'''Sunda Wiwitan''' (dalam [[Aksara Sunda Baku|Aksara Sunda]] ditulis {{sundlang-su|ᮞᮥᮔ᮪ᮓ ᮝᮤᮝᮤᮒᮔ᮪}}) adalah [[kepercayaan]] pemujaan terhadap kekuatan alam dan [[arwah]] [[leluhur]] danyang bersatu dengan [[Alamalam]], yang dianut oleh [[masyarakat tradisional]]asli [[orangsuku Sunda|Sunda]].<ref>Ekadjati, Edi S., "Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah", Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, halaman 72-73</ref> Akan tetapi ada sementarabeberapa pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsur [[monoteisme]] [[purba]], yaitu di atas para pangersa dan [[hyang]] dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut [[Sang Hyang Kersa]] yang disamakansetara dengan [[Tuhan Yang Maha Esa]].▼
{{Aliran kepercayaan di Indonesia}}
{{Agama di Jawa}}
▲'''Sunda Wiwitan''' (dalam [[Aksara Sunda Baku|Aksara Sunda]] ditulis {{sund|ᮞᮥᮔ᮪ᮓ ᮝᮤᮝᮤᮒᮔ᮪}}) adalah kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan [[arwah]] [[leluhur]] dan bersatu dengan [[Alam]] yang dianut oleh [[masyarakat tradisional]] [[orang Sunda|Sunda]].<ref>Ekadjati, Edi S., "Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah", Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, halaman 72-73</ref> Akan tetapi ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsur [[monoteisme]] [[purba]], yaitu di atas para pangersa dan [[hyang]] dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut [[Sang Hyang Kersa]] yang disamakan dengan [[Tuhan Yang Maha Esa]].
Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi [[Banten]] dan [[Jawa Barat]], seperti di [[orang Kanekes|Kanekes]], di [[Lebak]], [[Banten]]. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh [[orang Sunda]] sebelum datangnya ajaran [[Hindu]] dan [[Islam]].
Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab [[Sanghyang Siksa Kandang Karesian|Sanghyang Siksa Kandang Karesian]], sebuah kitab yang berasal dari zaman [[kerajaan Sunda]] yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut [[Kropak 630]] oleh [[Perpustakaan Nasional Indonesia]]. Berdasarkan keterangan ''kokolot'' (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut [[Hindu]] atau [[Buddha]], melainkan penganut [[animisme]], yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang. Hanya dalam perkembangannya, kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran [[Hindu]], dan hinggasampai bataspada tertentu, ajaran [[Islam]].<ref>Djajadiningrat, 1936: 11-12</ref> Dalam [[Carita Parahyangan]] kepercayaan ini disebut sebagai ajaran "[[Jatisunda]]".