Nasi uduk: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 27:
Menurut [[Babad Tanah Jawi]], sultan [[Mataram]] gemar makan "nasi Arab", yang mungkin merujuk pada berbagai jenis pilaf atau nasi bergaya Arab. Hidangan nasi dari arab sering disebut [[nasi kebuli]] (populer di kalangan keturunan Arab di Indonesia) atau [[nasi biryani]] (hidangan Muslim India). Kedua hidangan tersebut paling umum dikenal di kalangan Muslim Jawa pada saat itu. Sultan Agung kemudian memutuskan untuk membuat "hidangan Arab" versi lokal, menggunakan bahan-bahan lokal. Ia melakukan ini antara lain untuk mengurangi pengeluaran negara (biaya untuk membeli bahan-bahan impor untuk membuat masakan nasi khas arab sangat tinggi) dan untuk meningkatkan kebanggaan lokal.<ref name=":3" />
Tak lama kemudian, ''sega uduk'' menjadi bagian dari "syarat" dalam upacara "terima kasih" adat Jawa, yang sering disebut ''banca'an'' (bancakan) atau ''slametan''.
Nasi uduk diperkenalkan ke [[Batavia]] oleh para pendatang dari Jawa pada tahun 1628, dan kemudian menjadi hidangan populer di Batavia.<ref name=":0" /> Orang Betawi yang menjual masakan ini akan sering menambahkan sentuhan Betawi dengan menambahkan [[semur jengkol]]. Nasi uduk juga populer di kalangan diaspora Jawa di [[Suriname]] dan [[Belanda]]. Dalam [[bahasa Belanda]] nasi uduk disebut ''rijst vermengd met onrust van de liefde'' (disingkat ''jaloerse rijst'').{{fact}}
|