Juanga: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Pranala
Referensi
Baris 10:
 
=== Indonesia ===
Menurut sebuah manuskrip yang mungkin dibuat oleh António Galvão ca.pada sekitar 1544 kapal dibuat dengan cara ini: Bentuk di tengah-tengah kapal menyerupai telur (''he ovedo no meio'') dan kedua ujungnya melengkung ke atas. Dengan demikian, kapal dapat berlayar maju maupun mundur. Kapal-kapal ini tidak diberi paku atau dempul. Lunas rusuk, serta linggi depan dan Iinggi belakangnya disesuaikan dan dicat dengan tali ijuk (''guamuto'', dalam bahasa setempat ''gomuto'') melalui lubang yang dibuat di beberapa tempat tertentu. Di bagian dalam terdapat bagian yang menonjol yang berbentuk cincin untuk tempat memasukkan tali pengikatnya sehingga dari luar tidak kelihatan sama sekali. Untuk menyambung papan-papannya mereka menggunakan pena pada ujung papan lainnya dibuat lubang kecil untuk memasukkan pena tersebut. Sebelum menyambung papan-papan ini di sela-selanya diberi pena supaya air tidak dapat masuk: dengan disambung bersama-sama, papan-papan berapit-apit sehingga kelihatan seolah-olah berdiri dari satu bilah saja. Di bagian haluan dimasukkan “kayu (yang diukir) berupa ular dengan kepala naga yang bertanduk seperti kijang”.<ref>Poesponegoro (1981). p. 112-113112–113.</ref>
 
Bilamana kapal telah selasai, sepuluh atau dua belas balok yang dikerjakan baik-baik diletakkan melintang dari lambung ke lambung. Balok-balok ini disebut ''ngaju'', berfungsi sebagai penunjang seperti pada kapal galai, diletakkan baik-bailk sampai tidak goyah lagi. ''Ngaju'' ini menonjol ke luar di sebelah-menyebelah kapal satu, dua, atau tiga ''braca'' (1 ''braca'' kira-kira sama dengan 0,3043 meter) menurut besar kapalnya. Di atas ''Ngaju'' ini, sejajar dengan kapal, diikatkan dua atau tiga baris bambu, yang disebut ''cangalha''. Di tempat ini para pandayung duduk (jadi di atas air), terpisah dan pendayung lain yang berada di dalam ruang kapal. Paling ujung dari ''ngaju'' ini terdapat beberapa kayu bercabang. Disebut pagu, sebagai tempat mengikat bambu lain yang lebih besar dan lebih panjang, bambu ini diberi nama samsah (semah-semah, nama setempat untuk [[cadik]]), untuk menunjang jika kapal oleng.<ref>Poesponegoro (1981). p. 113.</ref>
 
Pada bagian ''ngaju'' yang terdapat di kapal, dibuat sebuah lantai darin rotan yang dibelah dua, semacam tingkat atas atau geladak, yang dinamakan ''baileo''. Apabila mereka mau berbuat jahat terhadap orang yang melayari kapal itu, yakni orang yang bersenjata, mereka dapat menyapu ''baileo'' itu bersama ''ngaju''-nya; dan tentara tersebut jatuh ke dalam air dan tenggelam. “Di ''Baileo'' ini dibuatkan bilik-bilik seperti ''toldo'' dan ''conves'', yaitu bagian di kapal Portugis dahulu khusus untuk perwira dan berbaring atau duduk di atas aula, dan di sampingnya ada tempat untuk kapten, mentri, dan prajurit bersenjata. Mereka ini disebut “orang ''baileo''”. Di atas bilik-bilik ini ditutup dengan tikar, yang disebut ''kakoya'', dari haluan sampai ke bagian buritan seperti tenda pada galai (''como temdes de geuale'') untuk tempat berteduh terhadap panas matahari dan hujan. Para ''kolano'' bersama saudaranya dan para ''sangaji'' memakai tanda yang dibuat dari ''kakoya'' putih dan yang dinamakan ''papajangga'', bersegi empat. Pada tiap sudut tenda ini berkibar sebuah bendera dari bulu seperti ekor ayam, selain itu ada dua bendera lainnya di depan hampir setinggi permukaan air laut, masing-masing di kiri dan kanan, dibuat dari kain merah “yang tidak bersegi empat melainkan menyerupai lidah”. Bendera raja dikibarkan dari tiang di tengah kapal.<ref>Poesponegoro (1981). p. 113-114113–114.</ref>
[[Berkas:Kora_kora_of_the_King_of_Ternate.jpg|jmpl|Kora-kora Raja Ternate dengan 7 meriam. Tempat tidur mewah sang raja bisa dilihat.]]
Ketika sang raja dan kapten-kapten bersama menteri berlayar diatas ''baileo'', putera mereka yang masih muda tinggal di bagian bawah, yang lain duduk di ''cangalha'' sambil berdayung. Apabila putra-putra ini naik pangkat, mereka disuruh naik ke ''baileo'' dan tidak usah mendayung lagi. Ini merupakan kehormatan besar bagi mereka . Kalau tidak berjasa, mereka tidak boleh memakai pedang atau diberi kenaikan pangkat, yang sama harganya seperti dianugerahi gelar. Dari ''cangalha'' mereka dinaikkan ke dalam kapal, dan hal ini pun sudah merupakan kehormatan. Kemudian kalau berjasa, dinaikkan lagi ke ''baileo'' dan barulah mereka melepas kayuhnya. Kayuh ini diukir sangat bagus, ringan, dan berbentuk sebagai ujung tombak besi, kadang-kadang juga bundar. Tangkainya berukuran satu ''covado'' (± 20 inci, 50,8 cm), berkepala sebagai salib kecil (''huma cruzeta peqeuna'') untuk pegangan tangan, sedangkan tangan kiri memegang daunnya. Mereka mengayuh bebas (dayungnya tidak diikat). Dan mereka disebut ''pamguayo'' (pengayuh). Kayunya dipakai pula sebagai piring makan dan tempat untuk memotong barang apa saja (''servem de comer neles e d'al qualquer cousa em hum trimcho''). Layarnya dibuat dari kain goni atau dari tikar.<ref name=":0" />
Baris 40:
 
=== Indonesia ===
Juanga pertama kali dicatat dalam naskah Portugis tentang sejarah Maluku, yang kemungkinan besar ditulis oleh António Galvão sekitar tahun 1544 yang diterbitkan oleh H. Jacobs, S. J. Isinya adalah gambaran bagaimana masyarakat Maluku (Utara) membangun kapalnya.<ref>Poesponegoro (1981). p. 112.</ref><ref>Hubert Theodorus Thomas Marie Jacobs (ed.) (1971). ''A treatise on the Moluccas (c. 1544) probably the preliminary version of António Galvão's lost História das Molucas''. Rome: Jesuit historical institute. p. 156, 157, 162-163162–163.</ref> Juanga digunakan oleh Sultan Khairun dari Ternate untuk mengangkut pasukan dalam konflik Ternate-Portugis antara tahun 1530-1570.<ref>Amal (2016). p. 252.</ref>
 
Setelah pemberontakan di Tidore berakhir pada tahun 1722, orang Patani dan Maba yang mengungsi ke Galela sejak tahun 1720 dipindahkan ke Salawati di kepulauan Raja Ampat dengan menggunakan total 30 juanga. Pada 4 Juli 1726, 17 juanga dan 6 perahu besar sarat dengan orang [[Papua]] dan Patani merapat di depan [[benteng Oranje]] dan mendarat di pemukiman Melayu di samping benteng. Dari sini masyarakat Papua dan Patani berjalan menuju istana Sultan Ternate untuk melaporkan berbagai perlakuan yang mereka alami dari para petinggi Kesultanan Tidore. VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) mengirim pejabat untuk berbicara dengan para pembelot. Kepada pejabat VOC orang Papua dan Patani menyatakan keinginannya untuk menjadi bawahan Kesultanan Ternate dan perusahaannya. Mereka juga menuntut diperlakukan sebagai pengungsi dan dijamin keamanannya.<ref>Amal (2016). p. 149.</ref> Pangeran Nuku pada 1804 menggunakan juanga dalam pemberontakannya melawan Belanda (c. 1780-1810), untuk memobilisasi pasukan untuk menyerang Halmahera Utara.<ref>Amal (2016). p. 39.</ref>
Baris 60:
 
* Amal, M. Adnan (2016). ''[https://books.google.co.id/books?id=aCdIDwAAQBAJ&pg=PA39&dq=juanga&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiBm_zU4-jsAhXS5nMBHVZRCMEQ6AEwAHoECAUQAg#v=onepage&q=juanga&f=false Kepulauan Rempah-rempah]''. Kepustakaan Populer Gramedia. {{ISBN|9786024241667|}}.
*Galvão, António (1971). Jacobs, Hubert Theodorus Thomas Marie (ed.). ''A Treatise on the Moluccas (c. 1544), probably the preliminary version of António Galvão's lost Historia das Moluccas''. Rome: Jesuit Historical Institute.
* Mallari, Francisco (1989). "[[iarchive:spanish-navy-in-the-philippines-1589-1787|The Spanish Navy in the Philippines, 1589-1787]]". Philippine Studies Vol. 37, No. 4. pp. 412-439412–439.
* Marwati Djoened Poesponegoro and Nugroho Notosusanto (1981). ''[[iarchive:sejarah-nasional-indonesia-iii|Sejarah Nasional Indonesia III]]''. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
* ''[[iarchive:the-lashed-lug-boat-eastern-archipelagoes/mode/2up|The Lashed-lug Boat of the Eastern Archipelagoes, the Alcina MS and the Lomblen Whaling Boats]]''. By G. Adrian Horridge. Greenwich, London: National Maritime Museum. Maritime Monographs and Reports No. 54, 1982. Illustrations, Notes, References.