Sanggar Dewata Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
k ~ref |
||
Baris 1:
'''Sanggar Dewata Indonesia''' adalah komunitas perupa yang diciptakan oleh sejumlah mahasiswa [[Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI]] dan seniman asal Bali, seperti Made Wianata, Nyoman Gunarsa, Pande Gde Supada, Nyoman Arsana, dan Wayan Sika. Komunitas ini didirikan pada 15 Desember 1970 dari Balai Banjar "Saraswati" di kampung Baciro. Pada awalnya, tujuan dari SDI adalah untuk mengakomodasi seniman Bali namun kemudian menjadi lebih dinamis dan terbuka. Selain itu, SDI juga berfungsi sebagai sarana untuk menghubungkan antara mereka dengan masyarakat seni rupa yang lebih luas.<ref name=":0">{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/848263279|title=Almanak seni rupa Indonesia : secara istimewa Yogyakarta|last=1978-|first=Dahlan, Muhidin M.,|isbn=9789791436298|location=[Jakarta]|oclc=848263279}}</ref> SDI juga dilegalitaskan menjadi suatu badan hukum bernama ‘Yayasan Sanggar Dewata Indonesia’ semenjak 1 Oktober 1986. Ia merupakan sanggar seni yang bersifat terbuka dan independen, berwawasan universal yang berazaskan Pancasila. Tujuan yayasan ini seperti yang tertuang pada akte notaris di Yogyakarta yakni (1) pembinaan kader seniman, budayawan, seni tari, karawitan Indonesia; (2) mencari corak nasional yang bersumber pada nilai-nilai luhur yang ada di bumi Indonesia; (3) memberikan rangsangan-rangsangan kepada senirupawan Indonesia, sebagai acuan kreativitas seni budaya bangsa; (4) memberikan hadiah-hadiah penghargaan kepada seniman-seniman/budayawan Indonesia. Yayasan inilah yang memelopori lahirnya dua penghargaan prestisius yang diberikan kepada para seniman profesional, budayawan, dan pendukung seni, berupa penghargaan ‘Lempad Prize’ dan ‘Cokot Prize’.
Pengelolaan sumber daya manusia seniman diaspora Bali di SDI adalah mengelola keberagaman, mengelola kecairan sekat-sekat disiplin kesenian, menjauhkan sikap primordial dengan mengusung nasionalisme berasaskan Pancasila. Warisan sikap budaya ini berpijak pada konsep filosofis lokalitas Bali menjadi semacam barometer untuk hidup selaras lingkungan, selaras kondisi dan seiring waktu (konsep ''desa kala patra'') namun juga memiliki implikasi atas sikap kritis seniman SDI dalam mempertimbangkan gerak transformasi kreatifnya di medan seni rupa Indonesia dan global. bahwa proses kreatif tersebut tidak tunggal/absolute tetapi mengandung beragam dimensi seperti konsep ''Rwa Bhineda yakni oposisi biner yang bersifat'' dualitas, namun saling mengisi dan menyeimbangkan.
|