Anis bin Alwi al-Habsyi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Ya Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 1:
Peran Habib Anis bin Alwi al Habsyi Peneguh Thariqah Alawiyin di Surakarta Oleh: Aji Setiawan ajisetiawanst@gmail.com Cipawon 6/1, Bukateja Purbalingga-Jawa Tengah 53382 ABSTRAKSI Peranan Habib Anis bin Alwi al Habsyi dalam dakwah Islam di tengah gempuran pembaharuan Islam di Surakarta pada tahun 1953 hingga 2006. Permasalahan utama penelitian ini adalah ajaran Habib Anis bin Alwi al Habsyi dalam melestarikan ajaran Islam di Surakarta pada tahun 1953 hingga 2006. Pertanyaan pokok studi ini adalah bagaimana ajaran Habib Anis bin Alwi al Habsyi, serta peran dan pengaruhnya terhadap masyarakat luas, khususnya masyarakat Surakarta. Jawaban atas pertanyaan dikaji dari sumber primer dan skunder seperti sumber lisan, surat kabar, dan beberapa referensi yang relevan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kegiatan Habib Anis selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid Simthud
Ayah Habib Anis yakni Habib Alwi bin Ali bin Muhammad bin Husein bin Abdullah bin Syekh bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Ahmad Shahib Syi’ib bin Muhammad Ash-Shoghir bin Alwy bin Abu Bakar Al-Habsy bin Ali-Al-Faqih bin Ahmad bin Muhammad Assadullah bin Hasan At-Turabi bin Ali bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqadam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali Qasam bin Alwy bin Muhammad bin Alwy Ba’Alawy bin Ubaidullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husein As-Sibthi bin Amirul mukminin Ali Abi Thalib ibin Sayidatina Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW.
Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf, setahun kemudian lahirlah Habib Ali.
Baris 6:
Problem masalah (problem statement) dari penelitian ini adalah karena menulis orang yang sudah wafat atau dari sumber primer yang bersangkutan. Namun lewat kesaksian kerabat, murid dan orang terdekat almarhum, sosok habib Anis sebagai tokoh penggerak Sadah Alawiyin, khususnya Solo Raya, problem itu mudah teratasi. Maka fokus Penelitian ini adalah sebagaimana menulis manakib, mencari data dari awal lahir, masa muda, awal berkiprah sampai peran-peran strategis dan akhir hayat dari Habib Anis al Habsyi.
Ada banyak pertanyaan siapa sesungguhnya Habib Anis al Habsyi, Guru Spiritualnya? Jaringan relasi keagamaan tingkat lokal, nasional dan internasional yang dibangun?
Pada Sewaktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios di pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Ali adik beliau. Namun ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha perdagangan batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama dan Habib Anis adalah Peneguh Tarekat Alawiyyin di Solo Raya.
Kemunculan Tharīqah Alawiyyin di dalam dunia Islam, tidak bisa dilepaskan dari kemunculan terminologi-terminologi tasawuf dan kaum sufi itu sendiri. Jika memakai tipologi fikih, maka Tharīqah adalah mazhab-mazhab dari ajaran tasawuf yang merupakan pengejawantahan dari salah satu rukun agama yaitu Ihsan. Dalam sejarah perkembangan Islam, tasawuf dan tarekat mengalami pasang surut. Sebagai bagian dari pelaksanaan syariat, sebenarnya tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW, dilanjutkan pada masa sahabat, kemudian berkembang sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad ke-2 H, lewat tokoh-tokoh seperti Hasan al-Bashri, Sofyan al-Tsauri, Junaedi al-Baghdadi, Abu Yazid al-Busthami dan sebagainya. Meski dalam perjaalannya tasawuf juga tak lepas dari kritikan para ulama ahli fikih,
Tarekat atau tharīqah sendiri yang merupakan mazhab-mazhab dalam tasawuf adalah sebuah metode yang dikembangkan oleh para ulama dalam menempuh jalan spiritualitas menuju Allah SWT. Kata tarekat dan
Akibat lebih berorientasi kepada tujuan-tujuan spiritual, tarekat juga seringkali menjadi kambing hitam dari kemunduran dialektika sosial di kalangan umat Islam. Para pengamal sufi, seringkali lebih asik bercengkrama dengan amalan-amalan seperti sujud, zikir, hidup di kesunyian dan jauh dari hingar bingar matrealistik sehingga tidak jarang malah meniadakan dialektika serta peran sosial
Seorang muslim wajib menempuh jalan spiritualitas, namun bukan berarti dia harus masuk ke dalam sebuah institusi tarekat. Tarekat hanyalah sebuah metode dalam bertasawuf, itu berarti bahwa seseorang bisa saja sudah dikatakan mengamalkan tasawuf walaupun tanpa mengamalkan tarekat tertentu. Dari hal inilah kemudian para sarjana ada yang membedakan antara istilah tharīqah dan tarekat; Tharīqah merupakan metode spiritualitas, tarekat lebih kepada pelembagaan secara rigid dari metode itu sendiri.
Dalam penelitian ini, secara operasional, penulis merasa perlu membedakan antara istilah tarekat dan tharīqah saat menjelaskan ‘Alawiyyah.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan karakter antara Tharīqah ‘Alawiyyah yang berbeda dengan tarekat kebanyakan. Beberapa karakter yang menonjol dari tharīqah ini adalah: Pertama, tharīqah ini tidak mengharuskan talqin atau baiat bagi murid baru, sehingga siapa pun dapat langsung mengamalkan tarekat ini tanpa harus berguru kepada mursyid. Kedua, selain berintikan keharusan menghiasi diri dengan akhlak mulia, tarekat ini menekankan amalan yang tergolong cukup ringan, yakni berupa himpunan wirid dan dzikir yang dikenal dengan wirdu al-Latfhīf dan Ratib al-Haddad.
Ada yang berpendapat bahwa sementara tarekat lain biasanya cendrung melibatkan riyādhah-riyādhah (latihan-latihan) fisik dan kezuhudan yang ketat, Tharīqah ‘Alawiyyah hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak.
Ketiga, posisinya yang unik berhadapan dengan kontroversi tasawuf falsafi, yakni menjaga jarak dan tidak mau berurusan dengannya seraya menjaga sikap simpati terhadapnya.
Kebanyakan para Habaib ini , termasuk Habib Anis bin Alwi al Habsyi menempuh jalan Thariqah Alawiyyah. Thariqah As-Sadah Al-Ba’Alawi) adalah suatu tarekat sufi Islam Sunni yang terkenal, yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Ali Ba’alawi, bergelar Al-Faqih Al-Muqaddam (lahir di Tarim, Yaman, 574 H/ 1178 M, dan wafat 653 H/1256 M). Tarekat ini kemudian semakin berkembang dengan pesat di tangan Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Penyebarannya yang terbesar adalah di Yaman, selain itu juga tersebar di Indonesia, Malaysia, Singapura, Kenya, Tanzania, India, Pakistan, Hijaz, dan Uni Emirat Arab yang merupakan pula wilayah diaspora bangsa Arab Hadramaut. Thariqah ini sendiri diasas oleh Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi (574 H/1178M- 653H/1255 M Tarim-Yaman). Ada dua jalur keilmuan dan thariqah yang diambilnya.
Pertama ia mengambilnya dari jejak leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus bersambung sampai Rasulullah SAW. Jalur yang kedua ia mengambil dari ulama sufi, yakni Syaikh Abu Madyan Syu’aib dimana sanad mata rantai keilmuannya juga akhirnya sambung sinambung sampai Rasulullah SAW (mu'tabar). Di Kemudian hari, keluarga Ba’alawi ini sebagian ada masuk ke wilayah Nusantara seiring gelombang penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat itu, Nusantara menjadi objek kunjungan dagang, melalui Bandar Malaka.
Habib Alwi pergi ke Jawa dari Yaman, ditemani Salmin Douman, santri senior Habib Ali Al-Habsyi, sekaligus sebagai pengawal. Beliau meninggalkan istri yang masih mengandung di Seiyun, yang tak lama kemudian melahirkan, dan anaknya diberi nama Ahmad bin Alwi Al-Habsyi.Kabar kedatangan Habib Alwi telah menyebar di Jawa, karena itulah banyak murid ayahnya ( Habib Ali Al-Habsyi ) di Jawa menyambutnya, dan menanti kedatangannya di kota masing-masing.
Pertama kali Habib Alwi tinggal di Betawi beberapa saat. Kemudian beliau ke Garut, Jawa Barat, menikah lagi. Dari wanita ini lahir Habib Anis dan dua adik perempuan. Lalu, beliau pindah ke Semarang, Jawa Tengah. Disana beliau menikah lagi, dianugerahi banyak anak, dan yang sekarang masih hidup adalah Habib Abdullah dan Fathimah.
Baris 29:
Tahun 1952, Habib Alwi melawat ke kota-kota di Jawa Timur. Kunjungannya disertai Sayyid Muhammad bin Abdullah Al-Aydrus, Habib Abdul Qadir bin Umar Mulchela ( ayah Habib Husein Mulachela ), Syekh Hadi bin Muhammad Makarim, Ahmad bin Abdul Deqil dan Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf ( ayah Habib Taufiq Assegaf, Pasuruan ), yang kemudian mencatatnya dalam sebuah buku yang diterjemahkan Habib Novel bin Muhammad Al-Aydrus berjudul Menjemput Amanah.
Perjalanan rombongan Habib Alwi ke Jawa Timur itu berangkat tahun 1952. tujuan utama perjalanan tersebut adalah mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf ( 1285-1376 H / 1865-1956 M ) di Gresik. Namun beliau juga bertemu Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad ( 1303-1376 H / 1883-1956 M ) di Jombang, Habib Ja'far bin Syeikhan ( 1289-1374 H / 1878-1954 M ) di Pasuruan dan ulama lainnya.
Setahun setelah kepergiannya ke Jawa Timur, pada tahun 1953 Habib Alwi pergi ke kota Palembang untuk menghadiri pernikahan kerabatnya. Namun, di kota itu, beliau menderita sakit beberapa saat. Seperti tahu bahwa saat kematiannya semakin dekat, beliau memanggil Habib Anis, anak lelaki tertua yang berada di Solo. Dalam pertemuan itu beliau menyerahkan jubahnya dan berwasiat untuk meneruskan kepemimpinannya di Masjid dan Zawiyah Riyadh di Solo. Habib Anis, yang kala itu berusia 23 tahun, dan baru berputra satu orang, yaitu Habib Husein, harus mengikuti amanah ayahnya.
Akhirnya Habib Alwi meninggal pada bulan Rabi'ul Awal 1373 H / 27 November 1953. pihak keluarga membuka tas-tas yang dibawa oleh Habib Alwi ketika berangkat ke Palembang. Ternyata satu koper ketika dibuka berisi peralatan merawat mayat, seperti kain mori, wangi-wangian dan lainnya. Agaknya Habib Alwi telah diberi tanda oleh Allah SWT bahwa akhir hidupnya sudah semakin dekat.
Namun ada masalah dengan soal pemakaman, Habib Alwi berwasiat supaya dimakamkan di sebelah selatan Masjid Riyadh Solo.sedang waktu itu tidak ada penerbangan komersil dari Palembang ke Solo. Karena itulah, pihak keluarga menghubungi AURI untuk memberikan fasilitas penerbangan pesawat buat membawa jenazah Habib Alwi ke Solo. Ternyata banyak murid Habib Alwi yang bertugas di Angkatan Udara, sehingga beliau mendapatkan fasilitas angkutan udara. Karena itu jenazah disholatkan di tiga tempat : Palembang, Jakarta dan Solo. (Al-Kisah No.23 / Tahun IV / 6-19 November 2006).
Lepas kemangkatan Habib Alwi, Habib Anis melanjutkan estafeta dakwah di Kota Solo. Di kalangan Habaib selain dipercaya memperoleh sanad kelimuan dan thariqah melalui jalur nasab (keturunan), atau marga. Mereka juga berburu sanad (mata rantai keilmuan) ke ulama (sanad 'ilm) dan habaib yang lebih senior dan berbobot baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pentingnya mata rantai keilmuan (sanad 'ilm) sebagai mana ajaran tarekat As-Sadah Al-Ba’Alawi bila ditinjau berdasarkan mazhab fikihnya adalah bermazhab As-Syafi’iyah. Sedangkan bila ditinjau dari mazhab akidahnya, maka bermazhab As-Sunni Al-Asy’ariyyah.
Pengajaran keilmuan berdasarkan aturan tarekat (manhaj) As-Sadah Al-Ba’alawi ialah mengajarkan berbagai ilmu-ilmu keislaman, yang kini telah berkembang sepanjang sejarahnya dan menjadi bebagai cabang ilmu keislaman. Berbagai ma’had dan rubath tarekat ini, setelah tahun-tahun menjalankan pengajarannya secara terus-menerus sampai dengan hari ini, telah membuat cara-cara yang sistematis dalam memberikan pengajaran ilmu-ilmu tersebut, yang selain itu juga mengajarkan mengenai pentingnya pendidikan melalui suri tauladan (tarbiyyah fi tazkiyah).
Baris 37:
Mereka menerangkan dengan terinci, bahwa tarekat As-Saadah Bani Alawy ini diwariskan secara turun temurun oleh leluhur (salaf) mereka : dari kakek kepada kepada ayah, kemudian kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Demikian seterusnya mereka menyampaikan tarekat ini kepada anak cucu mereka sampai saat ini. Oleh karenanya, tarekat ini dikenal sebagai tarekat yang langgeng sebab penyampaiannya dilakukan secara ikhlas dan dari hati ke hati.
Dari situlah dapat diketahui, bahwasanya tarekat ini berjalan di atas rel Al-Kitab dan As-Sunnah yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Jelasnya, Tarekat Alawiyyah ini menitik-beratkan pada keseimbangan antara ibadah mahdhah, yaitu muamalah dengan Khaliq, dengan ibadah ghoiru mahdhah, yakni muamalah dengan sesama manusia yang dikuatkan dengan adanya majlis-majlis ta’lim yang mengajarkan ilmu dan adab serta majlis-majlis dzikir dan adab. Dengan kata lain, tarekat ini mencakup hubungan vertikal (hubungan makhluk dengan Khaliqnya) dan hubungan horizontal (antara sesama manusia).
Selain itu, tarekat ini mengajarkan kepada kita untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menuntut ilmu guna menegakkan agama Allah (Al-Islam) di muka bumi. Sebagaimana diceritakan, bahwa sebagian dari As-
Demikian itulah jalan lurus (shirôthol mustaqim) yang lebih tipis dari sehelai rambut. Ilmu itu tidak cukup disampaikan secara umum, bahkan setiap bagian darinya perlu didefinisikan secara khusus. Demikian itulah ilmu tasawuf, ilmu yang oleh kaum sufi digunakan untuk berjalan menuju Allah Ta’ala. Dhohir jalan kaum sufi adalah ilmu dan amal, sedangkan batinnya adalah kesungguhan (sidq) dalam bertawajjuh kepada Allah Ta’ala dengan mengamalkan segala sesuatu yang diridhoi-Nya dengan cara yang diridhoi-Nya. Jalan ini menghimpun semua akhlak luhur dan mulia, mencegah dari semua sifat hina dan tercela. Puncaknya memperoleh kedekatan dengan Allah dan fath. Jalan ini (mengajarkan seseorang) untuk bersifat (dengan sifat-sifat mulia) dan beramal saleh, serta mewujudkan tahqiq, asrôr, maqômât dan ahwâl. Jalan ini diterima oleh orang-orang yang saleh dari kaum sholihin dengan pengamalan, dzauq dan perbuatan, sesuai fath, kemurahan dan karunia yang diberikan Allah SWT.
Membahas serta menganalisa Tharīqah ‘Alawiyyah ini khususnya menentukan masyarakat Surakarta sebagai wilayah kajian tesis ini adalah karena masyarakat muslim Solo Raya memiliki kesejarahan yang identik dengan komunitas ‘Alawiyyīn. Hal itu dapat dibuktikan dengan begitu besarnya pengaruh pemikiran Abdullah al-Haddad dalam banyak kehidupan masyarakat Islam baik dari sisi akidah, dakwah dan tasawuf dengan Tharīqah ‘Alawiyyah -nya. Hal ini terlihat dari adanya amalan-amalan yang dipraktikkan oleh kalangan yang berafiliasi kepada para Habāib, baik secara individu, maupun berjamaah. Pun pengaruh Tharīqah ‘Alawiyyah ini terlihat dari majelis-majelis taklim yang saat ini berkembang di Solo Raya yang kesemuanya merupakan kepanjangan dari majelis taklim pertama di Surakarta yaitu Majelis Taklim Habib Alwi bin AlI bin Muhammad Husein al-Habsyi yang merupakan tokoh ulama Tharīqah ‘Alawiyyah di Surakarta.
Setelah terjadinya gelombang pelajar Indonesia yang melanjutkan belajar agama di Tarim, Yaman seperti di Darul Mushtofa dibawah asuhan Habib Umar bin Hafidz dan Rubat dibawah asuhan Habib Salim Syatiri pada kisaran awal tahun 90-an, menjadikan proses identifikasi Tharīqah ‘Alawiyyah kembali menguat. Hadirnya majelis-majelis taklim di Surakarta dan sekitarnya yang diasuh oleh para Habāib yang notabene merupakan pengamal Tharīqah ‘Alawiyyah yang juga merupakan lulusan dari Yaman, lebih menguatkan proses transmisi jaringan keulamaan Tharīqah ‘Alawiyyah di Surakarta dan Indonesia. Pada tahun 1993, atas preferensi Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Jeddah), Habib Anis menjalin relasi jaringan dakwah dan pendidikan dengan Habib Umar bin Muhammad Al Hafidz (Yaman). Banyak sekali murid dan muhibbin tidak saja dari Majlis Solo Raya, namun juga hampir seluruh Indonesia. Dengan adanya gelombang pelajar yang massif ke Hadramaut tersebut, majelis-majelis Habāib di sekitar Solo Raya yang juga mengamalkan Tharīqah ‘Alawiyyah sudah banyak bermunculan, seperti Majlis Taklim al Hidayah, pimpinan Habib Alwi bin Ali al Habsyi (Habib Alwi Kuadrat), Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, Habib Soleh al Jufry (Karang Pandan, Karanganyar), Habib Syech Assegaf ( Ahbabul Musthofa) dll.
Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama. Dan beliau netral dalam dunia politik.
Dalam sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa Jawa halus kepada orang Jawa, berbicara bahasa Sunda tinggi dengan orang sunda, berbahasa Indonesia baik dengan orang luar Jawa dan Sunda, serta berbahasa arab Hadrami kepada sesama Habib.
Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang sumeh (murah senyum) dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The Smilling Habib. Berdakwah dengan akhlak baik berpakaian, berkata-kata mapun berperilaku sehari-hari adalah gambaran bagaimana meniru Rasulullah SAW.
Habib Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan doping semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu tersebut berpangakat atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua diperlakukan dengan hormat.
Ajaran pokok yang digerakan oleh Habib Anis adalah ajaran gerakan ulama yang berusaha menjaga, memperbaiki, memberikan pelayanan kepada umat. Gerakan tersebut dengan menyebut sebagai gerakan memperkuat dan melindungi akidah warga alawiyin dengan cara dan praktik Ahlussunah wal Jama’ah.
Cara berpikirnya adalah dinamisasi agar gerakan alawiyin tidak jumud, statis pada teks-teks saja, tidak statis pada ibarat-ibarat saja, tapi berpikir dinamis dan kontekstual, tapi tidak liberal. Gerakan yang kedua adalah amaliyah, yaitu menghidupkan amaliyah-amaliyah thoriqoh alawiyin. Amaliyah tersebut adalah praktik yang bersumber dari ajaran Ahlussunah wal Jama’ah.
Apa yang dilakukan Habib Anis al Habsyi adalah melestarikan ajaran leuhur alawiyin yang sarat dengan muatan faham Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Istilah Aswaja (Ahlussunnah Waljama’ah – ahl as-sunnah wa al-jama’ah) bagi umat Islam pada umumnya dan terutama di Indonesia khususnya, bukanlah istilah baru. Sekalipun demikian, tidak jarang istilah ini dipahami secara berbeda, bahkan menimbulkan kekeliruan yang cukup fatal. Di sini, paling kurang istilah Aswaja dipahami pada dua pemahaman (verstehen).
Pertama, dalam kaca mata sejarah Islam, istilah ini merujuk pada munculnya wacana tandingan (counter-discours) terhadap membiaknya paham Muktazilah· di dunia Islam, terutama pada masa Abbasiyah. Pada akhir abad ke-3 Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa berkuasanya Khalifah Al-Mutawakkil, muncul dua orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu Abû Hasan al-‘Asy’âri (260 H – + 330 H) di Bashrah dan Abû Manshûr al-Maturidi di Samarkand. Meskipun pada taraf tertentu pemikiran kedua tokoh ini sedikit ditemukan perbedaan, namun mereka secara bersama-sama bersatu dalam membendung kuatnya gejala hegemoni paham Muktazilah yang dilancarkan para tokoh Mu’tazilah dan pengikutnya (Prof. DR. Muhammad Abu Zahrah, 1996: 189).
Dari kedua pemikir-ulama ini, selanjutnya lahir kecenderungan baru yang banyak mewarnai pemikiran umat Islam waktu itu. Bahkan, hal ini menjadi maistream (arus utama) pemikiran-keagamaan di dunia Islam yang kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran-keagamaan—sering dinisbatkan pada sebutan ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang kemudian populer disebut Aswaja.
Pada dasarnya kerangka pemikiran diturunkan dari (beberapa) konsep/teori yang relevan dengan masalah yang diteliti, sehingga bisa memunculkan asumsi-asumsi dan/atau proposisi, yang dapat ditampilkan dalam bentuk bagan alur pemikiran, yang kemudian kalau mungkin dapat dirumuskan ke dalam hipotesis operasional atau hipotesis yang dapat diuji.
Istilah Aswaja populer di kalangan umat Islam, terutama didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah yang menegaskan bahwa umat Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, umat Nashrani akan terpecah menjadi 72 golongan dan umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan tersebut masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan, yaitu orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan para sahabatnya”. Dalam pandangan As-Syihâb Al-Khafâjî dalam Nasâm ar-Riyâdh, bahwa satu golongan yang dimaksud (tidak masuk neraka) adalah golongan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Pendapat ini dipertegas oleh Al-Hâsyiah Asy-Syanwâni, bahwa yang dimaksud dengan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah adalah pengikut Imam kelompok Abûl Hasan Asy’ari dan para ulama madhab (Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Maliki dan Imam Hanbali). (Syekh Hasyim Asy’ari, Risâlah Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, 1418: 23).
Dengan demikian, istilah Aswaja dimaknai sebagai suatu konstruksi pemikiran (pemahaman) dan sekaligus praktek keagamaan (Islam) yang didasarkan pada tradisi (sunnah) Rasulullah, para sahabatnya dan para ulama mazhab, sekalipun yang terakhir ini lebih bersifat sekunder. Dengan lain kata, yang dimaksud dengan Aswaja tidak selalu identik dengan suatu mainstream aliran pemahaman tertentu dalam tradisi pemikiran Islam. Tak pelak, gerakan menghidupkan tradisi salaf dengan kitab-kitab standart seperti Al Qur'an, Shahih Bukhari, Ihya Ulumiddin, Nashoih Diniýah, Kalam Salaf, Majlis Maulid, Majlis Tahlil dan Yasinan dll yang berpusat di Masjid Riyadh bersambut luas tidak hanya jamaah masjid, namun klan (fam) serta jaringan ulama akhirnya berkembang. Lewat keistiqomahan Habib Anis, jaringan ulama lokal Solo Raya terbentuk, bahkan pada era 96 an ada Forum Remaja Masjid Militan (Forsmil) yang bergerak dari kalangan remaja masjid. Adanya kontinuitas, istoqomah gerakan yang kukuh dengan tradisi salaf serta penguatan jaringan, tidak hanya lokal (Solo Raya), namun muhibbin (pencinta) habaib yang tersebar luas seluruh Indonesia berdatangan menjadi koneksitas lokal dan menasional, bahkan menyebar luas sejak Habib Anis bertemu Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Jedah) dimana, Habib Anis mendapat referensi agar mendatangkan Habib Umar al Hafidz pada 1992 dan Habib Zain Ibrahim bin Smith (Madinah) serta juga alumni Mahad Maliki (Mekkah) dll. Galibnya Rubath Ar Riyadh Surakarta mempertemukan banyak fam (keluarga), ulama, pondok pesantren, muhibbin dari berbagai pelosok. Melalui jejaring ulama kaliber Internasional ini memperkuat benteng akidah Ahlusunnah wal Jamaah di Solo Raya semakin kuat. Terutama sekali dalam mengkader ulama baik kalangan habaib maupun muhibbin (ada banyak murid Habib Anis) yang setelah belajar demgan Habib Anis kemudian dikirim ke Yaman atau Timur Tengah.
Menguraikan paradigma/pendekatan/metode yang dipergunakan dalam penelitian. Uraian mencakup, tetapi tidak terbatas pada lingkup masjid saja. Habib Anis juga peduli dengan sekitar masjid. Bahkan untuk menopang ekonomi, berdagang batik dan membuka toko.
Seorang tukang becak (Pak Zen) 83 tahun yang sering mangkal di Masjid Ar-Riyadh mengatakan, Habib Anis itu ulama yang loman (pemurah, suka memberi). Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya orangnya sangat sabar, santun, ucapannya halus. Dan tidak peranah menyakiti hati orang lain apalagi membuatnya marah”.
Saat ‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau non Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya.
Jika ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit, Habib Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau bersilautrahmi. Tukang becak yang mangkal di depan Masjid Wiropaten tempat Habib Anis melaksanakan shalat
Habib Anis sewaktu hayatnya sentiasa mengabdikan dirinya untuk berdakwah menyebarkan ilmu dan menyeru umat kepada mencintai Junjungan Nabi SAW. Beliau menjalankan dakwahnya berdasarkan kepada ilmu dan amal taqwa, dengan menganjurkan dan mengadakan majlis-majlis ta’lim dan juga majlis-majlis
Dalam majlis-majlis ilmu yang lebih dikenali sebagai rohah, dibacakan kitab-kitab ulama salafus sholeh terdahulu termasuklah kitab-kitab hadits seperti “Jami`ush Shohih” karya Imam al-Bukhari, bahkan pengajian kitab Imam al-Bukhari dijadikan sebagai wiridan di mana setiap tahun dalam bulan Rajab diadakan Khatmil Bukhari, yaitu khatam pengajian kitab “Jami` ash-Shohih” tersebut. Setiap malam Jumat pula diadakan majlis Maulid dengan pembacaan kitab Maulid “Simthud Durar” karya Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi. Manakala setiap malam Jum'at Legi diadakan satu majlis taklim dan mawlid dalam skala besar dengan dihadiri ramai masyarakat awam dari pelbagai tempat yang terkenal dengan Pengajian Legian, di mana Maulid diperdengarkan dan tausyiah-tausyiah disampaikan kepada umat.
Peringatan Maulid tahunan di bulan Rabi`ul Awwal dan haul Imam Ali al-Habsyi disambut secara besar-besaran yang dihadiri puluhan ribu umat dan dipenuhi berbagai acara ilmu dan amal taqwa. Sesungguhnya majlis para habaib tidak pernah sunyi dari ilmu dan tadzkirah yang membawa umat kepada ingatkan Allah, ingatkan Rasulullah dan ingatkan akhirat, yang disampaikan dengan penuh ramah – tamah dan bukannya marah-marah. Habib Anis terkenal bukan sahaja kerana ilmu dan amalnya, tetapi juga kerana akhlaknya yang tinggi, lemah lembut dan mulia. Air mukanya jernih, wajahnya berseri-seri dan sentiasa kelihatan ceria. Kebanyakan yang menghadiri majlis-majlis beliau adalah kalangan massa yang dhoif, dan kepada mereka-mereka ini Habib Anis memberikan perhatian yang khusus dan istimewa. Menurut Habib Muhammad bin Husein, semasa hidupnya, Habib Anis mengabdikan untuk berdakwah dan bergelut dalam majelis ilmu. “Beliau punya pengajian setiap harinya saat ba'da dzuhur, kecuali Jumat dan Ahad, di kediaman beliau. Pernah, ketika istri beliau meninggal masyarakat datang untuk bertakziyah. Namun begitu tiba waktunya pengajian, langsung beliau membuka kitabnya dan mulai membaca serta mengajar. Didalam rumah jenazah istrinya sedang dimandikan tapi beliau tetap istiqomah mengajar dan membimbing ummat,” terang Habib Muhammad bin Husein.
Untuk mengungkap pribadi sosok Habib Anis, Habib Anis sendiri pernah menyampaikan bahwa ada empat hal yang penting: “Pertama, kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, Zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW.
JEJARING KEILMUAN DAN THORIQOH ALAWIYIN Habib Anis bin Alwi bin Ali Al Habsyi adalah salah satu pelestari dan penjaga ajaran salafus sholih, baik secara keilmuan maupun thariqah Alawiyin pada zamannya (1953-2006) sejak ia ditinggal sang Ayah, yakni Habib Alwi bin Ali Al Habsyi. Habib Anis merintis kemaqamannya sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Ada yang sering keliru memaknai Haul Solo, atau Haul Shahibul Maulid Simthud Durar, yakni Haul dan Maulid Habib Ali bin Muhammad Husein Al Habsyi pada setiap minggu ketiga bulan Rabiul Awwal. Sekalipun yang di peringati Haul dan Maulid tidak hanya digelar di Seiwun (Hadramut)
Habib Ali bin Muhammad bin Husein al Habsyi itu seorang keturunan Rasulullah SAW yang dilahirkan pada 24 Syawal 1259 H atau 1839 M di desa Qosam, Hadramaut.
Beliau seorang anak dari pernikahan al Imam al Arif Billah Habib Muhammad bin Husein AHabsyi dan Hababah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al Hadi Al Jufri. Beliau diberi nama Ali oleh Al Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Thahir karena dikaitkan dengan Sayyidina Ali Khali Qasam, untuk mengambil berkah darinya. Ketika berusia 7 tahun ia ditinggal oleh ayahnya untuk hijrah ke Mekkah Al Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Thahir dan habib Ali pun diasuh oleh ibunya yang tetap tinggal di Qasam.
Saat Habib Ali al Habsyi mulai dewasa, dan sudah menguasai berbagai disiplin ilmu, guru-guru beliau mengizinkan untuk menyampaikan dan menyebarluaskan ilmu yang dimilikinya. Beliau mulai menjadi pendakwah dan mengisi pengajian di depan umum, sehingga dengan cepat Habib Ali menjadi pusat perhatian dan dikagumi orang-orang, serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan kepimpinan tiap majelis ilmu, lembaga pendidikan, serta pertemuan-pertemuan besar yang digelar pada masa itu.
1. Simthud Durar Kitab Maulid Melegenda Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi mengarang kitab yang menceritakan bagaimana perjalanan hidup nabi yang di kenal dengan nama Simthud Durar. Kitab ini ditulis setelah kitab-kitab maulid yang telah terkenal sebelumya seperti Barzanji, ad-Dibai, Burdah al Madih dan kitab maulid lainnya. Habib Ali menulis kitab ini sebagai perwujudan dari cintanya beliau kepada Rasulullah SAW dan juga kitab ini ditulis ketika umur beliau menginjak 68 tahun.p
Kitab Maulid Simthud Durar ini pertama kali dibacakan di rumah Habib Ali sendiri, saat Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi berumur 68 tahun, tepatnya 26 Shofar 1327 H/18 Maret 1909 M). Kemudian pada 12 Rabiul Awwal beliau membacakan maulid Simthud Durar di rumah Habib Umar bin Hamid murid beliau.
Namun secara langsung, Habib Ali bin Muhammad Husain Al-Habsyi mengungkap niatnya yang lurus dan meyakini hadirnya Rasulullah SAW di tempat yang dibacakan maulid ini. Beliau mengatakan: “Maulid Simthud Durar yang saya susun ini atas dasar niat yang benar, media yang baru, dan tidak diragukan kembali bahwa sungguh ruh Rasulullah akan hadir saat membacanya". Selain kitab Maulid, Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi lainnya adalah kitab kumpulan amalan yang berisi wirid, hizib, ratib dan lain-lain, sebagian besar berasal dari al Quran, hadis dan amalan para ulama terkemuka.
2. Empat wasiat Habib Anis Wasiat Habib Anis adalah empat hal yang penting: “Pertama, kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW.
Meskipun tidak pernah masuk dalam struktur NU di Solo, namun peranan Habib Anis atas kemajuan NU di wilayah Solo Raya sangatlah besar. Beberapa muridnya bahkan kini menjadi Rais Syuriyah KH A. Baidlowi dan KH Abdul Aziz (Wonogiri), Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf (Mustasyar PWNU Jawa Tengah 2014-2019. Sekarang A'wan Syuriah PBNU 2022-2027), Habib Alwi bin Ali al Habsyi (MT al Hidayah), Habib Novel Alaydrus, Habib Soleh al Jufri (Karangpandan, Karanganyar) dll.
3. Jaringan ulama dan Habib Sebagai penerus kekhalifahan (imam) di Masjid Riyadh, Habib Anis meneruskan beerbagai kegiatan yang telah dirintis oleh para pendahulunya. Kegiatan seperti Haul Habib Ali Al-Habsyi, yang awalnya digelar oleh Habib Alwi bin Ali bin Muhammad Husein al Habsyi (ayah Habib Anis) dan kebanyakan tamunya datang dari Pasuruan (Jawa Timur). Selain maulid, acara Khatmul Bukhari, dan Maulid yang terselenggara setiap malam Jumat selalu dihadiri oleh ratusan bahkan puluhan ribu jamaah dari berbagai daerah. Para ulama terkemuka, seperti TG Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul), Habib Salim bin Ahmad Jindan, KH Abdul Hamid (Pasuruan), Abuya Dimyati, Kiai Siraj, Habib Thohir Abdullah al Kaff (Tegal) dan lainnya, bahkan pernah hadir di Masjid Riyadh untuk mengikuti majelis ilmu yang dipimpin Habib Anis. Relasi ulama kaliber lnternasional yang dibangun Habib Anis semasa hidup seperti Habib Abdul Qadir Ahmad Assegaf (Jedah), Habib Zein bin Smith (Madinah), Habib Umar al Hafidz (Darul Musthofa, Tarim Yaman) dll.
Sebagai seorang ulama, Habib Anis juga pernah berkeinginan untuk menulis kitab. Namun, hingga akhir hayat beliau belum berkesempatan untuk merealisasikannya. “Belum sempat menulis kitab, hanya berencana. tapi kedahuluan dijemput oleh Allah,” tutur Habib Muhammad.
PENUTUP Dua minggu pasca-Lebaran tahun 2006, tepatnya 14 Syawwal 1427 H bersamaan 6 November 2006, Habib Anis Al-Habsyi wafat (68 Tahun). Sontak, kabar tersebut membuat para murid dan pecinta beliau yang tersebar di penjuru dunia, bergegas untuk ikut memberikan penghormatan terakhir kepada sang guru.
Dalam salah satu tausiyah, Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Ahmad Jindan mengatakan, “Seperti saat ini kita sedang mengenang seorang manusia yang sangat dimuliakan, yaitu Nabi Muhammad SAW. Kita juga mengenang orang shalih yang telah meningalkan kita pada tanggal 6 Nopember 2006 yaitu guru kita Habib Anis bin alwi bin Ali Al-Habsyi."
Ketika kita hadir pada saat pemakaman Habib Anis, jenazah yang diangkat tampak seperti pengantin yang sedang diarak ke pelaminannya yang baru. Bagi Habib Anis, kita melihat semasa hidup berjuang untuk berdakwah di masjid Ar-Riyadh dan kini setelah meninggal menempati Riyadhul Janah, taman-taman surga. Ketika takziyah pada pemakaman Habib Anis kita seolah-olah mengarak pengantin menuju Riyadhul Jannah, taman-taman surga Allah. Inilah tempat yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman, bertaqwa dan shalih. Kita sekarang seperti para sahabat Habib Ali Al-Habsyi, penggubah maulid Simthud-Durar yang mengatakan bahwa, keteka mereka hidup di dunia, mereka seolah-olah tidak merasakan hidup di dunia tetapi hidup di surga. Sebab setiap hari diceritakan tentang akhirat, tentang ketentraman bathin di surga. Dan mereka baru menyadari baha mereka hidup di dunia yang penuh cobaan.
Kita selama ini hidup bersama Habib Anis, bertemu dalam majlis maulid, berjumpa dalam kesempatan rauhah dan berbagai kesempatan lainnya. Dalam berbagai kesempatan itu kita mendengar penuturan yang lembut dan menentramkan, sehingga sepertinya kita di surga. Dan kita merasakan bahwa kita hidup di dunia yang fana ketika menyaksikan bahwa beliau meninggal dunia. Namun begitu, kenangan beliau tetap terbayang di mata kita, kecintaan beliau tetap menyelimuti kita.
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assagaf yang berada di Jeddah bercerita, “Ayahku Habib Ahmad bin Abdur Rahman berkata kepadaku, ‘ya…Abdulkadir engkau lihat aku, ketahuilah jangan engkau menyimpang dari jalan orang tuamu’”. Ketika Habib Ahmad bin Abdurrahman meninggal dunia, Habib Abdul Kadir tetap menempuh jalan orang tuanya dan dia tidak menyimpang sedikitpun jalan yang telah ditempuh oleh Habib Ahmad bin Abdur Rahman.
Begitu juga Almarhum Habib Anis, tidak sedikitpun menyimpang dari yang ditempuh oleh ayah beliau, Habib Alwi. Hal serupa terjadi pada Habib Alwi , yang tetap menapaki jalan yang ditempuh oleh ayah beliau Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Dan Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi sama juga menempu jalan orang tua, guru dan teladan beliau hingga sampai Nabi Muhammad SAW”……
Sedangkan Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, murid senior sekaligus cucu menantu Habib Anis mengatakan, maqam tinggi yang dimiliki Habib Anis didapatkan bukan karena berandai-andai atau duduk – duduk saja. Semua itu beliau peroleh setelah bertahun-tahun menanamkan cinta kepada Allah SWT, para shalihin dan kepada kaum muslimin umumnya. Semoga beliau dalam kuburnya melihat kehadiran kita di majlis ini, bahwa kita sebagai anak didiknya meneruskan perjuangan dakwahnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, ‘Dan sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang’. Artinya kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih Allah menanamkan kepada makhluk-makhluk rasa kasih sayang kepadanya, cinta kepadanya, sebagaimana disabdakan
Kemurahan hatinya kepada golongan ini sukar ditandingi menjadikan beliau dihormati dan disegani ramai. Sungguh tangan beliau sentiasa di atas dengan memberi, tidak sekali-kali beliau jadikan tangannya di bawah meminta-minta.
Nama pertama yang disebut merupakan putera kandung Habib Ali. Habib Alwi hijrah ke Indonesia untuk berdakwah, dan pada akhirnya pada tahun 1355 H ia mendirikan sebuah masjid di Surakarta. Masjid tersebut diberi nama sama dengan masjid yang didirikan oleh ayahnya di Hadhramaut, yakni Masjid Riyadh.
Sedangkan dua nama berikutnya, merupakan putera Habib Alwi atau cucu dari Habib Ali Al-Habsyi. Habib Ahmad lahir ketika ayahnya masih di Hadramaut, lain halnya dengan adiknya, Habib Anis yang lahir di Indonesia. Keduanya meneruskan perjuangan para leluhurnya, sebagai dai. Artinya transmisi baik secara nasab, keilmuan, thariqah serta akhlaq ajaran Nabi Muhammad SAW telah paripurna diemban oleh Habib Anis secara utuh, dimana estafeta khalifah Alawiyyin, dengan menduplikasi ajaran salaf baik sang ayah (Habib Alwi), kakek (Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi) serta ajaran salafuna sholihun yang mu'tabar dan teguh memegang tradisi Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
Selain pada acara haul, ketiga makam tersebut setiap harinya hampir tidak pernah sepi dari peziarah. Bahkan, terkadang datang rombongan bus dari luar daerah. Hal yang tidak jauh berbeda dengan makam para Walisongo.(***)
REFERENSI: 1. Aji Setiawan, Buku Biografi Habib Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad Husain al Habsyi, wikipedia.id, 7 Februari 2022 2. Ajie Najmudin, Kamis, 27 Mei 2021 Empat Konsep Dakwah Habib Anis. www.nu.or.id
5.Irma Ayu Karrija Dewi, Dr. Sri Margana, M.Phil. Habib Anis bin Alwi al Habsyi dan Masyarakat Islam di Surakarta Tahun 1953-2006.Tesis , S2 Ilmu Sejarah
Aji Setiawan ajisetiawanst@gmail.com
== Referensi ==
|