Eyang Djugo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rescuing 5 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8.7 |
|||
Baris 23:
Eyang Djugo dikatakan pernah menjadi penasihat spiritual dan pengawal [[Pangeran Diponegoro]].<ref name=":4" /> Setelah kekalahan dan pengasingan Pangeran Diponegoro ke Manado pada tahun 1830, ia dikabarkan melepas atribut kebangsawanannya dan pergi mengembara.<ref name=":2" />
Eyang Djugo mengembara dari [[Yogyakarta]], menuju [[Sleman]], [[Kabupaten Nganjuk|Nganjuk]], [[Kabupaten Bojonegoro|Bojonegoro]], dan berujung di [[Kota Blitar|Blitar]]. Di kota Blitar, ia terkejut dengan keberadaan kadipaten Belanda dan merasa masih terlalu dekat. Ia berpindah 60 km ke desa Sonan di kecamatan Kesamben, di tepi [[Sungai Brantas]].<ref>Suwachman, dkk. (1993) dalam Drs. Tashadi, dkk. (1993), hlm. 18–19.</ref> Sumber lain mengatakan rutenya adalah [[Kabupaten Pati|Pati]], [[Bagelen, Purworejo|Begelen]], [[Kabupaten Tuban|Tuban]], kemudian berakhir di [[Kepanjen, Malang|Kepanjen]], [[Kabupaten Malang|Malang]] dan berlanjut ke [[Kesamben, Blitar]].<ref name=":1">{{Cite web|title=Pesarehan Gunung Kawi|url=http://gunungkawi.synthasite.com/sejarah.php|website=gunungkawi.synthasite.com|archive-url=https://archive.
Setelah beberapa tahun tiba di Kesamben, Eyang Djugo kemudian didatangi oleh murid dan putra angkatnya, [[Raden Mas Iman Soedjono]] (Eyang Sudjo). Eyang Sudjo juga turut mengembara setelah pembuangan Pangeran Diponegoro dan berujung di desa tempat Eyang Djugo tinggal.<ref name=":1" />
Versi lain dari cerita ini mengatakan bahwa beliau merupakan punggawa di bawah [[Hong Xiuquan]] (1813–1864), pimpinan [[Pemberontakan Taiping]] di [[Dinasti Qing]]. Setelah pemberontakan berakhir, ia hidup menyepi sebagai [[Rahib|petapa]] di [[Gunung Kawi]] dan mendapatkan sejumlah murid Jawa. Pada versi ini, dikatakan bahwa Eyang Djugo wafat pada tahun 1879.<ref name=":5">{{Cite web|title=Mbah Djugo|url=http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/post/mbah-djugo?lang=id|website=encyclopedia.jakarta-tourism.go.id|archive-url=https://archive.
=== Kemunculan di Desa Jugo dan asal-usul nama ''Djugo'' ===
Baris 39:
Di Kesamben, ia bersama dengan Eyang Sudjo tinggal dan mendakwahkan Islam, ajaran moral, cara bercocok tanam, pengobatan, serta keterampilan lain.
Dari penceritaan Im Yang Tju,<ref>{{Cite web|last=Arif|first=Solichan|date=2021-08-14|title=Cerita Mbah Djugo, Tabib Sakti yang Jinakkan Wabah Kolera di Tanah Jawa|url=https://nasional.okezone.com/read/2021/08/13/337/2455382/cerita-mbah-djugo-tabib-sakti-yang-jinakkan-wabah-kolera-di-tanah-jawa|website=Okezone Nasional|language=id-ID|archive-url=https://archive.
Menurut penceritaan lain yaitu Drs. Tashadi yang menulis dalam ''Budaya Spiritual dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur'' terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1994, penyakit yang disembuhkan adalah "wabah penyakit hewan di desa Sonan" pada tahun 1860. Tidak dituliskan secara khusus wabah penyakit yang disembuhkan.<ref name=":6">Drs. Tashadi dkk (1994), hlm. 19.</ref>
Tan Kie Lam, seorang murid Eyang Djugo, pernah sakit. Oleh Eyang Sudjo, ia kemudian dimandikan dengan guci peninggalan Eyang Djugo. Sakitnya sembuh dan ia pun menjadi murid di padepokan Eyang Sudjo dan tinggal di Gunung Kawi. Merasa ingin mengikuti ritual Tionghoa untuk menghormati kedua guru besar tersebut, ia kemudian membangun klenteng di dekat padepokan.<ref name=":7">{{Cite web|last=Said|first=SM|date=2015-05-25|title=Gunung Kawi, Pusat Klenik Jawa-China|url=https://daerah.sindonews.com/berita/1004593/29/gunung-kawi-pusat-klenik-jawa-china|website=SINDOnews|language=id-ID|archive-url=https://archive.
=== Pendirian padepokan dan pesarean ===
Baris 55:
Eyang Djugo wafat di Gunung Kawi, pada malam Senin Pahing, 22 Januari 1871.<ref name=":6" /> Sumber lain mengatakan beliau meninggal pada tahun 1879 dan pernah menggali liang lahatnya sendiri di tahun 1872.<ref name=":3" />
Lokasi pengebumian Eyang Djugo diadakan sesuai wasiatnya, di tempat yang kini menjadi pesarean (makam) Gunung Kawi. Perjalanan dari desa padepokan Eyang Djugo ke tempat tersebut memakan waktu tiga hari. Pada malam Jumat Legi, Eyang Sudjo yang memimpin prosesi pemakaman dan upacara pengebumian pun mengadakan [[tahlilan]] akbar.<ref name=":8">{{Cite web|last=Herwiratno|first=Martinus|date=2012-08-27|title=Eyang Djoego dan Eyang RM Iman Soedjono : Dua bangsawan Jawa yang Dihormati Masyarakat Tionghoa.|url=http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2299-eyang-djoego-dan-eyang-rm-iman-soedjono--dua-bangsawan-jawa-yang-dihormati-masyarakat-tionghoa|website=Budaya-Tionghoa|language=id-ID|archive-url=https://archive.
Eyang Sudjo wafat tidak lama kemudian, pada hari Rabu Kliwon tanggal 12 Suro pada tahun 1836 Masehi. Mereka dimakamkan dalam satu liang lahat di Pesarean Gunung Kawi.<ref name=":8" /><ref>Sulistyorini (2021), hlm. 29.</ref>
|