Tionghoa Padang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 71:
Ketika terjadinya [[kerusuhan Mei 1998]], saat orang Tionghoa di banyak tempat di Indonesia mendapat perlakukan tidak baik, tidak pernah ada laporan adanya tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan Orang Tionghoa sebagai sasaran di Padang.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=7a|ps=: "''Pengalaman buruk bagi sebagian etnis Cina di beberapa kota di Indonesia tidak dialami oleh etnis Cina Padang, termasuk saat peristiwa Mei 1998. Sepanjang era Reformasi bahkan tidak ditemukan tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan etnis Cina Padang sebagai sasaran kekerasan, seperti yang terjadi di Jakarta, Solo, Surabaya, Medan, maupun kota lainnya. Fenomena nasional yang menjadikan etnis Cina sebagai sasaran untuk mengungkapkan kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap pemerintah, krisis ekonomi, dan kekacauan politik tidak dialami oleh etnis Cina Padang.''"}} Pada tahun 2000, [[Abdurrahman Wahid|Presiden Abdurrahman Wahid]] mengeluarkan [[wikisource:id:Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000|Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000]] untuk mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Sejak itu, orang Tionghoa Padang dapat bebas kembali melaksanakan kegiatan agama, adat, dan tradisi mereka.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=3-4|ps=: "''Perubahan terjadi setelah tahun 2000, ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres no 6/2000 untuk mencabut Inpres no.14/1967 dan membebaskan etnis Cina untuk merayakan hari besar dan adat istiadat serta tradisi mereka.''"}}
 
Sesudah terjadinya gempa bumi yang mengguncang Sumatra Barat pada 30 September 2009, banyak orang Tionghoa Padang yang mengungsi ke luar kota. Hal tersebut berakibat pada menurunnya populasi orang Tionghoa Padang. HinggaBeberapa kinibulan pasca-gempa, belum semua orang-orang Tionghoa yang meninggalkaneksodus Padangbelum seluruhnya kembali, walaupunke kondisi kota telah pulihPadang. Mengingat Padang merupakan daerah rawan tsunami, orang Tionghoa banyak yang memutuskan pindah ke luar kota, seperti Pekanbaru, Medan, dan Jambi.{{sfnp|Rahmi Surya Dewi|2018|pp=28}}{{sfnp|Kompas.id|8 Juni 2019}} Ketika dilakukan Sensus Penduduk pada tahun 2010, persentase orang Tionghoa Padang hanya tinggal 1,1% dari populasi kota atau berjumlah 9.498 jiwa.{{sfnp|Riniwaty Makmur|2018|pp=16}}
 
Dampak paling terasa dari gampa bumi 2009 adalah runtuhnya Kelenteng Se Hien Kiong. Akibatnya, aktivitas ritual orang Tionghoa Padang sempat terhambat. Selama beberapa waktu, orang Tionghoa Padang menyelenggarakan ibadahnya di bangunan sederhana yang bersifat sementara di depan bangunan kelenteng.{{sfnp|Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatra Barat|8 Juni 2017}}{{sfnp|Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatra Barat|2018|pp=13}} Pada Desember 2010, masyarakat Tionghoa Padang sepakat untuk mendirikan kelenteng baru. Rancangan bangunannya tidak jauh berbeda dengan kelenteng lama, tapi dengan lokasi baru. Kelenteng baru diresmikan pada Maret 2013. Pembangunannya menelan biaya sekitar Rp5 miliar.{{sfnp|Padang.go.id|23 September 2018}}