Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 60:
Dalam konteks itulah, proyeksi masa lalu sebagai "keberangkatan" sekaligus mengisyaratkan makna ''"''kepulangan"''.'' Ada hubungan dialektis antara keduanya. Kedung memang tidak menyertakan salah satu tembang lisan pesisiran yang mengisyaratkan hal itu: ''“inyong gemiyen ora ana, saiki dadi ana, mbesuk ora ana maning, padha bali maring rahmatullah”.'' Namun, makna tembang pesisiran tersebut juga menyelinap dalam sebagian puisi yang ada dalam antologi ini.''{{sfnp|Romansha|2018||p=xiii|ps=}}''
<blockquote>'''Pada Bulan April, Aku Duduk Menatapmu'''<br><br>''sudah lama kugendong tahun-tahun di punggungku''<br>''bila aku istirah''<br>''aku kunyah laparku''<br>''bersama waktu yang tumbuh di tubuhku''<br><br>''waktu menggelinding di setiap tikungan''<br>''aku seret tahun demi tahun dengan hati yang kosong''<br>''bentuk wajahmu yang mulai pudar''<br>''o, masa depan yang gaib''<br>''tangan-tangan ajaib''<br>''menggapaiku dalam kecemasan''<br><br>''kesedihan keluar dari pori-poriku''<br>''aku melihat wajah-wajah buruh meleleh disengat matahari''<br>''orang-orang berjalan miring''<br>''dan hari menjadi putih''<br>''lalu kulihat masa depan mengintipku''<br>''duduk menatap masa lalu''<br><br>''sejenak, aku ingin istirah di sini''<br>''menikmati segelas kopi''<br>''dan merampungkan setumpuk catatan''<br>''yang belum kulunaskan''<br>''namun takdir memaksaku''<br>''untuk segera berkemas dari rindu''<br>''mengusir hantu-hantu masa lalu''<br>''dan selekasnya pergi meninggalkan malam, bulan, dan gugusan kenangan''<br>''yang melayang-layang di kepalaku''<br><br>''Sanggar Suto, 2008–2012''{{sfnp|Romansha|2018||p=36–37|ps=}}</blockquote>
Yang namanya perjalanan ''“kepulangan”'' pasti ada awal dan akhir, ada terminal atau pelabuhan pemberangkatan da nada pula terminal atau pelabuhan akhir. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, penyair tidak lain adalah seorang pejalan, yakni pejalan yang menjejakan kakinya ''“dari Veteran sampai Juanda”'' (puisi: “Fragmen Jakarta, Dari Veteran Sampai Juanda”), yang ''“selalu banyak kemungkinan dalam pilihan”,'' dan tetap yakin bahwa ''“hidup dan kematian sama-sama gaibnya/tapi Tuhan memberkati kita/untuk meminjamkan tanggannya/merumuskan dan menentukan jalan/di buku kita masing-masing.'' Itulah sebabnya penyair memandang bahwa ''“perjalanan ini tidak biasa/bagi laki-laki yang biasa-biasa saja”.'' Mengapa tak bisa? Karena, ''“kau-aku sama-sama tak berdaya dan tak percaya/bahwa takdir punya rencana lain untuk kita/kita dipertemukan oleh ketidakmungkinan/sebab kewajaran hanya ada dalam pikiran”.''
|