Perfilman Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Arwdita (bicara | kontrib)
Tag: menambah kata-kata yang berlebihan atau hiperbolis kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan VisualEditor
Baris 1:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De Menteng Bioscoop in Djakarta TMnr 60054768.jpg|jmpl|275px|[[Bioskop Metropole, Jakarta]] (sekitar 1950-1960)|al=]]
{{Budaya Indonesia}}
'''Perfilman Indonesia''' memiliki sejarah yang panjang. Proyeksi film indonesia pertama muncul pada masa kolonial, yang mana film-film tersebut terbatas hanya dapat ditonton oleh orang-orang Eropa dan sempatAmerika. Film ini pun kebanyakan adalah film dokumenter mengenai kehidupan warga lokal indonesia dan keindahan alam, selain itu film-film panjang banyak diimpor dari Prancis dan Amerika Serikat. Salah satu contoh film dokumenter yang tayang pada 1919 adalah ''Onze Oost'' atau ''Timur Milik Kita''. Sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, dekade tersebut merupakan puncak pencapaian dalam popularitas industri setelah periode Kemerdekaan, terutama ketika film Indonesia merajai [[bioskopBioskop|bioskop-bioskop]] lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, ''[[Catatan si Boy]]'', ''[[Blok M (film)|Blok M]]'' dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain [[Onky Alexander]], [[Meriam Bellina]], [[Lydia Kandou]], [[Nike Ardilla]], [[Paramitha Rusady]], [[Desy Ratnasari]].
 
Definisi film Indonesia pun menjadi pertimbangan penting bagaimana sebuah film dapat disebut beridentitas lokal atau Indonesia, Badan Perfilman Indonesia atau BPI merangkum definisi film indonesia sebagai film-film yang dibuat dengan sumberdaya Indonesia, dan keseluruhan atau sebagian Kekayaan Intelektualnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau Badan hukum Indonesia.
 
Pada tahun-tahun itu acara [[Festival Film Indonesia]] masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun [[1990-an|90-an]] yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari [[Hollywood]] dan [[Hong Kong]] telah merebut posisi tersebut.
Baris 10 ⟶ 12:
 
Selain film-film komersial itu juga ada banyak film film nonkomersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul ''[[Pasir Berbisik]]'' yang menampilkan [[Dian Sastrowardoyo]] dengan [[Christine Hakim]] dan [[Didi Petet]]. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh [[Christine Hakim]] seperti ''[[Daun di Atas Bantal]]'' yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film [[Garin Nugroho]] yang lainnya, seperti ''[[Aku Ingin Menciummu Sekali Saja]]'', juga ada film ''[[Marsinah (film)|Marsinah]]'' yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film film seperti ''[[Beth (film)|Beth]]'', ''[[Novel tanpa huruf R]]'', ''[[Kwaliteit 2]]'' yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. [[Festival Film Indonesia]] juga kembali diadakan pada tahun [[2004]] setelah vakum selama 12 tahun.
 
Jumlah penonton bioskop pun meningkat dengan lebih dari 42 juta penonton pada tahun 2017. Dengan jumlah layar berkitar pada 1700 layar di tahúr 2018, dan di perkirakan akan bertambah sampai dengan 3000 layar pada tahun 2020, sektor ini pun di dominasi oleh sejumlah grup besar, terutama 21 Cineplex, CGV Cinemas dan Cinemaxx.
 
Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film [[Hollywood]]. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat.
Baris 58 ⟶ 62:
Pada era ini muncul juga buku mengenai perfilman Indonesia yaitu '''Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia'' yang terbit pada tahun [[1992]] dan mengupas tahapan perfilman Indonesia hanya sampai periode [[1991]].
 
Pada masa inipun sinetron mulai mengisi jam-jam hiburan masyarakat. Dengan tajamnya tingkat penurunan produksi film nusantara, pembajakan karya audiovisual, dan kehadiran sinetron di stasiun Tv nasional memperburuk suasana industri perfilman dalam negeri. Meskipun begitu, tidak banyak pilihan yang dapat ditemukan oleh penonton tanah air saat itu. Dikarenakan juga oleh produksi film yang secara mayoritas adalah film-film dewasa yang bernuansa vulgar dan dinilai kurang mendidik secara moral, dan tidak sesuai dengan definisi film nasional Indonesia tayang secara bebas di bioskop kecil daerah, melalui media video, televisi dan/atau proyeksi publik.
=== Periode 1998 - sekarang ===
Era ini dianggap sebagai era kebangkitan perfilman nasional. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Film pertama yang muncul pada era ini adalah [[Cinta dalam Sepotong Roti]] karya [[Garin Nugroho]]. Setelah itu muncul [[Mira Lesmana]] dengan [[Petualangan Sherina]] dan [[Rudi Soedjarwo]] dengan [[Ada Apa dengan Cinta?]] (AADC) yang sukses di pasaran. Hingga saat ini jumlah produksi film Indonesia terus meningkat pesat meski masih didominasi oleh tema-tema film [[horor]] dan film [[remaja]]. Pada tahun [[2005]], hadir [[Blitzmegaplex]] di dua kota besar di Indonesia, [[Jakarta]] dan [[Bandung]]. Kehadiran bioskop dengan konsep baru ini mengakhiri dominasi Cineplex yang dimiliki oleh kelompok 21 yang selama bertahun-tahun mendominasi penayangan film.
 
Sinetron juga secara mayoritas di awal kehadirannya diproduksi oleh Multivision Plus yang didirikan oleh Raam Punjabi. Perusahaan film yang pada masa itu lebih banyak memproduksi sinetron untuk televisi.
==Bioskop==
 
=== Periode 1998 - sekarang2009 ===
Akhir tahun 1999 hanya ada sekitar tujuh film produksi dalam negeri yang tayang secara luas, keterpurukan ini dimulai sejak mundurnya produksi pada tahun 1996 dengan hasil tiga puluh tiga film yang dapat diproduksi dan terdata dalam sistem. Krisis ekonomi, kerusuhan berbau SARA (Suku, Ras, Agama, dan Antar Golongan) dan berakhirnya Orde Baru di penghujung tahun 1998 hampir mematikan industri perfilman indonesia secara keseluruhan.
 
EraMemasuki tahun 1999, era ini dianggap sebagai era kebangkitan perfilman nasional atau kelahiran baru setelah mati suri. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Film pertama yang muncul pada era ini adalah [[Cinta dalam Sepotong Roti]] karya [[Garin Nugroho]]. Setelah itu muncul [[Mira Lesmana]] dengan [[Petualangan Sherina]] dan [[Rudi Soedjarwo]] dengan [[Ada Apa dengan Cinta?]] (AADC) yang sukses di pasaran. Hingga saat ini jumlah produksi film Indonesia terus meningkat pesat meski masih didominasi oleh tema-tema film [[horor]] dan film [[remaja]]. Pada tahun [[2005]], hadir [[Blitzmegaplex]] di dua kota besar di Indonesia, [[Jakarta]] dan [[Bandung]]. Kehadiran bioskop dengan konsep baru ini mengakhiri dominasi Cineplex yang dimiliki oleh kelompokGroup 21 yang selama bertahun-tahun mendominasi penayangan film.
 
=== Periode 2010 - 2019 ===
Dalam kurun periode satu dekade terakhir perfilman Indonesia mengalami berbagai peningkatan sangat signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, tidak hanya dengan pembangunan ruangan bioskop baru di wilayah luar jawa, tetapi dalam industri dibalik layarpun kehadiran berbagai asosiasi yang mendukung produksi menjadi salah satu faktor penting. Di dalam negeri upaya pemerintah dalam mempromosikan film lokal dengan peraturan Undang-Undang Nomor 39 Perfilman pada tahun 2009 berimbas positif dalam perkembangan industri ini, dalam pasal 10 bagian 9 dijelaskan bahwa kegiatan perfilman dan pelaku usaha pertunjukan film wajib mengutamakan film Indonesia, dan mengutamakan penggunaan sumber daya dalam negeri secara optimal. Sedangkan di perjelas dalam pasal 12 bahwa pelaku usaha pertunjukan film dilarang mempertunjukan film hanya dari satu rumah produksi dan dalam pengedarannya dilarang impor film melebihi 50% (lima puluh persen) dari jam pertunjukannya selama enam bulan berturut-turut demi menghindari praktek monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.
 
Film Indonesia pun semakin marak hadir di festival-festival Internasional dan mulai menggandeng negara lain sebagai pendukung dalam distribusi dan produksi.
 
=== Periode 2020 - Sekarang ===
Pandemi COVID-19 di awal tahun 2020 melumpuhkan industri perfilman dalam dan luar negeri. Indonesia yang tidak luput dari pandemi sempat menjadi salah satu negara dengan tingkat infeksi tertinggi di dunia pada Juli 2021 dengan sekitar 44.721 kasus aktif, hal ini juga memaksa pemerintah untuk membuat keputusan Penegakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat, yaitu pembatasan berbagai kegiatan berkelompok salah satu imbasnya menyentuh pengusaha bioskop dan kegiatan pembuatan film untuk tutup atau tertunda untuk sementara secara nasional sejak pertengahan maret 2020.
 
Penutupan bioskop secara nasional menyentuh sekitar 68 bioskop, 387 layar yang tersebar di 33 kota dan 15 provinsi di Indonesia di periode awal pandemi demi keamanan staff dan penonton. Meskipun terbatas dengan kewajiban menjaga jarak dan kerja daring, pandemi tidak melumpuhkan kreativitas anak bangsa untuk menulis dan membuat film, dan pengusaha rumah produksi untuk tetap melanjutkan kegiatan profesional mereka melalui platform daring. Hal ini pun mengadaptasi mulai berkembangnya tren penonton daring dari platform Netflix dan mendorong industri lokal untuk meningkatkan mutu platform mereka, dan/atau bekerja sama dengan pihak channel televisi nasional untuk menghindari krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi.
 
Berbagai rumah produksi independen pun mulai ramai memproduksi film mereka dengan platform independen yang juga dapat diakses secara legal dan daring seperti Viddsee dan Vidio.com sebuah platform film dan series berbayar yang menayangkan tidak hanya film Indonesia tetapi juga film-film luar negeri.
 
==Pasar Film Nasional==
 
=== Bioskop ===
Tercatat [[bioskop]] pertama kali dioperasikan di Indonesia pada tahun 1926, berlokasi di Bandung dengan nama Bioskop Oriental dan Elita.<ref name = loetoeng>{{cite web
|title=Loetoeng Kasaroeng
Baris 87 ⟶ 111:
 
Beberapa jaringan bioskop lainnya beroperasi secara independen dan terbatas di wilayah tertentu, namun tidak menutup kemungkinan dapat berekspansi di luar wilayahnya seperti [[Platinum Cineplex]], [[New Star Cineplex]], [[KOTA Cinema Mall]], [[Dakota Cinema]], [[Movimax]], [[Golden Theater]], dan lain sebagainya.
 
=== Jumlah Penonton Nasional ===
Pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 34 tahun 2019 tentang Tata Edar, Pertunjukan, Ekspor dan Impor Film, pasal 17 menjelaskan perlunya pemberitahuan jumlah penonton suatu film secara berkala yang dibuat setiap akhir bulan melalui sistem pendataan Jumlah Penonton demi menyelenggarakan fungsi di bidang pengembangan perfilman. Pendataan dilakukan dengan sarana teknologi informasi dan komunikasi data perfilman yang  memuat jumlah perolehan penonton di setiap film yang masuk di bioskop nasional berdasarkan jam pertunjukan dan lokasi mendetail, inipun mencakup film lokal maupun film impor.
{| class="wikitable"
|Tahun
|Jumlah Penonton Nasional
|-
|2017
|39 135 910
|-
|2016
|34 088 298
|-
|2014
|15 657 406
|-
|2013
|12 716 790
|-
|2012
|18 887 258
|-
|2011
|15 565 132
|}
 
== Film Indonesia Terbaik ==
Baris 159 ⟶ 208:
Jumlah penonton ini tidak bisa diketahui dengan pasti mengingat produser film dan pihak eksebitor (bioskop) tidak mau mengungkapkan jumlah penonton sesungguhnya.{{fact}} Pihak bioskop melakukan pencatatan dan melaporkannya kepada produser film, tetapi mereka tak mau memberitahukannya kepada publik dengan alasan bahwa pengungkapan angka tersebut sepenuhnya adalah hak produser.{{fact}} Sedangkan produser cenderung untuk membesar-besarkan jumlah penonton mereka jika ditanya oleh media.{{fact}} Dicurigai, mereka menyembunyikan jumlah sesungguhnya dalam laporan mereka ke Dinas Pajak.{{fact}} Dengan demikian, pencatatan jumlah penonton film menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan dengan sempurna.{{fact}}
-->
 
 
 
 
Berbagai faktor juga dapat mempengaruhi bagaimana film dapat dikategorikan sebagai film Indonesia yang terkenal tidak hanya didalam tetapi juga diluar negeri, entah melalui kebangsaan sang sutradara, atau apresiasi yang didapatkannya melalui ajang festival film internasional. Berikut merupakan daftar film indonesia yang tidak hanya diputar di luar negeri tetapi juga mendapat apresiasi tinggi dimata kritik film secara internasional.
 
# ''Arisan !'' (2003) oleh Nia Dinata
# ''Merantau'' (2009) oleh Gareth Evans
# ''The Raid'' (2011) oleh Gareth Evans
# ''The Raid 2'' (2014) oleh Gareth Evans
# ''Ruma Maida'' (2009) oleh Teddy Soeriaatmadja
# ''Marlina : Pembunuh Dalam Empat Babak'' (2017) oleh Mouly Surya
 
== Referensi ==