Kabupaten Karawang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Dikembalikan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 16:
| desa = 297<!--dibandingkan Permendagri 72/2019-->
| kelurahan = 12<!--dibandingkan Permendagri 72/2019-->
| bahasa = [[Bahasa Sunda|Sunda]] (dominan)<br>[[Bahasa Indonesia|Indonesia]] (resmi/utama)
[[Bahasa Jawa|Jawa]]
| agama = [[Islam]] 98,04%<br>[[Kristen]] 1,68%<br>–[[Protestan]] 1,35%<br>–[[Katolik]] 0,33%<br>[[Buddha]] 0,25%<br> [[Hindu]] 0,02%<br> [[Konghucu]] 0,01%
| kodearea = 0264 dan 0267 (Khusus Wilayah Eks-Kawedanan Cikampek)
Baris 39:
| web = {{URL|https://www.karawangkab.go.id/}}
| translit_lang1_type = [[Aksara Sunda]]
| translit_lang1_type1 = [[Cacarakan|Carakan/Cacarakan]]
| translit_lang1_info = {{sund|ᮊᮛᮝᮀ}}
| translit_lang1_info1 = {{Jav|ꦏꦧꦸꦥꦠꦼꦤ꧀ꦏꦫꦮꦁ}}
}}
'''Karawang''' ([[
Pada tahun 2012, kabupaten Karawang memiliki pembangunan proyek-proyek besar yaitu Summarecon, Agung Podomoro, Agung Sedayu, Metland dan lain-lain. Sejarah Monumen Gempol Ngadeupa di Karawang Selatan, dalam catatan sejarah Indonesia, pada tanggal 16 Agustus 1945, Sukarno beserta beberapa orang merumuskan Kemerdekaan Republik Indonesia di [[Peristiwa Rengasdengklok|Rengasdengklok]].
Baris 55:
::''Pinang tiwi ngubu cai,''
Dalam [[
[[Cornelis de Houtman]], orang Belanda pertama yang menginjakkan kakinya di pulau Jawa, pada tahun 1596 menuliskan adanya suatu tempat yang bernama Karawang sebagai berikut:
Baris 161:
== Demografi ==
Penduduk Kabupaten Karawang mempunyai mata pencaharian yang beragam, tetapi di sejumlah kecamatan, mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani atau pembajak sawah karena Kabupaten Karawang adalah daerah penghasil padi.
Baris 324:
Pada bulan Oktober 2014, tradisi ''Mapag Sri'' diadakan kembali sebagai tanda berakhirnya kekosongan tradisi syukuran panen. Tradisi ini selama kurang lebih lima puluh tahun hampir tidak pernah digelar di blok Cibango, [[Cilamaya, Cilamaya Wetan, Karawang|desa Cilamaya]], [[Cilamaya Wetan, Karawang|kecamatan Cilamaya Wetan]], kabupaten Karawang. Tradisi ini juga disempurnakan dengan pagelaran wayang kulit cirebon gaya ''kulonan'' (''cilamaya'').
Menurut Aef Sudrajat, yang merupakan ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Saluyu sekaligus yang menggelar syukuran tersebut, kekosongan yang terjadi selama kurang lebih lima puluh tahun disebabkan oleh modernisasi dan rendahnya kesadaran masyarakat untuk melestarikan tradisi syukuran.<ref>[http://www.radar-karawang.com/2014/10/petani-gelar-wayang-kulit.html Radar Karawang - Petani Gelar Wayang Kulit] (edisi tahun 2014)</ref> Berkurangnya masyarakat yang melakukan tradisi syukuran ''mapag sri'' dimungkinkan terjadi dalam kondisi masyarakat yang mayoritas muslim dikarenakan dalam salah satu urutan prosesi tradisi ''mapag sri'' ada sebuah prosesi mengarak simbolisasi [[Sri|dewi sri]] untuk mengelilingi kampung yang oleh beberapa kalangan masyarakat muslim bagian ini dianggap tidak Islami walau bagian lain dalam prosesi syukuran ''mapag sri'' pada budaya Jawa Cirebon telah kental nuansa Islamnya. Beberapa masyarakat adat Cirebon telah mengganti simbolisasi [[Sri|dewi sri]] ini dengan sepasang pengantin padi seperti pada tradisi ''mapag sri'' di pesisir timur [[kabupaten Indramayu]] sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman.<ref>Pambudi, J. 2013. Mapag Sri, Cara Petani Syukuri Hasil Bumi. Bandung: Pikiran Rakyat</ref>
Pada masyarakat adat Cirebon di wilayah Cilamaya dan sekitarnya, tradisi syukuran ''mapag sri'' dimaknai sebagai wujud syukur kepada Allah swt menjelang musim panen, tradisi syukuran ''mapag sri'' merupakan bagian dari rangkaian tradisi panen, pascapanen dan menjelang tanam padi, pada masyarakat adat Cirebon di wilayah Cilamaya dan sekitarnya rangkaian tradisi selanjutnya setelah syukuran ''mapag sri'' adalah tradisi hajat bumi atau dalam bahasa setempat dikenal dengan istilah ''Babaritan'' yang dilakukan setelah prosesi panen dan kemudian tradisi ''mapag cai'' ( membawa air ) yang dilakukan menjelang musim tanam.
|