Perang Padri: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
TendoHideaki12 (bicara | kontrib)
Kasih referensi, jangan sekadar dimasukkan begitu saja.
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Addy Mukhziae (bicara | kontrib)
Baris 8:
|place = [[Sumatra Barat]], [[Sumatra Utara]] dan [[Riau]]
|casus = Pertikaian [[Kaum Padri]] melawan [[Kaum Adat]], kemudian melibatkan Belanda.
|result = * Kemenangan Belanda.
* Pembubaran [[Kerajaan Pagaruyung]]
* Penangkapan dan Pengasingan [[Tuanku Imam Bonjol]]
|combatant1 = Perang [[1803]]–[[1821]]:{{br}}[[Berkas:Flag of Minang.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Adat]]{{br}} Perang [[1821]]–[[1833]]:{{br}}[[Berkas:Flag of Minang.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Adat]]{{br}}{{flag|Belanda}}{{br}}Perang [[1833]]–[[1838]]:{{br}}{{flag|Belanda}}{{br}}
 
Baris 20 ⟶ 21:
|casualties2 =
}}
'''Perang Padri''' berlangsung di kawasan [[SumatraKerajaan BaratPagaruyung]] dan(saat sekitarnya terutama di kawasanini [[KerajaanSumatra PagaruyungBarat|Sumatera Barat]]) dari tahun 1803 hingga 1838.<ref>{{cite book|first=Jeanne|last=Cuisinier|year=1959|title=Archives de Sociologie des Religions|chapter=La Guerre des Padri (1803-1838-1845)|publisher=Centre National de la Recherche Scientifique}}</ref> Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah adat sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
 
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai [[Kaum Padri]] terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut [[Kaum Adat]] di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti [[perjudian]], [[Sabung ayam|penyabungan ayam]], [[Opium|penggunaan madat]], [[minuman keras]], [[tembakau]] tercualiterkecuali [[sirih]], dan juga aspek hukum adat matriarkatmatriarki mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama [[Islam]].<ref name="Yudhi">{{cite book|title=Sejarah|publisher=Yudhistira Ghalia Indonesia|ISBN=978-979-746-801-9}}</ref> Tidak adanya kesepakatan dariPadahal Kaum Adat yangKerajaan padahalPagaruyung telah memeluk Islam namun tidak secara serius untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
 
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai [[perang saudara]] yang melibatkan sesama [[Orang Minang]] dan [[Suku Mandailing]]. Dalam peperangan ini, ''Kaum Padri'' dipimpin oleh [[Harimau Nan Salapan]] sedangkan KaumK''aum Adat'' dipimpinan oleh [[Yang Dipertuan Pagaruyung]] waktusaat itu [[Sultan Arifin Muningsyah]]. Pada 1821, Kaum Adat yang mulai terdesak, dan meminta bantuan kepada [[Belanda]], padanamun tahunakhirnya 1821.memperumit Namunkeadaan keterlibatandan Belandasituasi inidi justrupihak memperumitKaum keadaan,Adat sehinggadan sejakKerajaan. tahunSehingga pada 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun padasampai akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan oleh Belanda.
 
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta, dan mengorbankanmemakan jiwakorban ragajiwa. Perang ini selainberakibat meruntuhkanpada runtuhnya kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, jugaserta berdampak pada merosotnya perekonomian masyarakat di sekitarnya, dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.
 
== LatarPerang belakangPadri I 1803-1825 ==
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang [[Haji]] dari [[Mekkah]] sekitar tahun 1803, yaitu [[Haji Miskin]], [[Haji Sumanik]] dan [[Haji Piobang]] yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat [[Minangkabau]].<ref>Azra, Azyumardi (2004). ''The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries''. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.</ref> Mengetahui hal tersebut, [[Tuanku Nan Renceh]] sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.<ref>Ampera Salim, Zulkifli (2005). ''Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer''. Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.</ref>
 
=== Latar Belakang 1803-1821 ===
Harimau Nan Salapan kemudian meminta [[Tuanku Lintau]] untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa [[nagari]] dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan [[Tuanku Pasaman]] menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di [[Koto Tangah, Tanjung Emas, Tanah Datar|Koto Tangah]]. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.<ref name="Aboe">Nain, Sjafnir Aboe (2004). ''Memorie Tuanku Imam Bonjol''. Padang: PPIM.</ref> Dari catatan [[Stamford Raffles|Raffles]] yang pernah mengunjungi [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa [[Istano Basa|Istana Kerajaan Pagaruyung]] yang sudah terbakar.<ref>Raffles, Sophia (1830). ''Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles''. London: J. Murray.</ref>
Perang Padri dilatarbelakangiberawal olehsesaat kepulangansetelah kembalinya tiga orang [[HajiUlama Minangkabau|alim ulama]] dari [[Mekkah]] sekitar tahun 1803, yaitu [[Haji Miskin]], [[Haji Sumanik]] dan [[Haji Piobang]] yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat [[Minangkabau]].<ref>Azra, Azyumardi (2004). ''The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries''. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.</ref> Mengetahui hal tersebut, [[Tuanku Nan Renceh]] sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Hajiulama. tersebut bersamaBersama dengan ulama lain, didelapan Minangkabautokoh yangini tergabungdikenal dalamsebagai Harimau Nan Salapan (Harimau yang Delapan).<ref>Ampera Salim, Zulkifli (2005). ''Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer''. Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.</ref>
 
Harimau Nan Salapan kemudian meminta [[Tuanku Lintau]] untukyang mengajakmemiliki kedekatan dan kekerabatan dengan [[Raja Pagaruyung|Yang Dipertuan Pagaruyung]] [[Muningsyah dari Pagaruyung|Sultan Arifin Muningsyah]] besertauntuk mengajak Kaum Adat untukagar meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa kali perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. SeiringKonflik ituini mendorong terjadinya gejolak diantara beberapa [[nagari]] dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknyasampai pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan [[Tuanku Pasaman|Tuanku Lintau]] menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di [[Koto Tangah, Tanjung Emas, Tanah Datar|Koto Tangah]]. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.<ref name="Aboe">Nain, Sjafnir Aboe (2004). ''Memorie Tuanku Imam Bonjol''. Padang: PPIM.</ref> Dari catatanCatatan [[Stamford Raffles|Thomas Stamford Raffles]] yang pernah mengunjungi [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa [[Istano Basa|Istana Kerajaan Pagaruyung]] yang sudah terbakar.<ref>Raffles, Sophia (1830). ''Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles''. London: J. Murray.</ref>
== Keterlibatan Belanda ==
Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Sultan Tangkal Alam Bagagar]] meminta bantuan kepada [[Belanda]] pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.<ref name="Rusli Amran">{{cite book|first=Rusli|last=Amran|authorlink=Rusli Amran|year=1981|title=Sumatra Barat hingga Plakat Panjang|publisher=Penerbit Sinar Harapan}}</ref> Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah [[Hindia Belanda]], kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai ''Regent Tanah Datar''.<ref>G. Kepper, (1900). ''Wapenfeiten van Het Nederlands Indische Leger; 1816-1900''. Den Haag: M.M. Cuvee.</ref>
 
=== Keterlibatan Belanda 1821-1825 ===
Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan [[Simawang, Rambatan, Tanah Datar|Simawang]] dan [[Sulit Air, X Koto Diatas, Solok|Sulit Air]] oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah [[Residen]] James du Puy di [[Padang]].<ref>''Episoden Uit Geschiedenis der Nederlandsche Krigsverrigtingen op Sumatra’s Westkus''. Indisch Magazijn 12/1, No. 7. 1844:116.</ref> Kemudian pada [[8 Desember]] [[1821]] datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh [[Antoine Theodore Raaff|Letnan Kolonel Raaff]] untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
KarenaPada terdesak21 dalamFebruari peperangan1821, karena telah terdesak dan keberadaan [[Yang Dipertuan Pagaruyung]] yangdi tidak pastipengasingan, makakemenakan Kaum Adat yang dipimpin olehbeliau, [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Sultan Tangkal Alam BagagarBagagarsyah]] yang disertai beberapa pemuka [[Kaum Adat]] meminta bantuan kepada [[Belanda]]. padaMeski tanggal 21 Februari 1821demikian, walaupunbeberapa sebetulnyaKaum SultanAdat Tangkalyang Alamlain Bagagarmerasa waktubahwa itu[[Bagagarsyah dianggapdari tidakPagaruyung|Bagagarsyah]] berhak membuattidak perjanjianmemiliki denganhak mengatasnamakanmewakili Kerajaan Pagaruyung.<ref name="Rusli Amran">{{cite book|first=Rusli|last=Amran|authorlink=Rusli Amran|year=1981|title=Sumatra Barat hingga Plakat Panjang|publisher=Penerbit Sinar Harapan}}</ref> AkibatLewat daripengajuan perjanjianbantuan ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda pengajuan penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah [[Hindia Belanda]], kemudian mengangkat [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Sultan Tangkal Alam Bagagar]] sebagai ''Regent Tanah Datar''.<ref>G. Kepper, (1900). ''Wapenfeiten van Het Nederlands Indische Leger; 1816-1900''. Den Haag: M.M. Cuvee.</ref>
 
KeterlibatanSebagai Belandabagian dalamatas perangpersetujuan karenabantuan diundangBelanda, oleh kaumKaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai denganmenyerahkan penyerangandaerah [[Simawang, Rambatan, Tanah Datar|Simawang]] dan [[Sulit Air, X Koto Diatas, Solok|Sulit Air]] oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah [[Residen]] James du Puy di [[Padang]].<ref>''Episoden Uit Geschiedenis der Nederlandsche Krigsverrigtingen op Sumatra’s Westkus''. Indisch Magazijn 12/1, No. 7. 1844:116.</ref> Kemudian pada [[8 Desember]] [[1821]] datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh [[Antoine Theodore Raaff|Letnan Kolonel Raaff]] untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Fort van der Capellen Sumatra`s Westkust TMnr 60003554.jpg|jmpl|ka|''Fort van der Capellen'']]
 
Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di [[Batusangkar]] dengan nama [[Fort Van der Capellen]], sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di [[Lintau Buo, Tanah Datar|Lintau]].<ref name="Lange">H. M. Lange (1852). ''Het Nederlandsch Oost-Indisch leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845)''. ‘S Hertogenbosch: Gebroeder Muller. I: 20-1</ref> Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di [[Tanjung Alam, Tanjung Baru, Tanah Datar|Tanjung Alam]] dihadang oleh Kaum Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke [[Luhak Agam]]. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di [[Baso, Agam|Baso]], Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
 
Pada 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di [[Tanjung Alam, Tanjung Baru, Tanah Datar|Tanjung Alam]] dihadang oleh Kaum Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke [[Luhak Agam]]. Pada 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di [[Baso, Agam|Baso]], Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan [[Kaum Padri]] yang dipimpin oleh [[Tuanku Nan Renceh]].
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, tetapi pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.<ref name="Dobbin">Dobbin, C.E. (1983). ''Islamic revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847''. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.</ref> Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami [[demam|demam tinggi]].<ref>P. C. Molhuysen en P.J. Blok (1911). ''Nieuw Nederlands Biografisch Woordenboek''. Deel 2, Bladzijde 1148.</ref>
 
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, [[Antoine Theodore Raaff|Letkol Raaff]] mencoba kembali menyerang [[Lintau]], tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke [[Batusangkar (kota)|Batusangkar]]. SementaraPada pada1824, tahun[[Muningsyah 1824dari Pagaruyung|Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah]] kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan[[Antoine KolonelTheodore Raaff|Letkol Raaff]], tetapi pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.<ref name="Dobbin">Dobbin, C.E. (1983). ''Islamic revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847''. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.</ref> Sedangkan Raaff sendiritelah meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami [[demam|demam tinggi]].<ref>P. C. Molhuysen en P.J. Blok (1911). ''Nieuw Nederlands Biografisch Woordenboek''. Deel 2, Bladzijde 1148.</ref>
Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan [[Frans Laemlin|Mayor Frans Laemlin]] telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya [[Koto Tuo, IV Koto, Agam|Koto Tuo]] dan [[Ampang Gadang, IV Angkek, Agam|Ampang Gadang]]. Kemudian mereka juga telah menduduki [[Biaro Gadang, IV Angkek, Agam|Biaro]] dan [[Kapau, Tilatang Kamang, Agam|Kapau]], tetapi karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.<ref>Nederlandse Staatscourant (10 Juni 1825).</ref>
 
Sementara pada bulanPada September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan [[Frans Laemlin|Mayor Frans Laemlin]] telah berhasil menguasai beberapa kawasan di [[Luak Agam|Luhak Agam]] di antaranya [[Koto Tuo, IV Koto, Agam|Koto Tuo]] dan [[Ampang Gadang, IV Angkek, Agam|Ampang Gadang]]. Kemudian mereka juga telah menduduki [[Biaro Gadang, IV Angkek, Agam|Biaro]] dan [[Kapau, Tilatang Kamang, Agam|Kapau]], tetapi karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.<ref>Nederlandse Staatscourant (10 Juni 1825).</ref>
== Gencatan senjata ==
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh [[Tuanku Imam Bonjol]] untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.<ref name="Yudhi"/> Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di [[Eropa]] dan [[Jawa]] seperti [[Perang Diponegoro]].
 
== Gencatan senjataSenjata 1825 - 1831 ==
Selama periode [[gencatan senjata]], Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di [[Bukit Marapalam]], [[Kabupaten Tanah Datar]] yang mewujudkan konsensus bersama ''Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah'' yang artinya [[adat Minangkabau]] berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada [[Al-Qur'an]].<ref>Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, dan Mohamad, Maznah (2009). ''Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia'', Bab 6: ''Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira''. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-874-0</ref>
Perlawanan yang dilakukan oleh [[Kaum Padri]] cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh [[Tuanku Imam Bonjol]] untuk berdamai dengan maklumatmelalui "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.<ref name="Yudhi" /> Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di [[Eropa]] dan [[Jawa]] seperti [[Perang Diponegoro]].
 
Selama periode [[gencatan senjata]], [[Tuanku Imam Bonjol]] mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali [[Kaum Adat]]. Sehingga akhirnya munculterjadi suatu kompromikesepakatan yang dikenal dengan nama "Plakat[[Sumpah PuncakSatie PatoBukit Marapalam|Sumpah Satie Bukik Marapalam]]" di [[Bukit Marapalam]], [[Kabupaten Tanah Datar]] yang mewujudkan konsensus bersama ''Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah'' yang artinyabermakna bahwa [[adatAdat Minangkabau]] berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada [[Al-Qur'an]].<ref>Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, dan Mohamad, Maznah (2009). ''Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia'', Bab 6: ''Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira''. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-874-0</ref>[[Berkas:Portret van Tuanku Imam Bonjol.jpg|jmpl|170px|[[Tuanku Imam Bonjol]], salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh [[Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers|de Stuers]] pada tahun [[1820]].]]
== Tuanku Imam Bonjol ==
 
[[Berkas:Portret van Tuanku Imam Bonjol.jpg|jmpl|kiri|170px|[[Tuanku Imam Bonjol]], salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh [[Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers|de Stuers]] pada tahun [[1820]].]]
=== Tuanku Imam Bonjol ===
{{utama|Tuanku Imam Bonjol}}
[[Tuanku Imam Bonjol]] yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh [[Tuanku Nan Renceh]] sebagai Imam di [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]].<ref>Munasifah (2007). ''Ayo Mengenal Indonesia: Sumatra 1''. Jakarta: CV. Pamularsih. hlm. 51. ISBN 978-979-1494-31-1</ref> Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.<ref>Mardjani Martamin (1984). ''Tuanku Imam Bonjol''. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.</ref>
 
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan keliru yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain [[fanatisme]] tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.<ref name="Aboe"/>
 
=== PeperanganPerang jilidPadri keduaII 1831-1838 ===
Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman [[kopi]] yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (''darek''). Sampai [[abad ke-19]], komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. [[Christine Dobbin]] menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.<ref name="Dobbin"/>
 
=== Jatuhnya Luhak Nan Tigo 1829-1833 ===
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari [[Pandai Sikek, Sepuluh Koto, Tanah Datar|Pandai Sikek]] yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi [[mesiu]] dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun [[benteng]] di [[Kota Bukittinggi|Bukittinggi]] yang dikenal dengan nama [[Fort de Kock (benteng)|Fort de Kock]].
Setelah berakhirnya perang[[Perang Diponegoro]] dan pulihnya kekuatan [[Hindia Belanda|Belanda]] di Jawa, [[Hindia Belanda|Pemerintah Hindia Belanda]] kembali mencoba untuk menundukan [[Kaum Padri]]. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman [[kopi]] yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (''wilayah'' ''darek''). Sampai [[abad ke-19]], komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. [[Christine Dobbin]] menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.<ref name="Dobbin" />
 
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yanggencatan telah dibuat sebelumnyasenjata dengan menyerang nagari [[Pandai Sikek, Sepuluh Koto, Tanah Datar|Pandai Sikek]] yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi [[mesiu]] dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun [[benteng]] di [[Kota Bukittinggi|Bukittinggi]] yang dikenal dengan nama [[Fort de Kock (benteng)|Fort de Kock]]. Pada awal [[Agustus]] [[1831]], [[Lintau]] berhasil ditaklukkan dan menjadikan [[Luhak Tanah Datar]] berada dalam kendali Belanda. Namun [[Tuanku Lintau]] masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan [[Luhak Limo Puluah]].
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Bezoek van de gouverneur-generaal aan Fort de Kock Sumatra TMnr 10001575.jpg|jmpl|ka|Persiapan pasukan Belanda di ''Fort de Kock'']]
 
Pada awal bulan Agustus [[1831]] Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan [[Luhak Tanah Datar]] berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan [[Luhak Limo Puluah]]. Sementara ketika [[Cornelis Pieter Jacob Elout|Letnan Kolonel Elout]] melakukan berbagai serangan terhadap [[Kaum Padri]] antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan [[Sentot Prawirodirdjo]], salah seorang panglima pasukan [[Pangeran Diponegoro]] yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun kemudian [[Cornelis Pieter Jacob Elout|Letnan Kolonel Elout]] berpendapat, kehadiran [[Sentot Prawirodirdjo|Sentot]] yang ditempatkan di [[Lintau]] justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatra. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkandibuang dan ditahan di [[Bengkulu]], lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkansedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.
 
[[Berkas:Sentot, opperbevelhebber der rebellen.jpg|jmpl|kiri|170px|[[Sentot Prawirodirdjo]], yang diilustrasikan oleh [[Justus Pieter de Veer]].]]
Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta[[Batavia]] dikirim pasukan [[infantri]] dalam jumlah besar di bawah pimpinan [[Letnan Kolonel]] [[Ferdinand P. Vermeulen Krieger]], untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulanPada Oktober 1832, [[Luak Limo Puluah|Luhak Limo Puluah]] telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya [[Tuanku Lintau]].<ref>Zakariya, Hafiz (2006). ''Islamic reform in colonial Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh al-Hadi''. ProQuest. ISBN 0-542-86357-X.</ref> Kemudian [[Kaum Padri]] terus melakukan konsolidasi dan berkubu di [[Kamang Magek, Agam|Kamang]], tetapi seluruh kekuatan Kaum Padri di [[Luhak Agam]] juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya [[Kamang Magek, Agam|Kamang]] pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan [[Luak|kawasan luhak]] dan bertahan di Bonjol.
 
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis [[Kaum Padri]]. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang MantinggiMatinggi, tetapi sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan [[Tuanku Rao]] yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.<ref>Nederlandse Staatscourant (17-06-1833).</ref> Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada tanggal [[29 Januari]] [[1833]], Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani [[peluru]]. Kemudian ia dinaikkan ke atas [[kapal]] untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke [[laut]] oleh tentara Belanda.<ref>Said, Mohammad (1961). ''Dari halaman2 terlepas dalam catatan tentang tokoh Singamangaradja XII''. [[Waspada (surat kabar)|Waspada]].</ref>
 
=== Konsolidasi Kaum Adat dan Kaum Padri 1833 ===
=== Perlawanan bersama ===
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Adathoofden van de Minangkabau met gevolg TMnr 10026889.jpg|jmpl|ka|200px|[[Kaum Adat]]]]
Sejak tahun [[1833]] mulai muncul kompromi antara [[Kaum Adat]] dan [[Kaum Padri]].<ref>Abdullah, Taufik (1966). ''Adat dan Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau''. Indonesia. No. 2, 1-24.</ref> Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau;<ref>Nederlandse Staatscourant (29-05-1833).</ref> disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Sultan Tangkal Alam Bagagar]] yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai ''Regent Tanah Datar'', ditangkap oleh pasukan [[Cornelis Pieter Jacob Elout|Letnan Kolonel Elout]] pada tanggal 2 Mei 1833 di [[Batusangkar (kota)|Batusangkar]] atas tuduhan pengkhianatan. Kemudiandan Belanda mengasingkannyadiasingkan ke [[Batavia]],. walau dalamDalam catatan Belanda [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Sultan Tangkal Alam Bagagar]] menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, tetapi pemerintah [[Hindia Belanda]] juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan ''Regent Tanah Datar'' kemudian diberikan kepada [[Tuan Gadang]] di [[Batipuh, Tanah Datar|Batipuh]].<ref name="Rusli Amran"/>
 
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "[[Plakat Panjang]]" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para [[penghulu]] mereka dan tidak pula diharuskan membayar [[pajak]]. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat [[jalan]], membuka [[sekolah]], dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.
 
=== Serangan ke Bonjol 1833-1835 ===
[[Berkas:Luitenant-kolonel-Raaff-voo.jpg|jmpl|kiri|[[Antoine Theodore Raaff|Letnan Kolonel Raaff]] dan pasukannya, dilukiskan oleh [[Justus Pieter de Veer]]. Raaff meninggal dunia sebelum berakhirnya Perang Padri.]]
[[Berkas:Heldhaftig-gedrag-van-luite.jpg|jmpl|kiri|Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri, diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.]]
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa [[Daftar Penguasa Hindia Belanda|Gubernur Jenderal Hindia Belanda]] [[Johannes van den Bosch]] pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses [[operasi militer]] yang dilakukan oleh pasukan Belanda.<ref>Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat Indonesia (1964). ''Sejarah Singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia''. Staf Angkatan Bersenjata.</ref> Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan [[Komisaris]] [[Pesisir Barat Sumatra]], [[Carel Jan Riesz|Mayor Jenderal Riesz]] dan [[Cornelis Pieter Jacob Elout|Letnan Kolonel Elout]] untuk segera menaklukkan [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]], pusat komando pasukan Padri. Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
 
[[Carel Jan Riesz|Riesz]] dan [[Cornelis Pieter Jacob Elout|Elout]] menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]], karena kesetiaan penduduk [[Luhak Agam]] masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi [[Johannes van den Bosch|van den Bosch]] bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta penangguhan enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik [[Perang gerilya|serangan gerilya]] yang diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa [[senjata]] dan [[pakaian]] yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia Belanda digantikan oleh [[Jean Chrétien Baud]], Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
 
Taktik [[Perang gerilya|serangan gerilya]] yang diterapkan [[Kaum Padri kemudian]] berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]], bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa [[senjata]] dan [[pakaian]] yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia Belanda digantikan oleh [[Jean Chrétien Baud]], Van[[Johannes van den Bosch|van den Bosch]] membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.
 
Kemudian selama tahunSelama 1834, Belanda hanya fokusmemfokuskan pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] dengan mengerahkan ribuan tenaga [[kerja paksa]]. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak [[Belanda]] juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh [[Johan Heinrich Conrad Bauer|Letnan Kolonel Bauer]], memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari [[Matur, Agam|Matur]] dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi [[sungai]] yang saat itu tengah dilanda [[banjir]], dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki [[gunung]] dan menuruni [[lembah]]; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
 
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh [[Johan Heinrich Conrad Bauer|Letnan Kolonel Bauer]], yang memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari [[Matur, Agam|Matur]] dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi [[sungai]] yang saat itu tengah dilanda [[banjir]], dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki [[gunung]] dan menuruni [[lembah]]; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi [[Batang Gantiang]], kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.<ref>J.C. van Rijnveld (1841). ''De Merkwaardige Terugtocht van Pisang op Agam''. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.</ref>
 
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi [[Batang Gantiang]], kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh [[Kaum Padri]]. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan dirimundur ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.<ref>J.C. van Rijnveld (1841). ''De Merkwaardige Terugtocht van Pisang op Agam''. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.</ref>
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah [[Lembah Alahan Panjang]]. Sebagai ''front'' terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.<ref>Abdul Qadir Djaelani, (1999), ''Perang sabil versus perang salib: umat Islam melawan penjajah Kristen Portugis dan Belanda'', Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah.</ref>
 
SelanjutnyaWalau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah [[Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok|Lembah Alahan Panjang]]. Sebagai ''front'' terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah [[Padang Laweh, Sungai Pua, Agam|Padang Lawas]] yang secara penuh masih dikuasai oleh [[Kaum Padri]]. Namun pada tanggal8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.<ref>Abdul Qadir Djaelani, (1999), ''Perang sabil versus perang salib: umat Islam melawan penjajah Kristen Portugis dan Belanda'', Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah.</ref>Selanjutnya pada 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur [[Batang Alahan Panjang]] dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
 
Pasukan Belanda berhasil mendekati [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan ''houwitser'', [[mortir]] dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
 
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Baris 100 ⟶ 106:
=== Benteng Bonjol ===
[[Berkas:Bondjol2.jpg|jmpl|ka|Lukisan [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] pada tahun [[1839]].]]
[[Benteng Bukit Tak Jadi|Benteng Bonjol]] terletak di atas [[bukit]] yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama [[Benteng Bukit Tajadi|Bukit Tajadi]]. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir [[Batang Alahan Panjang]], sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat [[parit]] yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari [[batu|batu-batu]] besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti [[benteng|benteng-benteng]] di Eropa dan di atasnya ditanami [[bambu]] berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.<ref name="Boelhouwer">Boelhouwer, J.C. (1841). ''Herinneringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834''. Den Haag: Erven Doorman.</ref>
 
[[Semak|Semak belukar]] dan [[hutan]] yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.<ref name="TEMPO: Dari Catatan Harian Bonjol">[[Tempointeraktif]], 15 Oktober 2007. [http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/10/15/IQR/mbm.20071015.IQR125285.id.html Dari Catatan Harian Bonjol].</ref>
 
=== Pengepungan Bonjol 1835-1837 ===
[[Berkas:Aftocht van de bezetting van Amerongen.jpg|jmpl|ka|Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh [[Justus Pieter de Veer]].]]
Melihat kokohnya [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]], pasukan [[Belanda]] mencoba melakukan blokade terhadap [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan [[Kaum Padri|Padri]]. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan [[Kaum Padri]] secara [[gerilya]].

Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati [[syahid]].
 
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan [[tentara]] yang terdiri dari pasukan [[Bugis]] datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di [[Benteng Bukit Tajadi|Bukit Tajadi]], dan pasukan [[Bugis]] ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.<ref name="Cochius">''Journaal van de Expeditie Naar Padang Onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden Door de Majoor Sous-Chief van Den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis''. hlm. 59-183.</ref>
 
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan [[tentara]] yang terdiri dari pasukan [[Bugis]] datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di [[Benteng Bukit Tajadi|Bukit Tajadi]], dan pasukan [[Bugis]] ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.<ref name="Cochius">''Journaal van de Expeditie Naar Padang Onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden Door de Majoor Sous-Chief van Den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis''. hlm. 59-183.</ref> Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, [[Kaum Padri]] keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
 
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah [[Luhak Limo Puluah]] dan Padang Bubus, tetapi hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh [[Franciscus Fredericus Prager|Mayor Prager]].
 
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat [[Simpang Alahan Mati, Pasaman|Simpang dan Alahan Mati]] mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu [[Pulau Madura|Madura]] yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.[[Berkas:Cochius, FD.jpg|jmpl|kiri|170px|[[Frans David Cochius]], komandan penaklukan Benteng Bonjol.]]
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga [[Tuanku Imam Bonjol]]. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
 
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda]] di [[Batavia]] yang waktu itu telah dipegang oleh [[Dominique Jacques de Eerens]], kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama [[Frans David Cochius|Mayor Jenderal Cochius]] untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]] untuk kesekian kalinya.<ref>Tate, D. J. M. (1971). ''The Making of Modern South-East Asia: The European conquest''. Oxford University Press.</ref> Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang ''[[Benteng Stelsel]]''.
 
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)<ref name="Teitler">G. Teitler (2004). ''Het Einde Padri Oorlog: Het Beleg en de Vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een Bronnenpublicatie''. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. hlm. 59-183.</ref> dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti [[Suku Jawa|Jawa]], [[Suku Madura|Madura]], [[Suku Bugis|Bugis]] dan [[Suku Ambon|Ambon]]. Terdapat 148 perwira [[Suku Eropa-Indonesia|Eropa]], 36 perwira [[Pribumi-Nusantara|pribumi]], 1.103 tentara [[Suku Eropa-Indonesia|Eropa]], 4.130 tentara [[Pribumi-Nusantara|pribumi]], termasuk di dalamnya ''Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen'' (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor[[Frans JendralDavid Cochius,|Mayjen LetnanCochius]], KolonelLetkol Bauer, Mayor Sous, [[Franciscus Fredericus Prager|Mayor Prager]], Kapten MacLean, Letnan SatuLettu van der Tak, Pembantu Letnan SatuPeltu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama ''Inlandsche'' (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
 
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimanayang tiba pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan ''Sepoys'', serdadu dari [[Afrika]] yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari [[Ghana]] dan [[Mali]], terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
 
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan [[artileri]] yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan [[infantri]] dan [[kavaleri]] yang terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh [[Andreas Victor Michiels|Letnan Kolonel Michiels]] sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, [[Bukit Tajadi]] jatuh, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun [[Tuanku Imam Bonjol]] dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah [[Marapak]].
 
=== Penangkapan & Pengasingan Tuanku Imam Bonjol 1837 ===
=== Perundingan ===
Dalam pelarian dan persembunyiannya, [[Tuanku Imam Bonjol]] terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, tetapi karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
 
Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Hadler|first=Jeffrey|date=2008/08|title=A Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History|url=https://www.cambridge.org/core/journals/journal-of-asian-studies/article/historiography-of-violence-and-the-secular-state-in-indonesia-tuanku-imam-bondjol-and-the-uses-of-history/E87E1A7ADBE2861999240C78C27C0829|journal=The Journal of Asian Studies|language=en|volume=67|issue=3|pages=971–1010|doi=10.1017/S0021911808001228|issn=1752-0401}} Halaman 986-989, 1002</ref>
 
Pada tanggal 23 Januari 1838, Imam Bonjol dibuang ke [[Cianjur]], dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke [[Pulau Ambon|Ambon]]. Kemudian pada tanggalPada 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Lotta, [[Kabupaten Minahasa|Minahasa]], dekat [[Manado]], dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya. Pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal [[8 November]] [[1864]]. Beliau dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
 
[[Tuanku Imam Bonjol]] menulis autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi kekecewaannya terhadap masyarakat Bonjol yang terpecah dan tidak mau bersatu.<ref name=":0" /> Tulisan tersebut merupakan karya sastra [[autobiografi]] pertama dalam [[bahasa Melayu]] disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley,<ref>IMAM BONDJOL, TUANKU, and NAALI, SUTAN CANIAGO. 1925. Naskah Tuanku Imam Bondjol [manuscript in Arabic-script Minangkabau]. University of California, Berkeley. Doe
 
Library, DS646.15.S76.I43.</ref> dan 2004 di Padang.<ref name=":0" /><ref>IMAM BONDJOL, TUANKU. 2004. Naskah Tuanku Imam Bonjol. Transliterator Syafnir Aboe Nain. Padang: PPIM.</ref> di Padang.<ref name=":0" />
 
=== Akhir peperanganPerang Padri 1838 ===
[[Berkas:Padri War Monument.JPG|jmpl|ka|Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia Belanda]]
Meskipun pada tahun 1837 [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]] dapat dikuasai Belanda, dan [[Tuanku Imam Bonjol]] berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir [[Kaum Padri]], di Dalu-Dalu[[Daludalu, Tambusai, Rokan Hulu|Daludalu]] ([[Rokan Hulu]]), yang waktu itu telah dipimpin oleh [[Tuanku Tambusai]] jatuh pada 28 Desember 1838.<ref>''Sejarah Untuk SMP dan MTs''. Grasindo. ISBN 978-979-025-198-4.</ref> Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke [[Negeri Sembilan]] di [[Semenanjung Malaya]], dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai, kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari ''[[Pax Netherlandica]]'' dan wilayah ''[[Dataran Tinggi Padang|Padangse Bovenlanden]]'' telah berada di bawah pengawasan [[Hindia Belanda|Pemerintah Hindia Belanda]].
 
== Warisan sejarahSejarah ==
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap [[patriotisme]] kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]], pemerintah [[Hindia Belanda]] membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.<ref name="Boelhouwer"/> Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di [[Orang Minangkabau|Minangkabau]].<ref>Westenenk, L. C., (1913), ''Sumatra Illustrated Tourist Guide: A Fourteen Days’ Trip in the Padang Highlands'', Batavia (Weltevreden): Official Tourist Bureau.</ref> Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan [[Museum Tuanku Imam Bonjol|Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol]].