Antropologi gizi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Nafaatha Sri (bicara | kontrib)
k suntingan
Nafaatha Sri (bicara | kontrib)
k suntingan
Baris 52:
 
== Variasi Makanan Suku Bangsa di lndonesia ==
Negara Indonesia memiliki beragam suku bangsa, perbedaan geografis. Bila dianalisis rasa makanan bisa digunakan untuk menafsirkan, menganalisis dan melihat sifat dan budaya suku bangsa penganutnya, misalnya suku Jawa memiliki selera rasa manis, mencerminkan sifat orang Jawa yang manis, halus, lemah-lembut tapi menyimpan sesuatu dibelakang.

Banyaknya rumah makan padang di seluruh lndonesia menggambarkan bahwa masakan padang dapat diterima lidah secara umum. Selain itu juga menggambarkan penerimaan terhadap suku Minangkabau, dimana suku. Minangkabau relatif dapat bekerjasama dengan baik dan jarang berkonflik dengan suku bangsa lain. Orang Minangkabau yang merantau salah satunya menjadi pengusaha karena dorongan adat dalam budaya Minangkabau yang matrilineal dimana kekuasaan ada pada pihak perempuan, mendorong kaum lelaki untuk pergi keluar daerah. Banyaknya orang Minangkabau yang berdagang termasuk bidang restoran menggambarkan jiwa suku minang yang merdeka, bebas dan legaliter.

Pekerjaan orang Madura banyak yang berjualan sate, dimana sate adalah makanan yang dibakar sehingga tidak terlalu matang, menggambarkan suku madura yang cenderung keras dan tidak terlalu berpikir panjang dalam mela. Makanan berkaitan erat dengan suku bangsa atau etnik, setiap etnik memiliki makanan khas. Indonesia memiliki beragam etnis, setiap etnis memiliki makanan khas.

Beberapa makanan etnik cukup terkenal. Tidak semua makanan khas populer dan familiar, bahkan bagi etniknya sendiri. Yogyakarta menjadi tujuan berbagai suku bangsa yang ada di lndonesia. Oleh karena itu banyak rumah makan yang menggunakan ciri khas daerah, seperti Aceh, Banjar, Makasar, Manado, Betawi, Cina, Bangka, dll. Rumah makan itu menggunakan ciri khas etnik, suku bangsa atau kedaerahan sebagai referensial, kekhasan dan sebagai cara menarik pengunjung.

Pengunjung rumah makan beridentitas suku atau etnik ada yang berasal dari daerahnya sebagai nostalgia terhadap daerah asalnya dan ada juga yang ingin mencoba makanan dari etnik lain. Rumah makan etnik itu juga melakukan penyesuaian dimana bumbu dan resepnya tidak sebagaimana aslinya namun menyesuaikan dengan ketersediaan yang ada di Yogyakarta.<ref>{{Cite book|last=Herlina|first=Muria|date=2017|url=http://repository.unib.ac.id/18877/1/Buku%20Sosiologi%20Kesehatan%20%28compressed%29.pdf|title=SOSIOLOGI KESEHATAN|location=Surabaya|publisher=PT Muara Karya|isbn=978-602-60043-7-6|url-status=live}}</ref>
 
== Kajian Makanan Dalam Perspektif Antropologi ==
Penelitian yang dilakukan oleh Audrey Richards pada orang Bantu, Afrika Selatan, boleh dikatakan penelitian awal yang cukup populer. Hasil penelitian yang telah dipublikasikan dalam bukunya berjudul Hunger and Work in a Savage Society (1932) tersebut dimulai dengan pernyataan Richards bahwa nutrisi sebagai suatu proses biologis dalam sebuah kebudayaan diatur jauh lebih mendasar daripada urusan seks (bandingkan dengan Bates (1958)<ref>{{Cite journal|last=Bates|first=Marston|date=1958-07|title=Symposium on Populations|url=http://dx.doi.org/10.2307/1931782|journal=Ecology|volume=39|issue=3|pages=562–562|doi=10.2307/1931782|issn=0012-9658}}</ref> dan Fox, 1994.<ref>{{Cite journal|last=Fox|first=Alicia|date=1994-02|title=Cookery corner|url=http://dx.doi.org/10.1016/s0269-915x(09)80683-6|journal=Mycologist|volume=8|issue=1|pages=39|doi=10.1016/s0269-915x(09)80683-6|issn=0269-915X}}</ref>

Studi klasik Audrey Richards tentang Bemba (sekarang Zambia) di Rhodesia Utara menyimpulkan bahwa alasan masyarakat Bemba tidak mau menjadi pekerja keras (terutama perhatian terhadap pertambangan British (Inggris) dan minat ekonomi lainnya) bukanlah sebuah pertanyaan yang berkaitan dengan kemalasan namun berkaitan dengan persoalan kurang gizi. Semenjak laki-laki bekerja keras di tambang, perempuan- perempuan merasa sangat sulit melakukan tugas pembukaan hutan yang berat yang secara tradisional biasanya dilakukan oleh laki-laki. Selama masa itu bertahun-tahun ketika perempuan lebih membutuhkan makanan bergizi untuk mendukung tenaga dalam membersihkan dan menanam di lahan, supplai makanan amat sedikit.

Kemudian, akhirnya mereka terlibat dalam siklus yang terus menerus dalam kondisi kurang produksi dan kurang gizi (Messer, 1984).<ref name=":4">{{Cite journal|last=Messer|first=E|date=1984-10|title=Anthropological Perspectives on Diet|url=http://dx.doi.org/10.1146/annurev.an.13.100184.001225|journal=Annual Review of Anthropology|volume=13|issue=1|pages=205–249|doi=10.1146/annurev.an.13.100184.001225|issn=0084-6570}}</ref> Studi-studi awal tentang makanan lebih banyak menyorot masalah kebiasaan makan sebagai suatu bentuk tingkah laku berpola yang sangat terkait dengan kebudayaan, yang mencakup juga kepercayaan dan pantangan makan yang berkembang dalam sekelompok masyarakat<ref>{{Cite web|last=Parker|first=Charles Thomas|last2=Garrity|first2=George M|date=2003-01-01|title=Exemplar Abstract for Prevotella ruminicola ruminicola (Bryant et al. 1958) Avguštin et al. 1997, Bacteroides ruminicola Bryant et al. 1958 (Approved Lists 1980), Bacteroides ruminicola ruminicola Bryant et al. 1958 (Approved Lists 1980) and Prevotella ruminicola (Bryant et al. 1958) Shah and Collins 1990 emend. García-López et al. 2019.|url=http://dx.doi.org/10.1601/ex.7981|website=The NamesforLife Abstracts|access-date=2022-01-02}}</ref>, dan juga berkaitan dengan faktor lingkungan sebagai sumber perolehan bahan pangan yang utama.<ref name=":5">{{Cite journal|last=McElroy|first=Ann|last2=Townsend|first2=Patricia K.|date=2018-04-19|title=Medical Anthropology in Ecological Perspective|url=http://dx.doi.org/10.4324/9780429493478|doi=10.4324/9780429493478}}</ref>
 
Kebiasaan makan sebagai kompleks kegiatan masak memasak (kulinari) terkait dengan bahan makanan, proses pengolahan, serta tekhnologi yang digunakan. Walaupun kebudayaan menen tukan apa yang bisa dimakan dan tidak, ketersediaan bahan makanan dan makanan dipengaruhi juga oleh komponen ekologis dan fisiologis manusia (Harris dalam Hartog, 1985).<ref name=":6">{{Cite journal|last=Hartog|first=Joop|date=1985-01|title=Earnings functions|url=http://dx.doi.org/10.1016/0165-1765(85)90037-0|journal=Economics Letters|volume=19|issue=3|pages=281–285|doi=10.1016/0165-1765(85)90037-0|issn=0165-1765}}</ref>
 
Kebiasaan makan sebagai kompleks kegiatan masak memasak (kulinari) terkait dengan bahan makanan, proses pengolahan, serta tekhnologi yang digunakan. Walaupun kebudayaan menen tukan apa yang bisa dimakan dan tidak, ketersediaan bahan makanan dan makanan dipengaruhi juga oleh komponen ekologis dan fisiologis manusia (Harris dalam Hartog, 1985).<ref name=":6">{{Cite journal|last=Hartog|first=Joop|date=1985-01|title=Earnings functions|url=http://dx.doi.org/10.1016/0165-1765(85)90037-0|journal=Economics Letters|volume=19|issue=3|pages=281–285|doi=10.1016/0165-1765(85)90037-0|issn=0165-1765}}</ref> Kajian lain menekankan pada pengaruh atau dampak makanan sebagai klasifikasi budaya tersebut terhadap kesehatan atau gizi masyarakat pendu kungnya. Jerome, Kandel & Pelto (1980)<ref name=":7">{{Cite book|last=Pelto|first=Gretel H.|last2=Jerome|first2=Norge W.|date=1980|url=http://dx.doi.org/10.1007/978-1-4757-0229-3_57|title=An Anthropological Perspective on Nutrition Program Evaluation|location=Boston, MA|publisher=Springer US|isbn=978-1-4757-0231-6|pages=553–571}}</ref> menyebut istilah ini dengan klasifikasi non- makanan yang juga berkontribusi terhadap kasus kurang gizi. Misalnya kajian yang dilakukan Gerlach (1964)<ref name=":8">{{Cite journal|last=GERLACH|first=LUTHER P.|date=1964-11|title=Socio-Cultural Factors Affecting the Diet of the Northeast Coastal Bantu|url=http://dx.doi.org/10.1016/s0002-8223(21)19705-6|journal=Journal of the American Dietetic Association|volume=45|issue=5|pages=420–424|doi=10.1016/s0002-8223(21)19705-6|issn=0002-8223}}</ref> tentang etiologi spritual atau supernatural yang diapplikasikan terhadap penyakit yang kita kenal sebagai penyebab kurang gizi. Ketidakcukupan makanan, dengan trauma psikologis karena dipisahkan dengan ibunya, seringkali memperburuk kondisi (Burgess dan Dean, 1962; Cravioto, 1966; Amann et al. 1972, Jerome, Kandel & Pelto, 1980).<ref name=":9">{{Cite journal|last=Gordon-Smith|first=D.J.|date=1962-09|title=MALNUTRITION AND FOOD HABITS. Edited by Anne Burgess and R. F. A. Dean. Tavistock Publications, 1962. Pp. 210. Price 20s|url=http://dx.doi.org/10.1177/001789696202000321|journal=Health Education Journal|volume=20|issue=3|pages=160–161|doi=10.1177/001789696202000321|issn=0017-8969}}</ref><ref name=":10">{{Cite journal|last=Cravioto|first=Joaquin|last2=DeLicardie|first2=Elsa R.|last3=Birch|first3=Herbert G.|date=1966-08-01|title=NUTRITION, GROWTH AND NEUROINTEGRATIVE DEVELOPMENT: AN EXPERIMENTAL AND ECOLOGIC STUDY|url=http://dx.doi.org/10.1542/peds.38.2.319|journal=Pediatrics|volume=38|issue=2|pages=319–320|doi=10.1542/peds.38.2.319|issn=0031-4005}}</ref><ref name=":7" /> Kwashiorkor yang terjadi akibat perpisahan anak dengan ibunya diistilahkan dengan omusana, di mana diyakini disebabkan oleh malam-malam yang “dingin” yang dilewati seorang anak yang jauh dari ibunya (Burgess & Dean, 1962:25, Jerome, Kandel & Pelto, 1980).<ref name=":9" /><ref name=":7" />
 
Larangan-larangan makan dapat dipandang sebagai sebuah ekspresi dari hukum moral Tuhan (seperti kashrut, larangan Islam terhadap babi, larangan sebelum paskah untuk makan daging, dan tabu totem dari beberapa wilayah). Kadang-kadang, kepercayaan terpusat pada hakekat nilai dari makanan yang dikaitkan dengan masa- masa kritis dalam life cycle, seperti: kehamilan, menyusui, penyakit, dsbnya. Seringkali, kepercayaan-kepercayaan seper ti ini berpengaruh netral terhadap gizi mereka, misalnya, orang Papago melarang makan garam dan gula pada ibu sampai tali pusar bayi lepas (Gonzalez, 1972)<ref name=":11">{{Cite journal|last=Gonzalez-Perez|first=Armando|last2=Gonzalez|first2=Emilio|last3=Lipp|first3=Solomon|last4=Pinera|first4=Humberto|date=1972-02|title=Spanish Cultural Reader|url=http://dx.doi.org/10.2307/326098|journal=The Modern Language Journal|volume=56|issue=2|pages=102|doi=10.2307/326098|issn=0026-7902}}</ref>, atau larangan terhadap binatang menjijikkan atau makanan yang kelihatan menjijikkan untuk melindungi bayi dari pertumbuhan yang jelek (Hughes, 1963).<ref name=":12">{{Cite journal|date=2018-02-06|title=Hughes, Edward David (1906–1963)|url=http://dx.doi.org/10.1093/odnb/9780192683120.013.34042|journal=Oxford Dictionary of National Biography|publisher=Oxford University Press}}</ref> Namun, beberapa tabu makanan juga telah membuang zat-zat gizi yang dibutuhkan, khususnya masa- masa kritis. Misalnya larangan terhadap telur dalam makanan wanita usia produktif untuk menghindari sterilitas dan komplikasi kelahiran (HEW, 1973);<ref name=":13">{{Cite journal|date=1973-09|title=Hew: Budget Blues|url=http://dx.doi.org/10.1038/245067a0|journal=Nature|volume=245|issue=5420|pages=67–67|doi=10.1038/245067a0|issn=0028-0836}}</ref> larangan minum susu bagi ibu menyusui; orang Burma mengurangi daging dan unggas selama masa kehamilan (Mead, 1955),<ref name=":14">{{Cite journal|last=Mead,|first=Robert G.|last2=Blanksten|first2=George I.|date=1955|title=Perón's Argentina|url=http://dx.doi.org/10.2307/40094996|journal=Books Abroad|volume=29|issue=4|pages=476|doi=10.2307/40094996|issn=0006-7431}}</ref> dan lain sebagainya.
 
Namun, beberapa tabu makanan juga telah membuang zat-zat gizi yang dibutuhkan, khususnya masa- masa kritis. Misalnya larangan terhadap telur dalam makanan wanita usia produktif untuk menghindari sterilitas dan komplikasi kelahiran (HEW, 1973);<ref name=":13">{{Cite journal|date=1973-09|title=Hew: Budget Blues|url=http://dx.doi.org/10.1038/245067a0|journal=Nature|volume=245|issue=5420|pages=67–67|doi=10.1038/245067a0|issn=0028-0836}}</ref> larangan minum susu bagi ibu menyusui; orang Burma mengurangi daging dan unggas selama masa kehamilan (Mead, 1955),<ref name=":14">{{Cite journal|last=Mead,|first=Robert G.|last2=Blanksten|first2=George I.|date=1955|title=Perón's Argentina|url=http://dx.doi.org/10.2307/40094996|journal=Books Abroad|volume=29|issue=4|pages=476|doi=10.2307/40094996|issn=0006-7431}}</ref> dan lain sebagainya.
 
Penelitian lainnya menekankan pada fungsi dan peranan makanan dalam masyarakat.<ref name=":15">{{Cite journal|last=Swasono|first=Meutia Farid|date=2014-08-06|title=Antropologi dan Integrasi Nasional|url=http://dx.doi.org/10.7454/ai.v30i1.3557|journal=Antropologi Indonesia|volume=30|issue=1|doi=10.7454/ai.v30i1.3557|issn=1693-6086}}</ref> Seperti yang ditemukan oleh Kahn, et al (1988)<ref name=":16" /> di wilayah Melanesia, Mikronesia dan Polinesia, bahwa makanan mempunyai peranan sosial sebagai sarana adat komunikasi, standar kekayaan, sebuah barometer status sosial, dan sebagai mediator simbolik dalam mendefinisikan dan memanipulasi kekerabatan dan hubungan sosial. Penelitian Davis (1995)<ref name=":2">{{Cite journal|last=Davis|first=Carol|date=1995-11|title=Hierarchy or complementarity? Gendered expressions of Minangkabauadat|url=http://dx.doi.org/10.1080/03062849508729853|journal=Indonesia Circle. School of Oriental & African Studies. Newsletter|volume=23|issue=67|pages=273–292|doi=10.1080/03062849508729853|issn=0306-2848}}</ref> di Minangkabau menemukan bahwa makanan bagi orang Minangkabau berfungsi sebagai sesuatu yang bermakna dalam komunikasi antar kelompok, ekspresi yang penting dalam hubungan-hubungan sosial seperti kepercayaan-kepercayaan, kecurigaan, konflik, keselarasan, status, dan simbol hubungan baru dan berkelanjutan. Pola-pola seleksi makanan, distribusi, dan konsumsi bervariasi dalam tipe-tipe masyarakat yang berbeda. Pada komunitas petani dan pada ekonomi- ekonomi yang ditandai dengan pertanian subsistensi, anggota-anggota keluarga yang secara ekonomi sangat produktif sering diberikan pilihan pertama memilih lauk yang berkualitas tinggi. Begitu juga dengan peran ibu dalam keluarga, karena ibu merupakan aktor kunci dalam proses produksi dan konsumsi makanan dalam keluarga. Seperti hasil penelitian yang ditunjukkan Marchione (1980:263)<ref>{{Cite journal|last=Haenel|first=H.|date=1982|title=Nutritional Anthropology: Contemporary Approaches to Diet and Culture. Herausgegeben von N. W. JEROME, R. F. KANDEL und G. H. FELTO. 433 Seiten, 11 Abb., 32 Tab. Redgrave Publ. Co., New York 1980. Preis: 12,80 $|url=http://dx.doi.org/10.1002/food.19820260127|journal=Food / Nahrung|volume=26|issue=1|pages=107–108|doi=10.1002/food.19820260127|issn=0027-769X}}</ref> di Jamaica bahwa faktor sosial- ekonomi dan faktor sosial budaya merupakan penyebab terjadinya gizi buruk dikalangan anak-anak.
 
Pada komunitas petani dan pada ekonomi- ekonomi yang ditandai dengan pertanian subsistensi, anggota-anggota keluarga yang secara ekonomi sangat produktif sering diberikan pilihan pertama memilih lauk yang berkualitas tinggi. Begitu juga dengan peran ibu dalam keluarga, karena ibu merupakan aktor kunci dalam proses produksi dan konsumsi makanan dalam keluarga. Seperti hasil penelitian yang ditunjukkan Marchione (1980:263)<ref>{{Cite journal|last=Haenel|first=H.|date=1982|title=Nutritional Anthropology: Contemporary Approaches to Diet and Culture. Herausgegeben von N. W. JEROME, R. F. KANDEL und G. H. FELTO. 433 Seiten, 11 Abb., 32 Tab. Redgrave Publ. Co., New York 1980. Preis: 12,80 $|url=http://dx.doi.org/10.1002/food.19820260127|journal=Food / Nahrung|volume=26|issue=1|pages=107–108|doi=10.1002/food.19820260127|issn=0027-769X}}</ref> di Jamaica bahwa faktor sosial- ekonomi dan faktor sosial budaya merupakan penyebab terjadinya gizi buruk dikalangan anak-anak.
Kebiasaan makan sebagai kompleks kegiatan masak memasak (kulinari) terkait dengan bahan makanan, proses pengolahan, serta tekhnologi yang digunakan. Walaupun kebudayaan menen tukan apa yang bisa dimakan dan tidak, ketersediaan bahan makanan dan makanan dipengaruhi juga oleh komponen ekologis dan fisiologis manusia (Harris dalam Hartog, 1985).<ref name=":6">{{Cite journal|last=Hartog|first=Joop|date=1985-01|title=Earnings functions|url=http://dx.doi.org/10.1016/0165-1765(85)90037-0|journal=Economics Letters|volume=19|issue=3|pages=281–285|doi=10.1016/0165-1765(85)90037-0|issn=0165-1765}}</ref> Kajian lain menekankan pada pengaruh atau dampak makanan sebagai klasifikasi budaya tersebut terhadap kesehatan atau gizi masyarakat pendu kungnya. Jerome, Kandel & Pelto (1980)<ref name=":7">{{Cite book|last=Pelto|first=Gretel H.|last2=Jerome|first2=Norge W.|date=1980|url=http://dx.doi.org/10.1007/978-1-4757-0229-3_57|title=An Anthropological Perspective on Nutrition Program Evaluation|location=Boston, MA|publisher=Springer US|isbn=978-1-4757-0231-6|pages=553–571}}</ref> menyebut istilah ini dengan klasifikasi non- makanan yang juga berkontribusi terhadap kasus kurang gizi. Misalnya kajian yang dilakukan Gerlach (1964)<ref name=":8">{{Cite journal|last=GERLACH|first=LUTHER P.|date=1964-11|title=Socio-Cultural Factors Affecting the Diet of the Northeast Coastal Bantu|url=http://dx.doi.org/10.1016/s0002-8223(21)19705-6|journal=Journal of the American Dietetic Association|volume=45|issue=5|pages=420–424|doi=10.1016/s0002-8223(21)19705-6|issn=0002-8223}}</ref> tentang etiologi spritual atau supernatural yang diapplikasikan terhadap penyakit yang kita kenal sebagai penyebab kurang gizi. Ketidakcukupan makanan, dengan trauma psikologis karena dipisahkan dengan ibunya, seringkali memperburuk kondisi (Burgess dan Dean, 1962; Cravioto, 1966; Amann et al. 1972, Jerome, Kandel & Pelto, 1980).<ref name=":9">{{Cite journal|last=Gordon-Smith|first=D.J.|date=1962-09|title=MALNUTRITION AND FOOD HABITS. Edited by Anne Burgess and R. F. A. Dean. Tavistock Publications, 1962. Pp. 210. Price 20s|url=http://dx.doi.org/10.1177/001789696202000321|journal=Health Education Journal|volume=20|issue=3|pages=160–161|doi=10.1177/001789696202000321|issn=0017-8969}}</ref><ref name=":10">{{Cite journal|last=Cravioto|first=Joaquin|last2=DeLicardie|first2=Elsa R.|last3=Birch|first3=Herbert G.|date=1966-08-01|title=NUTRITION, GROWTH AND NEUROINTEGRATIVE DEVELOPMENT: AN EXPERIMENTAL AND ECOLOGIC STUDY|url=http://dx.doi.org/10.1542/peds.38.2.319|journal=Pediatrics|volume=38|issue=2|pages=319–320|doi=10.1542/peds.38.2.319|issn=0031-4005}}</ref><ref name=":7" /> Kwashiorkor yang terjadi akibat perpisahan anak dengan ibunya diistilahkan dengan omusana, di mana diyakini disebabkan oleh malam-malam yang “dingin” yang dilewati seorang anak yang jauh dari ibunya (Burgess & Dean, 1962:25, Jerome, Kandel & Pelto, 1980).<ref name=":9" /><ref name=":7" />
 
Kebiasaan makan juga berkaitan dengan teknologi, organisasi sosial, dan kepercayaan masyarakat. Penelitian Rappaport pada tahun 1968<ref name=":17">{{Cite journal|last=Strathern|first=Marilyn|last2=Rappaport|first2=Roy A.|date=1968-12|title=Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea People.|url=http://dx.doi.org/10.2307/2798638|journal=Man|volume=3|issue=4|pages=687|doi=10.2307/2798638|issn=0025-1496}}</ref> pada masyarakat Tsembaga, merupakan satu contoh yang baik bagaimana kebiasaan makan berkaitan dengan teknologi, organisasi sosial, dan kepercayaan masyarakat (Rappaport dalam Bryant et al, 1985: 231-232). Kajian Rappaport (1968) pada masyarakat Tsembaga juga dapat menjadi contoh bagaimana lingkungan (termasuk lingkungan fisik dan sosial) mempengaruhi perkembangan kebudayaan. Kajian ini juga menunjukkan bagaimana teknologi, organisasi sosial, dan ideologi bersinergi mempengaruhi pola-pola makan.<ref name=":17">{{Cite journal|last=Strathern|first=Marilyn|last2=Rappaport|first2=Roy A.|date=1968-12|title=Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea People.|url=http://dx.doi.org/10.2307/2798638|journal=Man|volume=3|issue=4|pages=687|doi=10.2307/2798638|issn=0025-1496}}</ref>
Larangan-larangan makan dapat dipandang sebagai sebuah ekspresi dari hukum moral Tuhan (seperti kashrut, larangan Islam terhadap babi, larangan sebelum paskah untuk makan daging, dan tabu totem dari beberapa wilayah). Kadang-kadang, kepercayaan terpusat pada hakekat nilai dari makanan yang dikaitkan dengan masa- masa kritis dalam life cycle, seperti: kehamilan, menyusui, penyakit, dsbnya. Seringkali, kepercayaan-kepercayaan seper ti ini berpengaruh netral terhadap gizi mereka, misalnya, orang Papago melarang makan garam dan gula pada ibu sampai tali pusar bayi lepas (Gonzalez, 1972)<ref name=":11">{{Cite journal|last=Gonzalez-Perez|first=Armando|last2=Gonzalez|first2=Emilio|last3=Lipp|first3=Solomon|last4=Pinera|first4=Humberto|date=1972-02|title=Spanish Cultural Reader|url=http://dx.doi.org/10.2307/326098|journal=The Modern Language Journal|volume=56|issue=2|pages=102|doi=10.2307/326098|issn=0026-7902}}</ref>, atau larangan terhadap binatang menjijikkan atau makanan yang kelihatan menjijikkan untuk melindungi bayi dari pertumbuhan yang jelek (Hughes, 1963).<ref name=":12">{{Cite journal|date=2018-02-06|title=Hughes, Edward David (1906–1963)|url=http://dx.doi.org/10.1093/odnb/9780192683120.013.34042|journal=Oxford Dictionary of National Biography|publisher=Oxford University Press}}</ref> Namun, beberapa tabu makanan juga telah membuang zat-zat gizi yang dibutuhkan, khususnya masa- masa kritis. Misalnya larangan terhadap telur dalam makanan wanita usia produktif untuk menghindari sterilitas dan komplikasi kelahiran (HEW, 1973);<ref name=":13">{{Cite journal|date=1973-09|title=Hew: Budget Blues|url=http://dx.doi.org/10.1038/245067a0|journal=Nature|volume=245|issue=5420|pages=67–67|doi=10.1038/245067a0|issn=0028-0836}}</ref> larangan minum susu bagi ibu menyusui; orang Burma mengurangi daging dan unggas selama masa kehamilan (Mead, 1955),<ref name=":14">{{Cite journal|last=Mead,|first=Robert G.|last2=Blanksten|first2=George I.|date=1955|title=Perón's Argentina|url=http://dx.doi.org/10.2307/40094996|journal=Books Abroad|volume=29|issue=4|pages=476|doi=10.2307/40094996|issn=0006-7431}}</ref> dan lain sebagainya.
 
Kebiasaan makan juga berkaitan dengan teknologi, organisasi sosial, dan kepercayaan masyarakat. Penelitian Rappaport pada tahun 1968<ref name=":17">{{Cite journal|last=Strathern|first=Marilyn|last2=Rappaport|first2=Roy A.|date=1968-12|title=Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea People.|url=http://dx.doi.org/10.2307/2798638|journal=Man|volume=3|issue=4|pages=687|doi=10.2307/2798638|issn=0025-1496}}</ref> pada masyarakat Tsembaga, merupakan satu contoh yang baik bagaimana kebiasaan makan berkaitan dengan teknologi, organisasi sosial, dan kepercayaan masyarakat (Rappaport dalam Bryant et al, 1985: 231-232). Kajian Rappaport (1968) pada masyarakat Tsembaga juga dapat menjadi contoh bagaimana lingkungan (termasuk lingkungan fisik dan sosial) mempengaruhi perkembangan kebudayaan. Kajian ini juga menunjukkan bagaimana teknologi, organisasi sosial, dan ideologi bersinergi mempengaruhi pola-pola makan.<ref name=":17">{{Cite journal|last=Strathern|first=Marilyn|last2=Rappaport|first2=Roy A.|date=1968-12|title=Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea People.|url=http://dx.doi.org/10.2307/2798638|journal=Man|volume=3|issue=4|pages=687|doi=10.2307/2798638|issn=0025-1496}}</ref> Beberapa penelitian lainnya menekankan pada makanan dan perubahan makan,<ref>{{Cite journal|last=Mintz|first=Sidney W.|last2=Du Bois|first2=Christine M.|date=2002-10|title=The Anthropology of Food and Eating|url=http://dx.doi.org/10.1146/annurev.anthro.32.032702.131011|journal=Annual Review of Anthropology|volume=31|issue=1|pages=99–119|doi=10.1146/annurev.anthro.32.032702.131011|issn=0084-6570}}</ref> walaupun beberapa ahli percaya bahwa kebiasaan makan sangat sulit diubah karena berkaitan dengan fungsi dan peranan sosialnya dan merupakan ekspresi diri.<ref>{{Cite journal|last=Miller|first=Valentine Rodger|date=1983-10|title=Cummins, Patricia W. Commercial French. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1982Cummins, Patricia W. Commercial French. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1982. Pp. xii, 356. $19.95.|url=http://dx.doi.org/10.3138/cmlr.40.1.131|journal=Canadian Modern Language Review|volume=40|issue=1|pages=131–132|doi=10.3138/cmlr.40.1.131|issn=0008-4506}}</ref><ref name=":14" /> Beberapa faktor yang dapat mengubah kebiasaan makan dan akhirnya mempengaruhi kondisi gizi tergambar dalam tulisan DeWalt (1993),<ref name=":18">{{Cite journal|last=DeWalt|first=Kathleen M.|date=1993-06|title=Nutrition and the commercialization of agriculture: Ten years later|url=http://dx.doi.org/10.1016/0277-9536(93)90383-f|journal=Social Science & Medicine|volume=36|issue=11|pages=1407–1416|doi=10.1016/0277-9536(93)90383-f|issn=0277-9536}}</ref> yang menunjukkan bahwa perubahan pertanian subsistensi kepada komersialisasi telah menyebabkan terjadinya perubahan pada konsumsi makan dan status gizi.<ref name=":18">{{Cite journal|last=DeWalt|first=Kathleen M.|date=1993-06|title=Nutrition and the commercialization of agriculture: Ten years later|url=http://dx.doi.org/10.1016/0277-9536(93)90383-f|journal=Social Science & Medicine|volume=36|issue=11|pages=1407–1416|doi=10.1016/0277-9536(93)90383-f|issn=0277-9536}}</ref> Kajian yang dilakukan Eide & Steady (1980)<ref>{{Cite journal|last=Eide|first=T. J|date=1980-07-19|title=Personal View|url=http://dx.doi.org/10.1136/bmj.281.6234.225|journal=BMJ|volume=281|issue=6234|pages=225–225|doi=10.1136/bmj.281.6234.225|issn=0959-8138}}</ref> di daerah rural Afrika tentang perubahan kebiasaan makan yang disebabkan oleh perubahan peranan ibu turut memperkaya kajian perubahan kebiasaan makan ini. Penelitian yang dilakukan Kahn, et al (1988)<ref name=":16" /> memperlihatkan bagaimana masyarakat di wilayah Melanesia dan Polinesia memilih makanan sebagai akibat beragamnya jenis makanan baru yang masuk ke wilayah tersebut. Agaknya, kajian mengenai “Food Habit” lama terhenti<ref name=":7" /> dan mulai kembali dengan tuntutan persoalan yang lebih luas dan kompleks.
Penelitian lainnya menekankan pada fungsi dan peranan makanan dalam masyarakat.<ref name=":15">{{Cite journal|last=Swasono|first=Meutia Farid|date=2014-08-06|title=Antropologi dan Integrasi Nasional|url=http://dx.doi.org/10.7454/ai.v30i1.3557|journal=Antropologi Indonesia|volume=30|issue=1|doi=10.7454/ai.v30i1.3557|issn=1693-6086}}</ref> Seperti yang ditemukan oleh Kahn, et al (1988)<ref name=":16" /> di wilayah Melanesia, Mikronesia dan Polinesia, bahwa makanan mempunyai peranan sosial sebagai sarana adat komunikasi, standar kekayaan, sebuah barometer status sosial, dan sebagai mediator simbolik dalam mendefinisikan dan memanipulasi kekerabatan dan hubungan sosial. Penelitian Davis (1995)<ref name=":2">{{Cite journal|last=Davis|first=Carol|date=1995-11|title=Hierarchy or complementarity? Gendered expressions of Minangkabauadat|url=http://dx.doi.org/10.1080/03062849508729853|journal=Indonesia Circle. School of Oriental & African Studies. Newsletter|volume=23|issue=67|pages=273–292|doi=10.1080/03062849508729853|issn=0306-2848}}</ref> di Minangkabau menemukan bahwa makanan bagi orang Minangkabau berfungsi sebagai sesuatu yang bermakna dalam komunikasi antar kelompok, ekspresi yang penting dalam hubungan-hubungan sosial seperti kepercayaan-kepercayaan, kecurigaan, konflik, keselarasan, status, dan simbol hubungan baru dan berkelanjutan. Pola-pola seleksi makanan, distribusi, dan konsumsi bervariasi dalam tipe-tipe masyarakat yang berbeda. Pada komunitas petani dan pada ekonomi- ekonomi yang ditandai dengan pertanian subsistensi, anggota-anggota keluarga yang secara ekonomi sangat produktif sering diberikan pilihan pertama memilih lauk yang berkualitas tinggi. Begitu juga dengan peran ibu dalam keluarga, karena ibu merupakan aktor kunci dalam proses produksi dan konsumsi makanan dalam keluarga. Seperti hasil penelitian yang ditunjukkan Marchione (1980:263)<ref>{{Cite journal|last=Haenel|first=H.|date=1982|title=Nutritional Anthropology: Contemporary Approaches to Diet and Culture. Herausgegeben von N. W. JEROME, R. F. KANDEL und G. H. FELTO. 433 Seiten, 11 Abb., 32 Tab. Redgrave Publ. Co., New York 1980. Preis: 12,80 $|url=http://dx.doi.org/10.1002/food.19820260127|journal=Food / Nahrung|volume=26|issue=1|pages=107–108|doi=10.1002/food.19820260127|issn=0027-769X}}</ref> di Jamaica bahwa faktor sosial- ekonomi dan faktor sosial budaya merupakan penyebab terjadinya gizi buruk dikalangan anak-anak.
 
Penelitian yang dilakukan Kahn, et al (1988)<ref name=":16" /> memperlihatkan bagaimana masyarakat di wilayah Melanesia dan Polinesia memilih makanan sebagai akibat beragamnya jenis makanan baru yang masuk ke wilayah tersebut. Agaknya, kajian mengenai “Food Habit” lama terhenti<ref name=":7" /> dan mulai kembali dengan tuntutan persoalan yang lebih luas dan kompleks.
Kebiasaan makan juga berkaitan dengan teknologi, organisasi sosial, dan kepercayaan masyarakat. Penelitian Rappaport pada tahun 1968<ref name=":17">{{Cite journal|last=Strathern|first=Marilyn|last2=Rappaport|first2=Roy A.|date=1968-12|title=Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea People.|url=http://dx.doi.org/10.2307/2798638|journal=Man|volume=3|issue=4|pages=687|doi=10.2307/2798638|issn=0025-1496}}</ref> pada masyarakat Tsembaga, merupakan satu contoh yang baik bagaimana kebiasaan makan berkaitan dengan teknologi, organisasi sosial, dan kepercayaan masyarakat (Rappaport dalam Bryant et al, 1985: 231-232). Kajian Rappaport (1968) pada masyarakat Tsembaga juga dapat menjadi contoh bagaimana lingkungan (termasuk lingkungan fisik dan sosial) mempengaruhi perkembangan kebudayaan. Kajian ini juga menunjukkan bagaimana teknologi, organisasi sosial, dan ideologi bersinergi mempengaruhi pola-pola makan.<ref name=":17">{{Cite journal|last=Strathern|first=Marilyn|last2=Rappaport|first2=Roy A.|date=1968-12|title=Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea People.|url=http://dx.doi.org/10.2307/2798638|journal=Man|volume=3|issue=4|pages=687|doi=10.2307/2798638|issn=0025-1496}}</ref> Beberapa penelitian lainnya menekankan pada makanan dan perubahan makan,<ref>{{Cite journal|last=Mintz|first=Sidney W.|last2=Du Bois|first2=Christine M.|date=2002-10|title=The Anthropology of Food and Eating|url=http://dx.doi.org/10.1146/annurev.anthro.32.032702.131011|journal=Annual Review of Anthropology|volume=31|issue=1|pages=99–119|doi=10.1146/annurev.anthro.32.032702.131011|issn=0084-6570}}</ref> walaupun beberapa ahli percaya bahwa kebiasaan makan sangat sulit diubah karena berkaitan dengan fungsi dan peranan sosialnya dan merupakan ekspresi diri.<ref>{{Cite journal|last=Miller|first=Valentine Rodger|date=1983-10|title=Cummins, Patricia W. Commercial French. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1982Cummins, Patricia W. Commercial French. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1982. Pp. xii, 356. $19.95.|url=http://dx.doi.org/10.3138/cmlr.40.1.131|journal=Canadian Modern Language Review|volume=40|issue=1|pages=131–132|doi=10.3138/cmlr.40.1.131|issn=0008-4506}}</ref><ref name=":14" /> Beberapa faktor yang dapat mengubah kebiasaan makan dan akhirnya mempengaruhi kondisi gizi tergambar dalam tulisan DeWalt (1993),<ref name=":18">{{Cite journal|last=DeWalt|first=Kathleen M.|date=1993-06|title=Nutrition and the commercialization of agriculture: Ten years later|url=http://dx.doi.org/10.1016/0277-9536(93)90383-f|journal=Social Science & Medicine|volume=36|issue=11|pages=1407–1416|doi=10.1016/0277-9536(93)90383-f|issn=0277-9536}}</ref> yang menunjukkan bahwa perubahan pertanian subsistensi kepada komersialisasi telah menyebabkan terjadinya perubahan pada konsumsi makan dan status gizi.<ref name=":18">{{Cite journal|last=DeWalt|first=Kathleen M.|date=1993-06|title=Nutrition and the commercialization of agriculture: Ten years later|url=http://dx.doi.org/10.1016/0277-9536(93)90383-f|journal=Social Science & Medicine|volume=36|issue=11|pages=1407–1416|doi=10.1016/0277-9536(93)90383-f|issn=0277-9536}}</ref> Kajian yang dilakukan Eide & Steady (1980)<ref>{{Cite journal|last=Eide|first=T. J|date=1980-07-19|title=Personal View|url=http://dx.doi.org/10.1136/bmj.281.6234.225|journal=BMJ|volume=281|issue=6234|pages=225–225|doi=10.1136/bmj.281.6234.225|issn=0959-8138}}</ref> di daerah rural Afrika tentang perubahan kebiasaan makan yang disebabkan oleh perubahan peranan ibu turut memperkaya kajian perubahan kebiasaan makan ini. Penelitian yang dilakukan Kahn, et al (1988)<ref name=":16" /> memperlihatkan bagaimana masyarakat di wilayah Melanesia dan Polinesia memilih makanan sebagai akibat beragamnya jenis makanan baru yang masuk ke wilayah tersebut. Agaknya, kajian mengenai “Food Habit” lama terhenti<ref name=":7" /> dan mulai kembali dengan tuntutan persoalan yang lebih luas dan kompleks.
 
Kajian-kajian tentang nutrisi dan makanan mulai mengarah lebih luas ke dalam hal politik dan kebijakan pangan. Misalnya tulisan Susan George dalam bukunya Food for Beginners (1982, 2007),<ref name=":19">{{Cite book|first=Susan|first2=George|date=2007|url=https://in.b-ok.as/book/6109542/ac4c00|title=Pangan : Dari Penindasan Sampai Ke Ketahanan Pangan|location=Yogyakarta|publisher=INSIST Press|isbn=979-3457-62-7|url-status=live}}</ref> jelas-jelas menolak alasan klise yang menyesatkan tentang penyebab kelaparan di dunia ketiga seperti populasi yang terlalu padat, iklim dan sistem pertanian yang tidak efisien, dan sebagainya. Yang dibahas dalam buku tersebut justru mengetengahkan permainan kejam agribisnis multinasional, metode neo-Malthusian, dan neo- Kolonialisme, sekaligus membuka topeng pemberi dana yang sok suci sekaligus membongkar akar eksploitasi. Sebagai salah satu contohnya, George (2007) mencatat bencana kelaparan yang terjadi di Irlandia pada tahun 1846-1850 sebagai salah satu bencana kelaparan terparah yang pernah terjadi di Eropa.<ref name=":19">{{Cite book|first=Susan|first2=George|date=2007|url=https://in.b-ok.as/book/6109542/ac4c00|title=Pangan : Dari Penindasan Sampai Ke Ketahanan Pangan|location=Yogyakarta|publisher=INSIST Press|isbn=979-3457-62-7|url-status=live}}</ref>