Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 42:
[[Suminto A. Sayuti]] yang memberikan catatan buku ini mengungkapkan jika puisi yang ditulis oleh Kedung pada dasarnya meneruskan tradisi yang sudah dibangun oleh para sastrawan terdahulu secara sistematis. Itu sah adanya. Seseorang boleh saja mengatakan jika Kedung secara sadar telah memosisikan para pendahulu sebagai “teks-teks parental”, yang darinya dia lantas membuka diri demi masuk ke dalam proses kreatif.''{{sfnp|Romansha|2018||p=x|ps=}}''
Sayuti beranggapan bahwa seseorang sering memerlukan situasi yang disebut ''anxiety of influence'' (kegelisahan pengaruh) melalui “salah-baca” dan “salah-tafsir”, yang disadari dan sudah dilakukan oleh para pendahulu, untuk memelihara keterjagaan kreativitasnya. Dalam konteks inilah, Kedung telah memilih dimensi kelampauan, “masa lalu” sebagai matriks utama keseluruhan puisi yang dihimpun dalam antologi ini, seperti tampak dalam pilihan judul antologi. Kelampauan yang digeluti habis-habisan olehnya, tanpa harus menariknya secara linear ke masa kini atau ke masa depan secara eksplisit dalam masing-masing puisi. Ini dikarenakan manusia hanya mampu mempertanyakannya secara
Namun demikian, dapat dipahami jika hal itu memang dikehendaki secara sadar oleh Kedung agar para pembaca membangun ''continual interplay'' (interaksi berkelanjutan) antara diri dan puisi yang tengah dihadapi. Itulah sebabnya, Kedung pun menulis
Nukilan-nukilan puisi tersebut menunjukkan bahwa Kedung sejatinya hendak mengekspresikan dan memaknai secara reflektif pengalaman personalnya, tetapi dengan tetap menyisakan ruang bagi siapa saja yang membacanya untuk melakukan transpersonalisasi diri ke dalam pengalaman personal kreator.<ref name=":3" /> Berdasarkan nukilan-nukilan tersebut, tampak pula bahwa “masa lalu” telah dimaknai sebagai terminal keberangkatan oleh dirinya.''{{sfnp|Romansha|2018||p=xi|ps=}}''
Pemberdayaan alusi, seperti tampak
Namun, ''“… pergi meninggalkan sesuatu yang kau sebut masa lalu”'' (puisi: “Segelas Sunyi yang Dingin”), ke manakah sesungguhnya manusia pergi meninggalkan terminal keberangkatan itu, meninggalkan “masa lalu” itu, jika ternyata ''“tidak ada tempat berpulang bagi ingatan”'' karena ''“kita hanya menumpang di sini/singgah sebentar lantas pergi lagi'' (puisi: “Spasi”). Sementara itu, “masa lalu” tetap bertahan menjadi sesuatu ''“yang dingin”'' (puisi: “Barangkali Ada yang Ingin Kau Tanyakan”), bahkan ''“masa lalu bangkit/dari tubuhmu/bulan-bulan redup/hari pudar di musim yang lewat/dan waktu/meleleh di punggungmu”'' (puisi: ''‘Ngunduh Wohing Karma”''--- diambil dari kisah Dewi Windardi/Windradi dan Resi Gautama). Kita pun diingatakan oleh Kedung bahwa jika pun kita ''“ingin hidup bukan untuk masa silammu/karena kau bukan takdir kenanganku'' (puisi: “Cinta yang Lupa Ingatan”), kenyataannya: “kenangan” tetap merupakan sebuah ''“tempat segala kepalsuan/diciptakan”'' yang ibarratnya ''“seperti ciuman yang membekas dalam ingatan”'' (puisi: “Puisi yang Lahir dari Cerita Konyol”), ''“yang'' ''memutih di rambut/lalu rontok dan jatuh ke tanah”'' (puisi: “Kalau”), dan bersamaan dengannya: ''“usia menyulap kita jadi dongeng/dan tahu, masa jasad kita/mendekat keranda juga/tandas dilahap cerita-cerita yang selalu sama”'' (puisi: “Kepada D”). Oleh karena itu, di tengah ''“kendaraan bersliweran di jalan/mengangkut masa lalu/singgha sebentar lantas pergi meninggalkan sunyi”,'' kita pun menjadi perlu untuk ''“melamar kota ini/dengan masa depan”,'' walaupun ''“masa lalu”'' tetap ''“merangsek maju/mendekapku dengan kecemasan anak-anak/yang putus laying-layangnya/…/yang tersusun dari harapan dan kecemasan'' (puisi: “Magrib Menjemputku”). Betapapun Kedung bertolak dari “masa lalu” sebagai dimensi pertama waktu: kelampauan, bukan berarti bahwa dimensi waktu kekinian dan keakanan pun tidak terbawa serta karena secara hakiki ketiga dimensi waktu tidak pernah bisa dipisah-pisahkan.
|