== Latar Belakang ==
Raja [[Aceh]] menganjurkan Raja Batak yang beragama Hindu untuk berindah ke [[Islam|agama Islam]]. Apabila raja bersedia menceraikan isterinya yang juga beragama [[AgamaUgamo HinduMalim|HinduMalim]] dan sudah di nikahi selama 26 tahun RajaSultan Aceh akan menyerahkan salah satu saudara perempuannya untuk dinikahi Raja Batak. Namun, Raja Batak menolak tawaran itu hingga RajaSultan Aceh menyatakan [[perang]]. dengan mengerahkan seluruh [[tentara]] mereka terjun ke medan pertempuran selama tiga jam tanpa henti.<ref name=":0">{{Cite book|last=Reid|first=Anthony|date=2014|title=Sumatera Tempo Doeloe|location=Depok|publisher=Komunitas Bambu|isbn=979-3731-94-x|pages=47|url-status=live}}</ref>
== Perjanjian Aceh-Batak ==
== Pengkhianatan Aceh ==
Namun Perjanjian itu hanya berlangsung selama dua setengah bulan, Aceh menyebarkan desas desus bahwa RajaSultan Aceh akan berangkat ke [[Kesultanan Samudera Pasai|Pasai]] untuk menghukum salah satu kapten yang telah memberontak. Namun, RajaSultan Aceh berangkat dengan membawa seluruh bala tentaranya menuju dua desa Batak bernama ''Jacur'' dan ''Lingau''. RajaSultan Aceh berhasil melumpuhkan kedua desa tersebut tanpa kesulitan, karena mendapati Raja Batak yang lengah karena rasa aman dari perjanjian yang belum lama disepakati. RajaSultan Aceh berhasil membunuh ketiga putra Raja Batak bersama dengan 700 ''[[hulubalang]]'' yang merupakan prajurit terbaik kerajaan Batak.
== Siasat Pero de Faria ==
Raja Batak yang murka akan pengkhianatan perjanjian tersebut mengerahkan pasukan sejumlah 15.000 orang yang terdiri dari penduduk asli maupun orang asing. Tidak puas dengan itu ia mengirimkan utusannya kepada Raja [[Portugis-Indonesia|PortugisPortugal]]. Utusan itu menjelaskan telah terjadi pertempuran antara pasukan kerajaan batak melawan pasukan [[Kesultanan Aceh]] yang berlangsung di sebuatu [[medan]] terbuka selama 3 jam tanpa henti. Setelah membaca surat dari Raja Batak, Pero de Faria mengatur akomodasi terbaiknya. Dalam waktu 17 hari setelah tiba di [[Malaka (disambiguasi)|Malaka]], segala sesuatu langsung di urus dengan sempurna. Setelah 9 hari menginap di ibukota Kerajaan Batak di Sungai Iyu (Panaiu), ia menyaksikan keberangkatan Raja Batak dan pasukannya meninggalkan ibukota menuju suatu tempat bernama Turbao 9 yang jaraknya sekitar 5 ''leagues (±25Km)''. Setelah satumalam menginap pasukan Kerajaan Batak dan rajanya melanjutkan gerakan sejauh 18 ''leagues (±90Km)'' menuju kedudukan pasukan Aceh. Jumlah pasukan yang dipimpin Raja Batak mencapai 15.000 orang. Pasukan ini diperkuat juga dengan 40 ekor [[gajah]] dan 12 gerobak yang dimuati [[artileri]]-[[artileri]] kecil. Setelah menempuh perjalanan selama 5 hari, pasukan Kerajaan Batak sampai di tepi Sungai Quilem. 15 Di tepi sungai ini pasukan Batak (Tamiang) menangkap mata-mata Aceh, dan berhasil mengungkap informasi bahwa pasukan Aceh telah berkubu di satu tempat yang disebut Tondacur yang terletak sekitar 2 leagues ''(±10Km'') dari wilayah Aceh. Pasukan Aceh yang berkubu di Tondacur ([[Sei Kuruk I, Seruway, Aceh Tamiang|Sei Kuruk]]) diperkuat oleh legiun asing yang terdiri dari orang-orang [[Turki]], [[Cambai, Prabumulih|Cambay]], dan [[Malabar Belanda|Malabar]].<ref>{{Cite journal|last=Soedewo|first=Ery|date=2019|title=STRATEGI KERAJAAN BATAK (TAMIANG)
MENGHADAPI SERANGAN KESULTANAN ACEH DI ABAD KE-16 M|url=http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=1292199&val=10223&title=STRATEGI%20KERAJAAN%20BATAK%20TAMIANG%20MENGHADAPI%20SERANGAN%20KESULTANAN%20ACEH%20DI%20ABAD%20KE-16%20M|journal=Berkala Arkeologi SANGKHAKALA|volume=Vol. 22|issue=No. 1}}</ref>
Hancurnya kapal-kapal Aceh di suatu tempat antara [[Sei Kuruk I, Seruway, Aceh Tamiang|Sei Kuruk]] (Tondacur) dan [[Peunaga Rayeuk, Meureubo, Aceh Barat|Peunaga]] (Penacao) akibat serangan dari Raja Batak, menjadi titik balik yang menentukan bagi pasukan [[Aceh]]. Ketiadaan moda [[transportasi air]] yang memungkinkan mereka mundur ke wilayah Aceh melalui jalur perairan membuat pasukan Aceh untuk bertahan habis-habisan di satu benteng di Peunaga (Penacao). Posisi pasukan Aceh yang strategi, kerajaan Batak Menanggapi serangan [[Kesultanan Aceh]] melemah tampaknya membuat pasukan Batak sangat percaya bahwa [[kemenangan]] akan segera bisa diraihnya. Keyakinan yang berlebihan itu kiranya yang menjadikan pasukan Batak berkurang kewaspadaannya. Hingga akhirnya mereka dikejutkan oleh perangkap [[Ranjau darat|ranjau]] dan serangan balik pasukan Aceh yang telah terkepung di Benteng Peunaga (Penacao) selama 23 hari yang menyebabkan kedua belah pihak mengalami masa-masa tenang.
Kemudian sampai disuatu pagi mata-mata batak menangkap empat [[nelayan]] yang mengaku melihat bahwa setidaknya ada 68 [[kapal layar]] yang diselimuti dengan [[bendera]] dan [[Panji-Panji|panji-panji]] sutra dari tengah [[sungai]] menuju ke samping Penacao adalah armada yang sama dengan yang di kirim RajaSultan Aceh dalam perang melawan Sornau, [[Kekaisaran Persia|Raja Siam]]. Raja Batak menyadari bahwa kekuatan negeri Aceh tumbuh lebih cepat dibanding kekuatan negerinya, sehingga Raja Batak disarankan untuk menarik bala tentaranya dan tidak perlu membuang-buang waktu lagi karena kekuatan Raja Aceh yang saat itu jauh lebih besar dari kekuatan Raja Batak. Akhirnya Raja batak kembali ke Panaju dan membubarkan seluruh pasukannya. Lalu berangkat ke hulu sungai menaiki kapal lanchara kecil menuju kota Pachissaru. Ia mengasingkan diri selama 14 hari dan tinggal di sebuah pagoda kecil yang didedikasikan bagi ''[[Dewa Guinassero]]'' (dewa kesedihan), seolah-olah ia sednag menjalankan ''novena''.<ref name=":0" />
== Referensi ==
|