Bantimurung, Maros: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Membalikkan revisi 18622089 oleh Muhammad Riza Daeng Paremma (bicara)
Tag: Pembatalan
Baris 79:
 
=== Etimologi ===
'''Bantimurung''' berasal dari [[Bahasa Bugis]] dari kata '''''benti''''', artinya "tetesan (air)" dan '''''merrung''''', artinya "bunyi gemuruh". Jadi '''Bantimurung''' berarti air yang bergemuruh. Nama tersebut diusulkan oleh Karaeng Simbang, Patahoeddin Daeng Paroempa. Simbang adalah salah satu kerajaan dalam distrik adat Gemenschaap dan berada dalam wilayah kerajaan Marusu'. Berawal dari kata '''''benti merrung''''' itulah kemudian berubah bunyi menjadi Bantimurung seperti sekarang. Sejarah dan asal-usul kata "Bantimurung" dimulai sejak masa [[Perjanjian Bungaya]] I dan II (1667-1669) saat Maros ditetapkan sebagai daerah yang dikuasai langsung oleh [[Hindia Belanda]]. Ketika itu, wilayah Kerajaan Marusu' diformulasikan dalam bentuk Regentschaap yang dipimpin oleh penguasa bangsawan lokal bergelar Regent (setingkat bupati). Setelah itu, Maros berubah menjadi Distrik Adat Gemeschaap yang dipimpin oleh seorang kepala distrik yang dipilih oleh bangsawan lokal dengan gelar Karaeng, Arung atau Gallarang. Kerajaan Simbang merupakan salah satu distrik adat Gemenschaap yang berada dalam wilayah Kerajaan Marusu'. Distrik ini dipimpin oleh seorang bangsawan lokal bergelar "karaeng". Pada sekitar tahun 1923, Patahoeddin Daeng Paroempa, diangkat menjadi Karaeng Simbang. Dia mulai mengukuhkah kehadiran kembali Kerajaan Simbang dengan melakukan penataan dan pembangunan di wilayahnya. Salah satu program yang dijalankannya ialah dengan melaksanakan pembuatan jalan melintas Kerajaan Simbang agar mobilitas dari dan ke daerah-daerah sekitarnya menjadi lancar. Pembuatan jalan ini, rencananya akan membelah daerah hutan belantara. Sayangnya, pekerjaan tersebut terhambat akibat terdengarnya bunyi menderu dalam hutan yang menjadi jalur pembuatan jalan tersebut. Saat itu, para pekerja tidak berani melanjutkan pekerjaan pembuatan jalan, karena suara gemuruh tersebut begitu keras. Karaeng Simbang yang memimpin langsung proyek ini lalu memerintahkan seorang pegawai kerajaan untuk memeriksa ke dalam hutan belantara dan mencari tahu dari mana suara bergemuruh itu berasal. Setelah melakukan perjalanan singkat ke dalam kawasan hutan untuk mencari tahu dari mana suara bergemuruh berasal, pegawai kerajaan langsung kembali melapor kepada Karaeng Simbang. Namun sebelum melapor, Karaeng Simbang terlebih dahulu bertanya. “Aga ro merrung?,” tanyanya. ([[Bahasa Bugis]]; yang berarti: "apa itu yang bergemuruh?"). “Benti, puang (air, tuanku)," jawab sang pegawai kerajaan. (Benti adalah Bahasa Bugis untuk air). Merasa penasaran, Karaeng Simbang mengajak seluruh anggota rombongan untuk melihat langsung air bergemuruh tersebut. Sesampainya di tempat asal suara, Karaeng Simbang langsung terpanah dan takjub menyaksikan luapan air begitu besar merambah batu cadas yang mengalir jatuh dari atas gunung. “Makessingi kapang narekko iyae onroangnge' diasengi benti merrung! (mungkin ada baiknya jika tempat ini dinamakan air yang bergemuruh)," ujar Karaeng Simbang, Patahoeddin Daeng Paroempa. Berawal dari kata '''''benti merrung''''' itulah kemudian berubah bunyi menjadi '''''bantimurung'''''. Penemuan air terjun tersebut membuat rencana pembuatan jalan tidak dilanjutkan. Malahan, daerah di sekitar air terjun dijadikan sebagai sebuah perkampungan baru dalam wilayah Kerajaan Simbang. Kampung ini dikepalai oleh seorang Kepala Kampung bergelar "Pinati Bantimurung."
'''Bantimurung''' konon berasal dari [[Bahasa Bugis]] dari kata '''''benti''''', artinya "tetesan (air)" dan '''''merrung''''', artinya "bunyi gemuruh". Jadi '''Bantimurung''' berarti air yang bergemuruh. Tidak ditemukan data dan fakta sejarah tentang asal mula dan siapa yang memberi nama Bantimurung. Namun pada beberapa Catatan Sejarah akhir Abad ke-17 dan Abad ke-18 dapat kita temukan catatan sejarah mengenai Bantimurung. Dalam catatan harian '''Raja Bone XVI, Sultan Idris Adzimuddin''' (1696 - 1714) tertulis dalam bahasa bugis : (1.) Hari Kamis,'''30 Juli 1699''', '''''Kulao ri Maruq''''', artinya Saya (''Raja Bone'') berkunjung ke Maros. (2.) Hari Sabtu, '''15 Agustus 1699''', '''''Kilao cemmE ri Bantimurung''''', artinya Kami (''Raja Bone bersama Raja Pattiro'') pergi mandi di Bantimurung. Kemudian '''Raja Bone XXII, Sultan Abdul Razak Jalaluddin''' (1749 - 1775) dalam catatan harian beliau juga menuliskan tentang Bantimurung : (1.) '''20 Oktober 1756''', Saya ke Bantimurung bersama To MarajaE ('''''Gubernur VOC''''') melihat bendungan. (2.)'''12 November 1756,''' Saya ke Solojirang ketemu BukoroE. Air sudah sampai di Marampesu. Catatan sejarah lainnya tentang Bantimurung adalah Catatan Gubernur VOC di Makassar, '''Joan Gideon Loten''' (1744-1750) : Pada Agustus 1745 melancong ke Maros bersama keluarganya. Mereka menunggang kuda ke hutan dan melihat air terjun Bantimurung. Pada Agustus dan September 1750, Dia mengunjungi air terjun Bantimurung untuk terakhir kalinya. Selama perjalanan, Dia ditemani Jean Michel Aubert (1717-1762) sang juru gambar dan surveyor VOC. Kemudian ditemukan lagi catatan tentang tata kelola Bantimurung ('''''Taufiq Ismail dan Kama Jaya Shagir'' )''' : Bantimurung ditetapkan menjadi monumen alam pada tahun 1919 Lembaran Negara Hindia Belanda Nomor 90, tertanggal 21 Februari 1919 adalah titah resminya. Menunjuk air terjun Bantimurung sebagai monumen alam “ '''''Natuurmonument Bantimoeroeng Waterval'' ”''' seluas 10 hektar.
 
== Kondisi geografis ==