Geguritan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 4:
Geguritan atau dalam hal ini puisi Jawa modern mulai muncul pada tahun 1929 di majalah ''[[Kajawen (majalah)|Kajawen]]'' dengan terbitnya tiga buah judul geguritan.<ref>Ras, J.J. (1985). Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir, diterjemahkan Hestri. Jakarta: Grafiti Pers.</ref> Pada tahun 1930–1940, terbit tujuh buah karya lainnya. Puisi Jawa modern sempat terhenti pada awal zaman pendudukan Jepang dan baru muncul kembali sesudah revolusi.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/48100094|title=Puisi Jawa struktur dan estetika|last=Saputra|first=Karsono H.|date=2001|publisher=Wedatama Widya Sastra|isbn=9799653010|edition=Cet. 1|location=Jakarta|oclc=48100094}}</ref> Puisi Jawa modern ini dipelopori oleh R. Intoyo dan Subagiyo Ilham Notodijoyo.<ref>{{Cite book|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/2681/|title=Telaah Kesusastraan Jawa Modern|last=Hutomo|first=Suripan Sadi|date=1975|publisher=Pusat Pengembangan Bahasa Departemen Kebudayaan Republik Indonesia|location=Jakarta}}</ref>
== Perbedaan ==
=== Geguritan di Jawa ===
Geguritan di daerah Jawa berkembang dari tembang, sehingga dikenal beberapa bentuk tembang yang berbeda-beda. Pada awalnya, tembang berwujud nyanyian dan memiliki sajak tertentu itu dibuat oleh para penyair untuk dipersembahkan kepada pemimpin yang berkuasa. Inilah yang menyebabkan karya sastra Jawa klasik berbentuk puisi tersebut bersifat anonim. Pada umumnya, penyair yang membuat tembang tidak ingin menonjolkan dirinya dan karyanya dianggap milik bersama.
Pengertian geguritan di Jawa kemudian berkembang dan memiliki sinonim puisi bebas, yaitu puisi yang tidak mengikatkan diri kepada aturan metrum, sajak, dan lagu. Sebagaimana disebutkan oleh Suyami dan para peneliti lain (2002) dalam buku ''Geguritan Tradisional dalam Sastra Jawa'', geguritan bahasa Jawa adalah karya sastra Jawa yang berjenis puisi. Puisi Jawa sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu puisi Jawa tradisional dan puisi Jawa modern.
Puisi Jawa tradisional yang berbentuk tembang mempunyai jenis yang cukup banyak dan dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu puisi tembang ''macapat'', puisi tembang ''tengahan'', dan puisi tembang ''gedhe''. Puisi Jawa tradisional dapat berupa ''parikan'', ''guritan'', ''singir'', dan ''tembang dolanan.''
Sementara itu, puisi Jawa modern dapat berupa puisi bebas, yaitu puisi yang tidak terikat oleh norma-norma ketat seperti yang dijumpai dalam puisi Jawa tradisional, seperti tembang atau kidung.
Andriani (2018) turut memperjelas jika geguritan merupakan salah satu jenis karya sastra berbentuk puisi Jawa modern yang berisi ungkapan perasaan dan pikiran penyair, yang bersifat imajinatif dan tersusun dengan adanya unsur pembangun, serta tidak terikat oleh aturan seperti guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan.
Kata "geguritan" dalam Kamus Baoesastra Jawi (1939) berasal dari kata ''gurit'' dan ''guritan. Gurit'' berarti "tulisan" atau "kidung", sedangkan ''guritan ya iku tembang (uran-uran) mung awujud purwakanthi'' (guritan adalah tembang yang berwujud purwakanti).
Selanjutnya, Kamus Umum Indonesia (2006) terbitan Balai Pustaka menjelaskan bahwa geguritan berasal dari kata ''gurit,'' yang artinya adalah "sajak" atau "syair”. Adapun Kamus Kawi Indonesia (1986) mengungkapkan jika "gurit artinya goresan, dituliskan”.
Seiring berjalannya waktu dan selera masyarakat, geguritan atau puisi Jawa yang berkembang pada saat ini lebih bersifat bebas, memiliki tipografi yang bebas, menggunakan bahasa Jawa yang berkembang saat ini, tidak terikat kepada pupuh-pupuh dan aturan purwakanti, serta tidak bersifat anonim.
Dengan demikian, pengertian geguritan hampir sama dengan pengertian puisi, yang membedakannya adalah bahasa yang digunakan menggunakan bahasa Jawa.
Pakar sastra Jawa, Hadiwijaya (1967), menjelaskan arti dari geguritan berikut ini.
''"Geguritan ya iku golongane sastra edi (puisi) cengkok anyar, wedharing rasa edi, kelair basa kang laras runtut karo edining rasa, nanging ora usah kecancang ing patokan-patokan, wilangan dhong-dhing kang tetep tinamtu, beda banget karo sipating tembang macapat lan sapanunggalane''".
“Geguritan adalah golongan sastra yang indah (puisi) Jawa cara baru yang mengungkapkan perasaan senang, ungkapan bahasa yang sesuai dengan keindahan rasa, tetapi tidak berpedoman kepada aturan guru gatra, guru wilangan dan guru lagu tertentu, berbeda dengan sifat tembang macapat dan lain sebagainya”.
Subalidinata (1999) turut menambahkan penjelasan dari geguritan berikut ini.
"''Geguritan ya iku iketaning basa kang memper syair, mula ana sing ngarani syair Jawa gagrag anyar''".
“Geguritan adalah susunan bahasa seperti syair, sehingga ada yang menyatakan syair Jawa cara baru”.
Berdasarkan pengertian-pengertian itu, geguritan secara umum berarti susunan bahasa seperti syair yang termasuk golongan puisi Jawa baru, yang berisi pengungkapan perasaan penyair secara objektif dan merujuk kepada pengalaman estetis, serta tidak terikat oleh aturan kebahasaan.
Geguritan atau dalam hal ini puisi Jawa modern sebagaimana penjelasan di atas mulai muncul pada 1929 di Majalah Kajawen. Selain itu, kemunculannya juga dapat dilihat di Majalah Panjebar Semangat dalam rubrik "Taman Geguritan". Karya sastra ini sempat terhenti pada awal pendudukan Jepang dan baru muncul kembali sesudah revolusi, yang dipelopori oleh R. Intoyo dan Subagiyo Ilham Notodijoyo.
Geguritan dalam dunia sastra menunjukan bahwa kesusastraan Jawa sampai sekarang belum mati.
=== Geguritan di Bali ===
Karya sastra ini juga berkembang di wilayah Bali dan juga dikenal dengan nama geguritan. Geguritan di Bali umumnya menggunakan tembang macapat dalam rangkaian ceritanya. Tembang macapat yang dikenal luas oleh masyarakat Bali meliputi pupuh ''mijil'', ''pucung'', ''kumambang'', ''ginanti'', ''ginada'', ''semarandana'', ''sinom'', ''durma'', ''pangkur'', dan ''dangdanggula''.
Setiap pupuh itu memiliki fungsi tersendiri, sebagaimana penjelasan berikut.
# ''Mijil'', wataknya melahirkan perasaan, sehingga sesuai untuk menguraikan nasihat, tetapi dapat juga diubah untuk seseorang yang dimabuk asmara;
# ''Pucung'', wataknya kendur, tanpa perasaan yang memuncak, sehingga sesuai untuk cerita yang seenaknya atau tanpa kesungguhan, tetapi dapat juga digunakan untuk melahirkan suatu ajaran;
# ''Kumambang'', wataknya sedih merana, sehingga sesuai untuk melahirkan perasaan sedih, hati yang merana, dan menangis;
# ''Ginada'', wataknya melukiskan kesedihan, merana, dan kecewa;
# ''Ginati'', wataknya melukiskan kesenangan dan cinta kasih, sehingga sesuai untuk menguraikan suatu ajaran, filsafat, cerita yang bersuasana asmara, dan keadaan mabuk asmara;
# ''Semarandana'', wataknya memikat hati dan sedih karena asmara;
# ''Sinom'', wataknya ramah tamah dan meresap, sehingga sesuai untuk menyampaikan amanat, nasihat, atau bercakap-cakap secara bersahabat;
# ''Durma'', wataknya keras dan bengis, sehingga sesuai untuk melukiskan perasaan marah, cerita perang, dan pertentangan;
# ''Pangkur'', wataknya perasaan memuncak, sehingga sesuai untuk cerita yang bersungguh-sungguh dan jika mabuk asmara sampai puncaknya;
# ''Dangdanggula'', wataknya halus dan lemas, sehingga sesuai untuk melahirkan suatu ajaran, saling menyayangi, dan menutup suatu karangan.
Setiap pupuh itu diikat oleh persayaratan tertentu yang disebut dengan istilah ''pada'' ''lingsa''. ''Pada lingsa'' dalam setiap pupuh meliputi hal-hal berikut.
# Banyaknya baris di tiap-tiap bait;
# Banyaknya suku kata di tiap-tiap baris dalam suatu bait yang sudah ditentukan, yang disebut dengan ''guru wilangan'';
# Suara dalam suku kata di tiap baris yang sudah ditentukan, yang disebut dengan ''guru suara'';
# Pemotongan atas baris-barisnya, biasanya diambil empat-empat ketika bernyanyi.
Pada paruh kedua abad ke-20, banyak sekali dihasilkan puisi dalam bentuk "matra-matra kecil" di wilayah Bali yang disebut dengan geguritan. Perbedaan antara peparikan atau parikan dengan geguritan tidak selalu tegas. Geguritan seharusnya adalah puisi yang didasarkan dari cerita yang direka oleh pengarang itu sendiri.
Jika cerita yang diangkat oleh penulis diambil dari salah satu karya klasik (parwa atau kakawin), geguritan yang dibuat seharusnya hanya mengambil satu tema atau satu adegan saja, bukan saduran atau terjemahan atas seluruh cerita.
Beberapa geguritan yang berasal dari parwa adalah Geguritan Adiparwa, Geguritan Pamuteran Madara Giri (Kisah Berputarnya Samudra dari Adiparwa), Geguritan Sarpayajnya, Geguritan Wirataparwa, Geguritan Mahabharata, Geguritan Anggastya (Parwa).
Adapun geguritan yang didasarkan dari kakawin adalah Geguritan Arjunamatapa (sebuah episode dari Kakawin Arjunawiwaha), Geguritan Arjunawiwaha, Geguritan Arjuna Sahasrabahu, Geguritan Bharatayuddha, Geguritan Salya (mengikuti Kakawin Senapati Salya), Geguritan Kunjarakarna, Geguritan Sutasoma, Geguritan Lubdaka (disusun oleh Jro Gde Sukanata dari Singaraja tahun 1985), Geguritan Wedantawiwaha (mengikuti Kakawin Wedanta Wiwaha), Geguritan Kicaka (episode kijang mas dari Ramayana), dan Geguritan Uttarakanda.
Geguritan yang didasarkan dari Kidung Tantri atau Tantri Kamandaka dalam bentuk prosa adalah Geguritan Dyah Tantri (disusun oleh I Made Pasek), Geguritan Gending Tantri, Tantri Gunawati, Tantri Kamandaka, dan Geguritan Sri Eswaryadala.
Ada juga satu versi geguritan dari Kidung Pisacarana (disusun oleh Ida Pedanda Made Sidemen tahun 1948) yang disebut Geguritan Pisaca. Kidung Malat di sisi lain menjadi sumber dari Geguritan Tratebang, Geguritan Mantri Koripan (disusun di Karangasem atau Lombok), Geguritan Prabhu Koripan, Geguritan Randen Mantri, Geguritan Candra Kirana, Geguritan Madura Kling, Geguritan Panji Semirang, Geguritan Panji Malat Rasmi, Geguritan Waseng Smara, dan Geguritan Mantri Jawa (masing-masing berkenaan dengan satu episode dari berbagai versi Kidung Malat).
Banyak silsilah dalam bentuk prosa (babad) yang juga disadur dari bahasa Jawa Kuno ke dalam puisi-puisi berbahasa Bali. Contohnya adalah Geguritan Babad Pulasari, Babad Selaparang, Geguritan Babad Mengwi (disusun oleh Dalang Mendra), Geguritan Babad Pura Dalem Abyantubnuh (disisun oleh seorang brahmana dari Lombok), Geguritan Balirajya, Geguritan Rajapurana, Geguritan Ken Angrok, dan Geguritan Lawe.
Sastra sasana dalam bahasa Bali, yang dahulu hanya diperuntukkan bagi wangsa-wangsa tertinggi juga dialihkan ke bahasa Bali dalam bentuk geguritan. Sebuah Geguritan Canakya Nitisastra disusun oleh I Gusti Gde Bilih pada 1996 berdasarkan sebuah terjemahan Indonesia dari teks Sanskertanya.
Contoh lainnya adalah Geguritan Dharmasasana, Geguritan Putrasasana (disusun oleh I Ketut Rama tahun 1995), Geguritan Resi Sasana, Geguritan Suta Sasana, Geguritan Stri Sasana, berbagai teks mengenai horoskop hari baik dan buruk, dan lain sebagainya (Geguritan Dina, Geguritan Dewasa, Geguritan Wariga, dan Geguritan Prembon).
== Contoh Geguritan bahasa Jawa Tema Kehidupan ==
Berikut contoh geguritan dalam bahasa Jawa dengan tema kehidupan atau lingkungan sekitar, yang diambil dari buku ''Antologi Geguritan Kidung Karangkitri'' terbitan Dinas Kebudayaan daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2020.
=== Palaran Tegalrejo ===
Oleh: Indra Tranggono
''Nalika ngambah jobin pendhapa Tegalreja''
''Mripatku weruh jubah putih kumlebet kebak wibawa''
''Sang Pangeran jumeneng tanpa kedheping netra''
''Sereng, mencereng gawe getering nala''
''Bangsa penjajah wus salin rupa''
''Sang Pangeran tansah siyaga''
''Ngupaya tetep ngregem ajining dhiri''
''Tan lena ditlikung raseksa nggegirisi''
''Gamelan ing pendhapa talu''
''Ngregem piyandeling Sang Pangeran''
''Tembang palaran keprungu''
''Ngiring brantayuda netepi sedya''
''Sang Pangeran nyekar''
''Kumandhang kanthi swara gandhang''
''Netra tansah sumunar''
''Adeg-adeg dhiri dadi cagaking tumandang''
''"Perang ora mung rebutan bandha donya''
''Nanging uga sirah lan atining bangsa''
''Bokor emas kebak kidung kaslametan''
''Kudu dijaga saka amuking asu ajak manca negara"''
''Sang Pangeran ora wedi pralaya''
''Ora gigrig dipegat nikmat bandha donya''
''Tansah nyawiji, greget sengguh ora mingkuh''
''Nundhung angkara murka kang wengkis lan angkuh''
''Tembang palaran tansah kumandhang''
''Njebol wuwungan pendhapa, nyebar pepadhang''
''Langit geter!''
''Rasa wedi lan mindher dadi lumer''
(Ngayogyakarta, Februari 2020)
=== Layang Kanggo Emak ===
Oleh: Dandung Adityo
''Mak, sliramu anyeksèni kridhaning aji kabudayan manungsa Jawi''
''tansah uga cinathet sesuluh hamemayu hayune nagara iki''
''wiwit saka jaman Kartini''
''kenceng ancas ing nguni:''
''sluman-slumun yasa dadi ramu''
''lembah manah tansah dadi sangu''
''“Aja ketungkul marang kalungguhan, kadonyan, lan kamareman''
''aja gumunan, aja getunan, aja kagètan, aja aleman''
''aja pisan-pisan gumun angadhepi mompyoré jaman iki''
''aja getun jroning panemu kang becik''
''aja kagèt kabèh iku mung pethingan''
''aja aleman ginayuh nyandhak sesawangan kekarepan”''
''Mak, senajan aku wong dhusun''
''wiwit cilik tansah nelangsa lan getun''
''pakaryanku mung tandur karo matun''
''nanging ora kendhat anggonku dikon kèri''
''sabab akèh sawan manis sing tansah mbebayani''
''Mak, najan pangkat luwih cilik, urip butuh diajèni''
''sing kudu kasinau, bab bakuné kadewasan dhiri''
''dadia wong kang piguna''
''rawé-rawé pait getirira dèn rantasi''
''ngadeg jejeg ora pijer miyar-miyur''
''sarwa ndedonga kabèh kagungane Ingkang Maha Widhi''
''Mak, sembah sujud tambahing pangèstu''
''aku amung saderma''
''ora nékad mring kang ala''
''kabèh iku merga ati rinasa prungsang''
''laras pénak lamun suci''
''kanggo pathokan gesang''
''tata tentrem lair kalawan batin''
(Bantul, Maret 2019)
=== Carita Wayang ===
Oleh: Eko Wahyu Nugroho
''Sapa kandha wayang kuwi kuna?''
''Yen durung ngerti lakuning crita''
''Wiwit jejer tekaning paripurna''
''Dudu amung rikala gara-gara''
''Rentep-rentep piwulang kagambarna''
''Tindak-tanduk uga tata krama''
''Kang bisa tansah ngrembaka''
''Saka isining carita kang kababar''
''Kababar pitutur suci tumrap dhiri''
''Dhiri kang tansah nguri-uri''
''Nguri-uri kabudayan Jawa suci''
''Miguna mring nagari''
(Ngayogyakarta, Februari 2020)
=== Ngejaman ===
Oleh: Purwadmadi
''Jam''
''gumingsiré kala''
''dhedhongkèl mangsa lumuh cidra''
''sengkala tidha ngresepi dina''
''Jam''
''panjiret lena''
''wanciné lingsir sakèhing langsir''
''pasang brahala rakit walat cintraka''
''gèsèh gesahing lampah Sang Murwakala''
''Ngejaman seksi jaman''
''Yogya kang gumléwang ngetus ampas panandhang''
''kangslupan watak sabrang''
''awak-awak adus tirta sumuk sumeng angleng rata''
''nitik laku lampah cidra''
(Ngayogyakarta, Februari 2020)
=== Wewayangan ===
Oleh: Supriyadi
''Panguripanmu wus ginurit''
''Ing gelare kelir jagad gumelar''
''Surya pinangka blenconge''
''Bumi pinangka deboge''
''Lelakonmu dadi gancare carita''
''Kang sinanggit Kang Murba Kawasa''
''Binabar ing pangucap lan polah tingkah''
''Tangis lan guyu gegen hingane''
''Banjur kapan babare lelakon''
''Sawangen polahe kayon''
''Jejeg miring mirong ngetan mangulon''
''Sabdane Hyang Manon humiring gen hing sabda kun''
''Ginarebeg pra widadara widadari''
''Mungkasi lakon sawengi iki''
(Dlingo, 13 Februari 2020)
== Catatan kaki ==
|