Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Dani1603 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Dani1603 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 7:
Tommy kemudian menjadi ketua BPPC pada Januari 1991. Di bawah BPPC, tergabung PT Kerta Niaga, 828 Koperasi Unit Desa (KUD), dan 5 pengusaha (termasuk PT Bina Reksa Perdana) yang membentuk PT Kembang Cengkeh Nasional (sebelumnya Konsorsium Cengkeh Nasional).<Ref>[https://books.google.co.id/books?newbks=1&newbks_redir=0&hl=id&id=uGgWAQAAMAAJ&dq=unsur+koperasi+yaitu+KUD+yang+sudah+diseleksi+%2C+dan+unsur+swasta+yaitu+PT+Kembang+Cengkeh+Nasional+sebagai+...&focus=searchwithinvolume&q=KUD Kamus ekonomi: istilah pasar modal & perdagangan internasional]</ref> Walaupun usulan BPPC ditentang oleh asosiasi pengusaha rokok Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), namun gagal. Bahkan, Mendag saat itu mengklaim bahwa BPPC adalah alat demi menyempurnakan perdagangan cengkih, suatu hal yang diiyakan oleh Tommy yang menafsirkan BPPC adalah alat membantu petani cengkih. Dengan modal 90.000 ton cengkeh, BPPC memulai operasionalnya.<ref name=BPPC/><ref name=BPPC2/><ref name=BPPC4/> Pemerintah kemudian menyalurkan kredit berbunga rendah ke BPPC sebesar Rp 569 miliar dan pinjaman dari [[Bank Bumi Daya]] senilai Rp 190 miliar, yang merupakan hasil dari lobi Tommy pada sang ayah pada April dan Oktober 1991.<ref name=BPPC6>[https://tirto.id/keculasan-orde-baru-membuat-harga-cengkeh-hancur-dhpR Keculasan Orde Baru Membuat Harga Cengkeh Hancur]</ref><ref name=BPPC2/><ref name=BPPC5/> Hal itu dilakukan setelah Tommy gagal meminjam uang dari [[Sultan Brunei]] sebesar US$ 650 juta (yang dianggap sebagai hutang negara) dan sebelumnya meminta dari [[Bank Indonesia]] untuk meminjamkan dana dengan jumlah hampir serupa (US$ 600 juta).<ref name=BPPC2/>
 
Awalnya, para petani memang terbantu, ketika harga cengkih mereka dibeli sesuai yang dijanjikan. Akan tetapi, kemudian mereka makin banyak menanam dan menghasilkan cengkih karena tawaran harga yang stabil, sementara pabrik kretek yang dirugikan kemudian mengurangi penggunaan cengkih mereka atau memaksimalkan stok yang ada. Belum lagi masalah beberapa pabrik kretek yang bisa membeli di luar BPPC karena korupsi pengelolaannya di daerah penghasil kretek.<ref name=BPPC/> Tidak hanya itu, pengusaha rokok kretek kemudian menaikkan harga produk mereka sehingga pembelinya menurun.<ref name=BPPC2/> Akibatnya, justru pemerintah dirugikan karena pajak rokok menurun.<ref name=BPPC7>[https://books.google.co.id/books?id=CpT_HleBbEMC&pg=PA269&dq=clove+monopoly&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwivmJ7Wqcj3AhW1SmwGHRQsCiEQ6AF6BAgIEAI#v=onepage&q=clove%20monopoly&f=false The Politics of Power: Freeport in Suharto's Indonesia]</ref> PadaMuncullah masalah berupa ketidakseimbangan ''supply and demand'' ([[penawaran dan permintaan]]) cengkih di pasaran. Februari 1992, Tommy menyatakan bahwa dari 117.000 ton cengkih yang dibeli dari petani dan 90.000 cengkih simpanan BPPC, mereka hanya mampu menjual 37.000 ton saja. Secara mengejutkan, Tommy lalu memerintahkan petani untuk membakar dan menebang pohon cengkih mereka.<ref>[https://books.google.co.id/books?id=6hxqDwAAQBAJ&pg=PT275&dq=BPPC+clove+IMF&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjNtNKUwsj3AhXbFLcAHd3YDvwQ6AF6BAgDEAI#v=onepage&q=BPPC%20clove%20IMF&f=false Liem Sioe Liong's Salim Group]</ref> Ketika sejumlah pejabat [[Golkar]] menolak usulan tersebut, Tommy menegur mereka dengan alasan para pejabat tersebut tidak berkompeten untuk mengurusi cengkih.<ref name=BPPC/> Tidak hanya itu, akibat BPPC menolak membeli cengkih dan ketika di saat yang bersamaan tidak ada pihak lain yang bisa membeli, harga cengkih per kilogram pun melorot dari harga yang dijanjikan (Rp 7.000) menjadi di bawah Rp 2.000 saja, bahkan pernah juga melorot menjadi Rp 250/kg, di saat BPPC tetap menetapkan angka Rp 10.000-12.000 untuk dijual ke pabrik rokok.<ref name=BPPC6/><ref name=BPPC/>
 
Meskipun masalah mulai muncul, pada 11 dan 16 April 1992, Soeharto justru mengeluarkan regulasi untuk memberikan legitimasi bagi kehadiran BPPC, dalam Keppres No. 20/1992 dan Inpres No. 1/1992. Pemerintah saat itu menjanjikan bahwa harga cengkih akan dipatok di harga Rp 6.000-7.900, meskipun masih banyak potongan-potongan biaya kepada petani.<reF>[https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/80230/Keppres%20No%2020%20TH%201992.pdf Keppres No. 20/1992]</ref><Ref>[https://www.bphn.go.id/data/documents/92ip001.pdf Inpres 1/1992]</ref> Belum lagi adanya janji "Dana Penyertaan Modal" (DPM) dan "Simpanan Wajib Khusus Petani" (SWKP) yang diambil dari keuntungan BPPC yang diperkirakan mencapai Rp 2 miliar, rupanya tidak pernah disalurkan kepada mereka.<ref name=BPPC9>[https://news.detik.com/berita/d-784184/cengkeh-berbau-tommy-soeharto Cengkeh Berbau Tommy Soeharto]</ref> Pada saat yang sama, BPPC terus diuntungkan dengan harga cengkeh yang tidak riil, ditambah adanya komisi dan pajak dalam perdagangan cengkih.<ref name=BPPC7/> Cengkih yang digunakan harus diperiksa BPPC, dan pemerintah mengancam adanya penyitaan dan denda jika pabrik rokok tidak menurutinya.<Ref>[https://books.google.co.id/books?id=o9oh45hmGzEC&pg=PA88&dq=BPPC+clove&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjBqJrSvcj3AhUzRmwGHSajAR4Q6AF6BAgFEAI#v=onepage&q=BPPC%20clove&f=false Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets]</ref> Tidak lama kemudian, harga resmi cengkih pun diturunkan menjadi Rp 6.000/kg untuk mencegah petani menanam stok cengkih. Tommy kemudian juga meminta INKUD untuk mengendalikan perdagangan cengkih di luar Jawa, dengan kewajiban mereka tidak boleh menjual cengkih sampai BPPC selesai menghabiskan stok cengkih mereka. Artinya, kebijakan membeli cengkih kini ada di tangan INKUD, sementara BPPC melenggang bebas menjual cengkih dan mendapat keuntungan. INKUD kemudian juga diminta untuk membayar pinjaman pemerintah yang diberikan kepada BPPC.<ref name=BPPC/><ref name=BPPC5/>