Om Is", begitulah sebutan panggilan Iskandar Alisjahbana, oleh salah seorang anak didiknya, [[Onno W Purbo]]
 
 
===Arifin Panigoro===
 
Kombinasi Wirausaha dan Inovator
Kamis, 18 Desember 2008 | 00:56 WIB
Arifin Panigoro
 
 
Deru angin, bau segar dedaunan, dan pohon seperti baru kemarin terhirup di
hidung. Sesekali udara dingin serasa menembus kulit. Begitulah
hari-hari ketika saya duduk di belakang kemudi mengantarkan Pak
Iskandar Alisjahbana ke lokasi pembangunan stasiun relai di Tangkuban
Perahu pada tahun 1963.
Beliau dengan beberapa dosen elektro
Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama kalangan pengusaha lain dari
Philips Ralin dan Telkom membangun fasilitas relai TV tersebut. Saat
itu saya masih duduk di kelas III SMA. Beliau lebih dikenal dengan
sebutan Pak Is. Sebenarnya Pak Is adalah teman orangtua saya. Kegiatan
pembangunan stasiun rela di Tangkuban Perahu itulah yang mengantarkan
saya untuk mengenal sosok Pak Is lebih dalam, dan turut menentukan
jalan hidup saya di kemudian hari. Ketika saya lulus SMA, beliaulah
yang menyuruh saya untuk memilih jurusan elektro di ITB.
 
Pak Is dikenal luas sebagai seorang dosen, guru besar bidang elektro teknik
dan ahli elek- tronika, tetapi pelajaran yang ia berikan tidak berhenti
di papan tulis, diktat, dan ruang-ruang kuliah di kampus Ganesha.
Di luar berbagai mata kuliah itu yang lebih kuat terekam dari sosok Pak Is
adalah ikhtiarnya, yang tidak kenal lelah, untuk mencetak mahasiswa
sebagai sosok berkepribadian—memin- jam istilah Pak Is—dan ber-
kecerdasan yang utuh. Pribadi yang utuh ini merujuk pada kemampuan si
mahasiswa dalam menyerap ilmu pengetahuan di kampus dan menerapkannya
pada kehidupan yang bersang- kutan dengan harapan memberi manfaat bagi
orang banyak.
 
Bagi Pak Is kepribadian dan kecerdasan utuh itu
bisa dicapai dengan membangun semangat entrepreneurship. Contoh tero-
bosan inovasi dan semangat ke- wirausahaan itu antara lain melalui
gagasannya dalam pem- bangunan stasiun relai di Tang- kuban Perahu
tersebut.
Dalam sebuah forum silaturahim Lebaran 1429 H di Ban-
dung, beberapa waktu lalu, Pak Is membuka kunci mengapa ia begitu
tergerak memelopori entrepreneurship. Ada penggalan komentarnya yang
saya ingat: ”... dalam entrepreneurship ada values yang memberikan
apresiasi kepada fairness, competitiveness, dan creativeness.”
 
Values itulah yang Pak Is usung dalam berbagai kesempatan. Dari sisi terobosan
teknologi komunikasi, misalnya, Pak Is dikenal sebagai sosok inovator
dalam pengembangan teknologi satelit. Indonesia pada saat itu termasuk
pionir dalam penggunaan satelit komunikasi di dunia, atas inisiatif dan
upaya tak kenal lelah Pak Is, maka Indonesia kemudian menggunakan
Satelit Palapa sebagai wahana komunikasi untuk menjangkau berbagai
pulau yang tersebar di seantero Tanah Air.
 
Humanis
 
Pak Is juga saya kenal sebagai sosok yang humanis. Ada salah satu peristiwa
yang saya tidak pernah lupa. Kejadiannya ber- langsung di dalam kereta
api Parahyangan jurusan Jakarta- Bandung. Waktu itu saya sudah kuliah
selama delapan tahun di ITB, tetapi belum lulus-lulus juga karena sibuk
cari proyek untuk dapatkan uang. Begitu men- dengar cerita saya ini,
Pak Is lantas menghela napas dan mengatakan, ”Sudahlah Pin, hentikan
kerjaan-kerjaan sam- pingan kamu seperti ini, cepat selesaikan
sekolahmu dulu. Kalau kamu kurang uang nanti saya pinjamkan uang.”
 
Dorongan-dorongan seperti itulah yang membuat saya men- jadi tidak pernah lupa dengan sosok Pak Is.
Sampai saat-saat beliau sudah lanjut usianya, tidak henti-hentinya Pak Is memberikan dorongan-dorongan kepada yu- niornya di kampus, murid-muridnya dan orang-orang muda yang ia temui untuk selalu berusaha lebih kreatif, selalu mencari jalan, rajin mencari terobosan baru, kalau perlu terobosan itu jauh ke depan atau leap frogging untuk kemajuan bangsa dan negara.
 
Dorongan itu kerap Pak Is berikan dalam berbagai cara dan bentuk komunikasi kepada anak-anak muda. Waktu saya
sudah menjadi pengusaha yang dianggap berhasil, Pak Is selalu mendorong murid-muridnya dan kadang-kadang saya suka dipakai sebagai contoh pengusaha yang selalu mencari peluang-peluang baru. Memang, dalam berbagai kesempatan yang ada, Pak Is dan saya kerap berdiskusi mengenai energi baru mulai dari angin, tenaga surya, sampai dengan gelombang laut.
 
Cakupan perhatian Pak Is tidak hanya bertumpu pada upaya mendidik anak-anak muda binaannya. Ia juga tidak segan- segan menegur kami, baik dengan nada sebagai guru maupun sahabat. Suatu hari saya
menerima telepon, suara Pak Is terdengar marah melihat sampah di
Bandung yang menggunung. ”Pin, Bandung ini punya ITB, yang mengerti
bagaimana teknik mengolah sampah supaya tidak bau dan berguna untuk
hal-hal lain bagi masyarakat. Kenapa kok seperti tidak berbuat apa-apa?”
Begitulah
sosok Pak Is. Ia tidak akan segan mengutarakan apa yang ada dalam
pikirannya kepada siapa pun begitu melihat Bandung, kota yang
dicintainya tampak kotor dan jorok oleh sampah.
 
Tiga isu besar
Pertemuan
terakhir saya dengan Pak Is berlangsung di sela-sela kuliah umum yang
saya berikan di aula barat ITB akhir Oktober lalu. Kegiatan ini
sebenarnya adalah tindak lanjut dari permintaan beliau yang
menginginkan saya untuk bisa sharing pengalaman, pencapaian, dan
harapan dalam pengem- bangan tiga isu besar di Republik: energi,
pangan, dan edukasi.
 
Sebelum kuliah umum ber- langsung saya
sempatkan waktu untuk berdiskusi dengan Pak Is membahas tiga materi
besar tersebut. Rupanya visi dan pikiran beliau jauh ke depan, begitu
banyak gagasan leap frogging yang ia utarakan dalam pengembangan
energi, pangan, dan pendidikan untuk bangsa kita. Saya merasa berbagai
ide besar Pak Is itu tidak bisa selesai dibahas dalam sebuah forum
studium generale.
Setelah kuliah umum itu Pak Is menghampiri
saya, ”Paparan tadi bagus Pin.., tetapi ini belum selesai, baru
setengah jalan…, you mesti selesaikan. ” Permintaan ini amanah besar
yang tidak boleh ditinggalkan. Dan, kini saya bersama sejumlah rekan
melakukan berbagai inisiatif untuk pengembangan ketahanan pangan,
energi, dan pendidikan, salah satunya dengan ikhtiar yang kami lakukan
di Merauke, Papua.
 
Sosok Pak Is dan sejumlah pesannya untuk
langkah besar membangun Indonesia seperti tidak akan pernah terkubur
bersama jasad beliau.... Selamat jalan guru kami.
 
Arifin Panigoro Pelaku Usaha
 
 
==Pranala Terkait ==