Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
[[Berkas:Rumah Tinggal Dokter Hasmo Sugiarto (1).jpg|jmpl|260x260px|Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto terletak di Jalan Moh. Yamin No. 4, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah.]]
 
 
{{Infobox cagar budaya
| Name = Rumah Tinggal dr Hasmo
| Image = [[Berkas:Rumah Tinggal Dokter Hasmo Sugiarto (1).jpg|240px]]
| caption = Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto pada 2020.
| Type =
| Criteria = Bangunan
| ID = PO2016011900008 {{br}}(Pendaftaran 19 Januari 2016)
| Location = Jalan Moh. Yamin No. 4, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah
| Year = Menunggu ketetapan
| ownership = Keluarga Hasmo Sugijarto
| management = Keluarga Hasmo Sugijarto
| Link = http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/cagarbudaya/detail/PO2016011900008/rumah-tinggal-dr-hasmo
| embedded =
|border=infobox
|| label =
| link =
| coordinates =
}}
'''Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto''' adalah bangunan yang terinventarisasi untuk ditetapkan sebagai salah satu bangunan [[cagar budaya]], yang terletak di Jalan Moh. Yamin No. 4, [[Salatiga, Sidorejo, Salatiga|Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga]], [[Jawa Tengah|Provinsi Jawa Tengah]]. Bangunan rumah yang diperkirakan dibangun pada 1919 ini merupakan salah satu bukti fisik dari konsep kota modern yang memperlihatkan ciri arsitektur kolonial di [[Kota Salatiga]]. Pada 17 Juni 2015, rumah tersebut menerima penghargaan dalam bentuk pemberian kompensasi pelestarian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah bersama dengan empat bangunan lain, yaitu [[GPIB Tamansari Salatiga]], Susteran OSF St. Fransiskus Xaverius, [[Rumah Tinggal Notosoegondo]], dan [[Toko Aneka Jaya]].
 
== Keadaan bangunan ==
 
[[Berkas:Keluarga Frederik Bousché (1).jpg|jmpl|260x260px|Frederik Bousché dan Wilhelmina Frederika Kouwenberg bersama keempat anaknya pada 1910.]]
Rumah ini diperkirakan dibangun pada 1919 dengan pemilik awal bernama Frederik Bousché, seorang Indo-Belanda kelahiran [[Delanggu, Klaten]].{{sfnp|Prakosa|2017|p=64|ps=: "Cerita lain terkait hubungan golongan Eropa dengan masyarakat bumiputra datang dari keluarga dr. Frederik Bousche. Keluarga Indo-Belanda yang pernah bertempat tinggal di ''Julianalaan'' (saat ini di depan Kantor Pos Salatiga) dan dimiliki oleh keluarga dr. R. Hasmo Sugijarto) itu dikenal dermawan (...)"}} Pada awal pendiriannya, Bousché – seperti mayoritas orang [[Belanda]] lainnya – menanam berbagai bunga di halaman rumah tersebut serta memilih motif tulip untuk lantainya.{{sfnp|Supangkat|2019|p=9|ps=: "Seperti kebanyakan orang Belanda yang menyukai bunga, Bousche pun demikian juga sehingga dia banyak menanam bunga (...)"}} Bangunan rumah itu berada di kawasan strategis, yaitu Jalan Moh. Yamin (dahulu bernama ''Julianalaan'').<ref>{{Cite web|url=https://www.solopos.com/wisata-salatiga-ini-11-benda-cagar-budaya-714261|title=Wisata Salatiga: Ini 11 Benda Cagar Budaya|last=Saputra|first=Imam Yuda|date=27 April 2016|website=Solopos|access-date=12 Maret 2020}}</ref>{{sfnp|Supangkat|2012|p=21|ps=: "Beberapa nama jalan lain yang "berbau" Belanda, misalnya ''Koffiestraat'' yang kemudian diganti ''Prins Hendriklaan'' (sekarang Jalan Yos Soedarso), ''Emmalaan'' (sekarang Jalan Adisutjipto), ''Prinsenlaan'' (sekarang Jalan Tentara Pelajar), ''Julianalaan'' (sekarang Jalan Moh. Yamin) (...)"}}''{{sfnp|Harnoko, dkk|2008|p=42|ps=: "Jalan Moh. Yamin ada bangunan-bangunan kolonial, yang kini digunakan untuk rumah tinggal, kantor pos, dan kantor pegadaian (...)"}}'' Pada masa pemerintahan ''gemeente'' (kotapraja dengan otonomi penuh), kawasan tersebut berkembang menjadi pusat kota yang dikenal dengan nama ''Europeesche Wijk.{{sfnp|Anwar|2019|p=147|ps=: "Untuk wilayah yang saat ini bernama Jalan Diponegoro, Jalan Yos Sudarso, Jalan Patimura, Jalan Moh. Yamin, pada masa kolonial adalah zona ''Europeesche Wijk'' dihuni oleh orang Eropa yang kaya-raya (...)"}}{{sfnp|Rohman|2020|p=124|ps=: "Pada masa pemerintahan ''gemeente'', kawasan di sekitar Rumah Dinas Asisten Salatiga memang berkembang menjadi pusat kota. Perkembangan ini turut mendorong orang-orang kulit putih untuk menjadikan daerah tersebut sebagai kawasan elite (...)"}}'' Menurut Prakosa, kawasan ini hanya boleh ditempati oleh orang-orang Eropa, Timur Asing, dan masyarakat pribumi yang memiliki penghasilan setara dengan pegawai Eropa, yaitu kategori golongan gaji A (gaji tertinggi).{{sfnp|Prakosa|2017|p=27|ps=: "Selain diskriminasi dalam lapangan politik, ekonomi, sosial, dan hukum, pemerintah kolonial juga membedakan penduduk dalam pola permukiman. Mereka dikelompokkan dalam lokasi tertentu berdasarkan golongan etnis. Golongan Eropa, misalnya, bermukim di sekitar ''Toentangscheweg'' (...)"}} Namun, Supangkat menegarai bahwa ruas ''Julianalaan'' menjadi lokasi alternatif pendirian rumah tinggal tersebut karena lahan di sekitar Jalan Diponegoro (dahulu bernama ''Toentangscheweg'') mulai padat.{{sfnp|Supangkat|2012|p=35|ps=: "(...) Itulah sebabnya mereka seakan berlomba membangun rumah-rumah dan bangunan dengan arsitektur Eropa yang berhalaman luas di kanan-kiri ''Toentangscheweg'', sampai akhirnya daerah tersebut benar-benar menjadi kawasan permukiman orang Eropa (''Europeesche Wijk'')".}}{{sfnp|Supangkat|2019|p=8|ps=: "(...) Dengan adanya ketetapan tersebut, banyak orang Belanda membangun gedung-gedung berarsitektur Eropa di sepanjang ruas jalan itu. Ketika sudah tidak ada lahan lagi di sana, ruas ''Julianalaan'' menjadi alternatif yang banyak diburu".}}
Baris 9 ⟶ 30:
 
== Kompensasi pelestarian ==
 
Rumah tinggal yang berdekatan dengan [[Kantor Pos Salatiga]] tersebut terinventarisasi untuk ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya di Kota Salatiga dengan Nomor Inventaris 11-73/Sla/67{{efn|Berdasarkan hasil kajian dan identifikasi bangunan bersejarah di Kota Salatiga yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Salatiga bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah tahun 2009 ({{harvnb|Hatmadji, dkk|2009|pp=3}}).}}''{{sfnp|Hatmadji, dkk|2009|p=133–135|ps=: "Nama BCB/Situs : Rumah Tinggal (dr. R. Hasmo Sugijarto); No. Inventaris : 11-73/Sla/67; Lokasi : Jl. Moh. Yamin 4 Salatiga (...)"}}'' dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.<ref name=":0" /> Pada 17 Juni 2015, bangunan ini menerima penghargaan dalam bentuk pemberian kompensasi pelestarian dari BPCB Jawa Tengah bersama dengan empat bangunan lain di Kota Salatiga. Kompensasi tersebut diserahkan kepada Sri Kadarinah selaku pemilik dan pengelola bangunan. Adapun empat bangunan lain itu adalah GPIB Tamansari Salatiga (diserahkan kepada Marthinus Mijan Rukait selaku Ketua IV Pelaksana Harian Majelis GPIB Tamansari Salatiga), Susteran OSF St. Fransiskus Xaverius (diserahkan kepada Suster Kepala Maria Gratia Surtinan), Rumah Tinggal Notosoegondo (diserahkan kepada Hendriani selaku pemilik dan pengelola bangunan), dan Toko Aneka Jaya (diserahkan kepada Heriyanto selaku pemilik dan pengelola bangunan).<ref>{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/pemberian-kompensasi-pelestari-cagar-budaya-kota-salatiga/|title=Pemberian Kompensasi Pelestari Cagar Budaya Kota Salatiga|last=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah|first=|date=19 Juni 2015|website=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia|access-date=11 Maret 2020}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/bangunan-bangunan-di-kota-salatiga-penerima-kompensasi-pelestarian/|title=Bangunan-Bangunan di Kota Salatiga Penerima Kompensasi Pelestarian|last=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah|first=|date=19 Juni 2015|website=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia|access-date=11 Maret 2020}}</ref>