Sitti Nurbaya: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rahmatdenas (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 23:
| followed_by =
}}
'''''Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai''''' (sering disingkat '''''Sitti Nurbaya''''' atau '''''Siti Nurbaya'''''; [[Ejaan Republik]] '''''Sitti Noerbaja'''''; {{lang-ms|'''Siti Nurbaya'''}}; [[Abjad Jawi|Jawi]]: سيتي نوربايا) adalah sebuah [[Sastra Indonesia|novel Indonesia]] yang ditulis oleh [[Marah Rusli]]. Novel ini diterbitkan oleh [[Balai Pustaka]], penerbit nasional negeri [[Hindia Belanda]], pada
''Sitti Nurbaya'' menceritakan cinta remaja antara Samsulbahri dan Sitti Nurbaya, yang hendak menjalin cinta tetapi terpisah ketika Samsu terpaksa pergi ke [[Jakarta|Batavia]] untuk melanjutkan pendidikan. Belum lama kemudian, Nurbaya menawarkan diri untuk menikah dengan Datuk Meringgih (yang kaya tetapi kasar) sebagai cara untuk ayahnya hidup bebas dari utang; Nurbaya kemudian dibunuh oleh Meringgih. Pada akhir cerita Samsu, yang menjadi anggota [[Koninklijk Nederlands-Indische Leger|tentara kolonial Belanda]], membunuh Meringgih dalam suatu revolusi lalu meninggal akibat lukanya.
Ditulis dalam [[bahasa Melayu]] yang baku dan
== Penulisan ==
Baris 74:
== Penerimaan ==
Keluarga Rusli tidak menerima novel ''Sitti Nurbaya'' dengan baik.
Sampai setidaknya tahun 1930, ''Sitti Nurbaya'' merupakan salah satu karya Balai Pustaka yang paling populer, sering dipinjam dari perpustakaan. Setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|kemerdekaan Indonesia]], ''Sitti Nurbaya'' diajarkan sebagai salah satu karya sastra Indonesia yang klasik; ini menyebabkan novel ini "lebih sering dibaca dalam bentuk sinopsis daripada teks asli oleh berbagai generasi siswa SMA".{{sfn|Foulcher|2002|pp=88–89}} Sampai tahun 2008, buku ini sudah dicetak ulang 44 kali.{{sfn|Rusli|2008|p=iv}}
''Sitti Nurbaya'' sering dianggap salah satu karya sastra Indonesia yang paling penting
Teeuw menulis bahwa pesan moral dan sentimentalitas dalam ''Sitti Nurbaya'' terlalu berlebihan, seperti dalam ''Azab dan Sengsara''. Namun, dia beranggapan bahwa alur ''Sitti Nurbaya'' lebih menarik untuk pembaca dari latar belakang Barat daripada karya [[Merari Siregar]] itu.{{sfn|Teeuw|1980|p=87}} Menurut Siregar, Rusli bertindak sebagai dalang dalam novel ini, sehingga tokoh kadang-kadang dikesampingkan supaya penulis dapat menyatakan sesuatu secara langsung kepada pembaca. Dia juga beranggapan bahwa alur terasa dipaksakan, seakan penulis menghalangi aliran cerita.{{sfn|Siregar|1964|p=52}} Dia juga beranggapan bahwa Rusli telah menjadi juru bicara pemerintah kolonial, sebab Samsu, tokoh protagonis, menjadi prajurit Belanda dan Meringgih, tokoh antagonis, pemimpin kaum revolusioner; dia juga menyalahkan antipati Rusli terhadap agama [[Islam]] dalam novel.{{sfn|Siregar|1964|p=48}}
|