Aksara Lontara: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
rv Tag: Pengembalian manual |
k Bot: seringkali → sering kali (bentuk baku) |
||
Baris 50:
Dalam masyarakat Sulawesi Selatan pra-kemerdekaan, aksara Lontara kerap digunakan dalam sejumlah tradisi teks yang berhubungan, sebagian besarnya dalam bentuk manuskrip atau naskah kertas. Istilah '''''lontara''''' (kadang dieja '''''lontaraq''''' atau '''''lontara'''''' untuk menandakan bunyi [[Konsonan letup celah-suara|hentian glotal]] di akhir) juga mengacu pada suatu genre sastra yang membahas sejarah dan silsilah, topik tulisan yang paling banyak dibuat dan dianggap penting oleh masyarakat [[Suku Bugis|Bugis]] dan [[Suku Makassar|Makassar]]. Genre ini bisa dibagi ke dalam beberapa sub-jenis: silsilah (''lontara' pangngoriseng''), catatan harian (''lontara' bilang''), dan catatan sejarah atau [[Kronik (sejarah)|kronik]] (''attoriolong'' dalam bahasa Bugis, ''patturioloang'' dalam bahasa Makassar). Tiap kerajaan Sulawesi Selatan umumnya memiliki catatan sejarah masing-masing yang disusun dari ketiga jenis genre di atas dalam konvensi gubahan tertentu.{{sfn|Tol|1996|pp=223–226}} Dibandingkan dengan catatan-catatan "sejarah" dari bagian Nusantara lainnya, catatan sejarah dalam tradisi sastra Sulawesi Selatan dianggap sebagai salah satu yang paling "realistis"; berbagai kejadian historis dijelaskan secara lugas dan masuk akal, sementara elemen legendaris relatif sedikit muncul dan selalu disertai dengan penanda seperti kata "konon" sehingga keseluruhan catatan terkesan faktual dan realistis.{{sfn|Cummings|2007|p=8}}{{sfn|Macknight|Paeni|Hadrawi|2020|pp=xi-xii}} Meskipun begitu, catatan sejarah seperti ''attoriolong'' Bugis dan ''patturiolong'' Makassar tidak terlepas dari fungsi politisnya sebagai salah satu alat pengesahan kekuasaan, keturunan, maupun klaim teritorial penguasa tertentu.{{sfn|Cummings|2007|p=11}}
Penggunaan catatan harian merupakan salah satu fenomena unik sastra Sulawesi Selatan yang tidak memiliki analogi serupa dalam tradisi tulis Indonesia lainnya.{{sfn|Tol|1996|pp=226–228}} Pengguna catatan harian umumnya orang dengan strata tinggi, seperti sultan, penguasa (Bugis: ''arung'', Makassar: ''karaeng''), atau perdana menteri (Bugis: ''tomarilaleng'', Makassar: ''tumailalang''). Buku harian semacam ini umumnya memiliki tabel yang telah dibagi-bagi menjadi baris dan tanggal, dan pada baris tanggal yang telah disediakan penulis akan membubuhkan catatan kejadian yang ia anggap penting pada tanggal tersebut. Seringkali banyak baris dibiarkan kosong, tetapi apabila satu hari memiliki banyak catatan maka
Salah satu sastra puitis yang umum ditemukan dalam naskah lontara adalah epos Bugis ''[[Sureq Galigo|I La Galigo]]'' ({{script|lont|ᨕᨗᨒᨁᨒᨗᨁᨚ}}, dikenal pula dengan nama ''Sure' La Galigo'' {{script|lont|ᨔᨘᨑᨛᨁᨒᨗᨁᨚ}}). Epos mengenai asal-usul masyarakat Bugis ini merupakan puisi berbait yang terdiri dari cuplikan berbagai protagonis di latar kerajaan mitologis pra-Islam bernama Luwu'. Meski terbagi ke dalam berbagai episode cerita yang merentang hingga beberapa generasi karakter, semua cuplikan saling menyambung dan cenderung konsisten dari segi isi dan bahasa sehingga semuanya membentuk satu kesatuan yang koheren. Apabila disatukan, keseluruhan ''I La Galigo'' dapat mencapai hingga 6000 halaman folio, menjadikannya salah satu karya sastra terpanjang di dunia.{{sfn|Tol|1996|pp=222–223}} Konvensi puitis dan alusi ''Galigo'' kemudian melahirkan pula genre puisi ''tolo''', yang menggabungkan kesejarahan genre ''lontara''' dengan bentuk puitis ''Galigo''.{{sfn|Tol|1996|pp=228–230}}
Aksara Lontara juga kerap ditemukan dalam teks-teks Islami yang mencakup namun tidak terbatas pada hikayat, panduan doa, azimat, tafsir, serta kitab hukum-hukum Islam.{{sfn|Tol|1996|p=223}} Naskah semacam ini hampir selalu ditulis dengan campuran [[abjad Jawi]] untuk istilah Arab atau Melayu. Jenis teks ini juga merupakan penggunaan aksara Lontara yang bertahan paling lama dan masih diproduksi (dalam jumlah yang terbatas) hingga awal abad 21 M. Salah satu lembaga yang kerap memproduksi materi beraksara Lontara di Indonesia pasca kemerdekaan adalah Pesantren As'adiyah di [[Sengkang]] yang mempublikasikan berbagai teks Islami dengan bahasa Bugis dan aksara Lontara cetak sejak pertengahan abad 20 M. Namun memasuki abad 21 M, kualitas cetakan dan jumlah publikasi beraksara Lontara di Sulawesi Selatan kian menurun; hampir tidak ada buku baru yang disusun dalam aksara Lontara dan bahkan buku lama yang beraksara Lontara
=== Penggunaan kontemporer ===
[[Berkas:Aksara_Lontara-10_Papan_tanda_museum_Balla_Lompoa.jpg|ka|240px|jmpl|Papan nama beraksara Lontara [[Museum Balla Lompoa]], [[Gowa]]]]
Dalam ranah kontemporer, aksara Lontara telah menjadi bagian dari pengajaran muatan lokal di Sulawesi Selatan sejak 1980-an dan dapat ditemukan pada papan nama tempat-tempat umum tertentu. Namun bukti-bukti [[anekdot]]al mensugestikan bahwa metode pengajaran kontemporer yang kaku dan materi bacaan yang terbatas justru berefek kontra-produktif dalam literasi masyarakat akan aksara Lontara. Generasi muda masyarakat Sulawesi Selatan umumnya hanya sadar akan adanya aksara Lontara dan mengenal beberapa huruf, tetapi jarang sekali ada yang mampu membaca dan menulisnya secara substansial. Kemampuan yang memadai untuk membaca dan menulis teks beraksara Lontara umumnya terbatas pada generasi tua yang kadang masih menghasilkan teks Lontara untuk tujuan pribadi.{{sfn|Jukes|2014|pp=16–17}}{{sfn|Macknight|2016|pp=66–68}} Salah satunya misal Daeng Rahman dari desa Boddia, [[Galesong, Takalar|Galesong]] (sekitar 15 km di selatan kota [[Makassar]]), yang sejak tahun 1990 menuliskan kejadian-kejadian yang terjadi di Galesong (sebagaimana genre kronik ''attoriolong/patturioloang'') dalam catatan beraksara Lontara yang pada tahun 2010 mencapai 12 buku.{{sfn|Jukes|2014|p=12}} Teks Lontara yang isinya tidak dapat dibaca oleh pemiliknya kadang dikeramatkan, meski substansi isinya
== Kerancuan ==
Aksara Lontara secara tradisional tidak memiliki diakritik untuk mematikan aksara atau cara lain untuk menuliskan suku kata tertutup meskipun bahasa [[bahasa Bugis|Bugis]] dan [[bahasa Makassar|Makassar]] yang kerap menggunakan aksara Lontara memiliki banyak kata dengan suku kata tertutup. Semisal, bunyi nasal akhir /-ŋ/ dan glotal /ʔ/ yang lumrah dalam bahasa Bugis sama sekali tidak ditulis dalam ejaan aksara Lontara, sehingga kata seperti ''sara'' (kesedihan), ''sara''' (menguasai), dan ''sarang'' (sarang) semuanya akan ditulis sebagai ''sara'' {{script|lont|ᨔᨑ}} dalam aksara Lontara. Dalam bahasa Makassar, tulisan {{script|lont|ᨅᨅ}} dapat merujuk pada enam kemungkinan kata: ''baba, baba', ba'ba, ba'ba', bamba,'' dan ''bambang''.{{sfn|Jukes|2014|p=6}}
Mengingat bahwa penulisan aksara Lontara tradisional juga tidak mengenal spasi antar kata atau pemenggalan teks yang konsisten, naskah beraksara Lontara kerap memiliki banyak kerancuan kata yang
Namun begitu, kadang konteks sekalipun tidak memadai untuk mengungkap cara baca kalimat yang rujukannya tidak diketahui oleh pembaca. Sebagai ilustrasi, Cummings dan Jukes memberikan contoh berbahasa [[bahasa Makassar|Makassar]] berikut untuk mengilustrasikan bagaimana penulisan Lontara dapat menghasilkan arti yang berbeda tergantung dari cara pembaca memenggal dan mengisi bagian yang rancu:
Baris 90:
|}
Tanpa mengetahui maksud atau kejadian nyata yang mungkin dirujuk oleh penulis, maka pembacaan yang "benar" dari kalimat di atas tidak mungkin ditentukan sendiri oleh pembaca umum. Pembaca paling mahir sekalipun kerap perlu berhenti sejenak untuk mengintepretasikan apa yang ia baca.{{sfn|Jukes|2014|p=6}} Karena
== Bentuk ==
Baris 186:
|}
Terdapat empat aksara yang merepresentasikan suku kata pra-nasal, yakni ''ngka'' {{script|lont|ᨃ}}, ''mpa'' {{script|lont|ᨇ}}, ''nra'' {{script|lont|ᨋ}}, dan ''nca'' {{script|lont|ᨏ}}. Keempat aksara ini tidak pernah digunakan dalam materi berbahasa Makassar dan merupakan salah satu ciri khas tulisan Bugis. Namun, dalam praktik penulisan tradisional Bugis-pun, keempat aksara ini
=== Diakritik ===
|