Petrus Kafiar: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 31:
Para warga kampung bermusyawarah, dan terbukti bahwa sakit keras yang diderita Sengaji akan membawa kematiannya. Dilakukan segala cara untuk menyembuhkan Sengaji dan mengangkatnya dari ajal yang akan datang. Pengobatan ini tidak hanya menggunakan dedaunan dan akar tumbuhan, namun juga menggunakan pemanggilan roh menggunakan orang hobatan dan peletakan patung-patung ''mon'' yang sudah dimasuki roh. Namun, pengobatan tersebut tetap tidak berhasil dan akhirnya, ayah Noseni pun tetap meninggal.<ref name="Rumainum2008"></ref>
Upacara pemakaman untuk ayah Noseni pun dilangsungkan. Menurut FJS Rumainum, pemakaman seorang kepala suku dalam tradisi sub-suku Urmbor terdiri dari beberapa tahapan<ref name="Rumainum2008" /><ref name=":2">{{Cite web|date=20 Februari 2018|title=Petrus Kafiar, Guru Pertama dari Papua (Part 1)|url=http://deleigeven.blogspot.com/2018/02/petrus-kafiar-guru-pertama-dari-papua.html|website=Deleigeven Historical|access-date=24 Juli 2022}}</ref>, seperti;
* Jenazah ayah Noseni diberikan beberapa perlakuan, yaitu ditekuk kedua lututnya dan ditutupnya kedua mata jenazah dengan pecahan piring (kedua hal tersebut ditujukan untuk menghindarkan orang yang hidup dari bahaya akan menyusul yang mati secara beriringan);
* Jenazah dibaringkan di rumah supaya orang yang ingin melayat dari jauh dapat melihat orang yang telah meninggal itu,
* * Penghancuran segala barang dan properti kepemilikan sang kepala suku termasuk rumah, piring, dan kebun beserta seluruh tanamannya. Hal ini dilakukan karena masyarakat sub-suku Urmbor percaya bahwa semua barang kepemilikan itu sudah tidak berguna lagi karena yang memiliknya (sang kepala suku) tidak akan pernah lagi memakainya.
* Pesta perkabungan yang dilaksanakan selama berhari-hari. Dalam pesta perkabungan ini, para perempuan keluarga Sengaji akan dicukur rambutnya dan dipakaikan kain hitam dan putih milik sang kepala suku, dan akan dibakar juga setelah pesta selesai.
* Penguburan jenazah sang kepala suku secara final setelah jasadnya hancur dan tersisa tulang belulang saja.
Satu kisah yang disoroti oleh FJS Rumainum dalam ''Guru Petrus Kafiar: Putra Tanah Papua Yang Pertama Menjadi Guru Penginjil'' adalah bahwa pada saat persemayaman jenazah ayahnya, Noseni mengambil sebuah patung ''mon'' yang mengelilingi jenazah beliau dan merusaknya dengan parang. Dituliskan bahwa setelah dia merusak patung itu, Noseni berkata: <blockquote>
''Aku sudah tidak lagi memercayaimu mulai sekarang, karena kau juga tidak dapat melepaskan ayahku dari bahaya maut/kematian!''
Baris 47 ⟶ 49:
Kematian sang kepala suku itu juga terdengar orang-orang di luar Kampung Maudori; salah satunya adalah orang-orang dari Kampung Korido. Mengetahui orang-orang Maudori bertolak ke Pulau Bepondi, orang-orang Korido melihat waktu ini sebagai waktu yang tepat untuk menyerang Kampung Maudori.
Penyerbuan Kampung Maudori pun dilaksanakan. Albert Rumbekwan mencatat ada 12 pejuang atau ''mambri'' yang dikirim untuk menyerbu Kampung Maudori yang tidak dilindungi itu<ref name=":1" />. Tanpa perlawanan yang cukup, para warga Maudori dapat dikalahkan dan barang-barang di sana dijarah. Dalam penyerangan ini, Noseni yang ditinggal sendirian di kampung ditawan oleh para ''mambri'' dan dibawanya ke Korido<ref name=":1" />. Para penyerang dari Korido kaget ketika mengetahui anak yang mereka tawan ini adalah seorang anak kepala suku; mereka takut orang-orang Maudori akan membalas dendam atas penculikan ini.<ref name="Rumainum2008" /> Diceritakan dalam ''Guru Petrus Kafiar: Putra Tanah Papua Yang Pertama Menjadi Guru Penginjil'' bahwa terjadi perdebatan di antara orang-orang Korido untuk mengembalikan Noseni atau tetap membawanya, namun kematian seseorang di antara mereka yang ikut menyerang Kampung Maudori dianggap oleh orang-orang Korido sebagai penebusan atas Noseni yang mereka culik (nyawa dibayar dengan nyawa)<ref name=":2" />, sehingga mereka berketetapan untuk membawa Noseni dan menjadikannya budak<ref name="Rumainum2008" /> kepada klan (Bahasa Biak: ''keret'') Rumasep<ref name=":1" />.
FJS Rumainum menuliskan fisik Noseni dalam usianya waktu itu menjadikannya budak yang handal, dan dia setia mengikuti para tuannya ke manapun mereka bekerja serta mematuhi segala perintah. Namun, kondisi perbudakan ini merupakan tahap kehidupan penuh penderitaan bagi Noseni.<ref name="Rumainum2008" />
Baris 63 ⟶ 65:
FJS Rumainum menulis dalam buku ''Guru Petrus Kafiar: Putra Tanah Papua Yang Pertama Menjadi Guru Penginjil'' tentang dua pengalaman yang membuka mata hati Noseni terhadap iman Kristiani.
Pengalaman pertama terjadi saat pelayaran Noseni bersama orang-orang Korido mencari ikan. Dalam pelayaran tersebut, kapal orang-orang Korido diterjang badai yang luar biasa. Dalam kasus seperti ini, orang Biak di masa lampau memiliki kebiasaan untuk memanggil nama-nama leluhur mereka untuk pertolongan melewati badai ini. Tapi dalam momen diterjang badai itu, Noseni mendengar suara pemanggilan yang berbeda dari orang-orang Korido, yakni "''Manseren Yesus e, wa betulung nu!''", yang dalam Bahasa Biak berarti "Tuhan Yesus, (engkau) tolonglah kami!".<ref name="Rumainum2008" />
Pengalaman kedua terjadi setelah Noseni tinggal bersama keluarga Keizer. Margareta, saudara angkatnya, meninggal setelah beberapa lama menderita penyakit kronis. Baik orang tua angkatnya maupun Noseni sendiri sangat berduka atas kepergian Margareta. Namun, Noseni menyadari bahwa segala barang yang dimiliki Margareta tidak dihancurkan dan jenazahnya dikuburkan tidak lama setelah kematian, seperti saat ayah kandungnya Sengaji sang kepala suku meninggal.
Baris 77 ⟶ 79:
Di sekolah Zending di Pulau Mansinam, Petrus belajar membaca, menulis dan berhitung, dan mampu menguasai ketiga keahlian tersebut dengan sangat cepat. Para guru Zending menyadari hal ini, dan mereka akan meminta tolong kepada Petrus untuk membantu mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung kepada teman-temannya. Di luar sekolah pun Petrus dikatakan juga membantu mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung kepada orang dewasa yang membutuhkan. Hal ini dilakukan supaya Petrus dapat menanamkan budi pekerti dan kepemimpinan dalam dunia pendidikan. Melihat perkembangan yang pesat ini, kedua orang tua angkat Petrus, David dan Lidia Keiser sangat senang.<ref name="Rumainum2008" />
David Keizer sebenarnya menginginkan Petrus untuk membantunya bekerja sebagai tukang kayu untuk Zending. Ketika Zending memerlukan pekerja untuk membangun perkampungan guru penginjil di Amberbaken (sekarang di [[Kabupaten Tambrauw]]), David menyuruh Petrus untuk mengambil pekerjaan itu. Namun di luar dugaan David, Petrus tidak setuju. Petrus menyebut bahwa dia masih ingin belajar, dan jika dia ikut bekerja sebagai tukang kayu, maka kesempatan belajarnya akan berakhir. David memahami keinginan anak angkatnya itu, dan dengan musyawarah bersama para pendeta, Petrus kemudian dikirim untuk bersekolah di sebuah Sekolah Gubernemen Kelas II berbahasa Melayu di [[Kota Ternate|Ternate]] selama satu tahun.<ref name="Rumainum2008" /><ref name=":2" />
Sepulangnya dari sekolah di Ternate, Petrus sudah fasih berbahasa Melayu dan telah belaja ilmu pengetahuan yang lebih banyak lagi. David Keizer masih menginginkan anak angkatnya itu bekerja sebagai tukang kayu di proyek kampung penginjil Amberbaken, yang pada saat itu masih berlangsung. Petrus sebenarnya menghormati keinginan ayah angkatnya, namun FJS Rumainum menuliskan bahwa Petrus berprinsip untuk tidak ingin mengambil pekerjaan yang ditentukan oleh orang tuanya<ref name="Rumainum2008" /> (menyiratkan bahwa dia ingin mengambil pekerjaan atas keputusannya sendiri). Satu sumber menyebutkan bahwa Petrus berkeinginan untuk melanjutkan belajar lagi, antara ke Sulawesi atau ke Jawa<ref name=":2" />.
Perbedaan prinsip antara David dan Petrus menyebabkan perseteruan di dalam keluarga yang harus ditengahi oleh para pendeta Zending. Diputuskan setelah bermusyawarah bahwa Petrus tetap harus mematuhi ayahnya untuk bekerja di Amberbaken sebagai tukang kayu yang bekerja sebagai tukang kayu pada hari-hari kerja, sekaligus melaksanakan penginjilan melalui kebaktian dengan para tukang kayu dan petani di sana.<ref name="Rumainum2008" /> Dengan keputusan itu, Petrus pun berangkat ke Amberbaken.
==== Melanjutkan ke Seminari Depok ====
Pada 1892, ai dan orang Papua lainnya, Timotheus Awendu, dikirim di bawah naungan misi Mansinam untuk masuk Seminari Depok untuk belajar karya misionaris.<ref name="AritonangSteenbrink2008">{{cite book|author1=Jan Sihar Aritonang|author2=Karel Adriaan Steenbrink|year=2008|url=https://books.google.com/books?id=cUoGJSs9yOUC&pg=PA352|title=A History of Christianity in Indonesia|publisher=BRILL|isbn=90-04-17026-X|pages=352–}}</ref> Kafiar menjadi guru-pengkotbah, berkayra di berbagai tempat sebelum kembali pada 1908 ke kampung halamannya. Ia menjadi pionir karya misionaris di [[Biak]].<ref name="Anderson1999" /> Ia dapat bertutur dalam [[bahasa Belanda]] dan [[bahasa Melayu]], yang ia terapkan kepada orang-orang Biak,<ref name="Rutherford2003">{{cite book|author=Danilyn Rutherford|year=2003|url=https://books.google.com/books?id=Ija7WyMrxo8C&pg=PA30|title=Raiding the Land of the Foreigners|publisher=Princeton University Press|isbn=0-691-09591-4|pages=30–}}</ref> yang dipandang sebagai kelompook Kristenisasi paling berhasil di bawah naungan Belanda.<ref name="Penders2002">{{cite book|author=C. L. M. Penders|date=31 July 2002|url=https://books.google.com/books?id=g2WtlemNDRsC&pg=PA119|title=The West New Guinea Debacle: Dutch Decolonisation and Indonesia 1945-1962|publisher=University of Hawaii Press|isbn=978-0-8248-2470-9|pages=119–}}</ref>▼
Pada 1892, ai dan orang Papua lainnya, Timotheus Awendu, dikirim di bawah naungan misi Mansinam untuk masuk Seminari Depok untuk belajar karya misionaris.<ref name="AritonangSteenbrink2008">{{cite book|author1=Jan Sihar Aritonang|author2=Karel Adriaan Steenbrink|year=2008|url=https://books.google.com/books?id=cUoGJSs9yOUC&pg=PA352|title=A History of Christianity in Indonesia|publisher=BRILL|isbn=90-04-17026-X|pages=352–}}</ref> Kafiar menjadi guru-pengkotbah, berkayra di berbagai tempat sebelum kembali pada 1908 ke kampung halamannya.
== Misi Penginjilan di Papua ==
▲
== Kematian dan warisan ==
|