Hukum adat Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ringkasan singkat
Sejarah Hukum Adat: Menambahkan Peranala dan gambar
Baris 8:
untuk mengadakan perubahan-perubahan yang dasti dalam membentuk pemerintahan yang dipimpinnya, jaman komisi jendral tahun [[1816]] M s/d [[1819]] Masehi pada jaman ini tidak ada perubahan dalam perkembangan hukum adat dan mengembalikan hukum adat yang sebenarnya dan tidak merusak tatanan yang sudah ada pada jaman sebelum masa [[Thomas Stamford Raffles]], jaman [[Johannes van den Bosch]] pada jaman ini, hukum waris itu dilakukan menurut hukum Islam pengembangan hukum adat serta hak atas tanah adalah campuran antara peraturan Bramein dan adat islam setempat, jaman Chr Baud pada jaman ini sudah banyak perhatian pada hukum adat salahsatunya tentang melindungi hak-hak ulayat<ref name="mal"/>.
 
[[Berkas:Simbol Istana.jpg|jpl|kroon kawik buttokh]]
Demikian juga putra-putra Indonesia sudah menulis disertasi mengenai hukum Adat di perguruan tinggi di Belanda, antara lain tahun [[1922]] Kusumaatmadja yang menulis tentang hak pakai dan wakaf, tahun [[1925]] Soebroto yang menulis tentang gadai sawah, pada tahun 1925 Endabumi yang menulis tentang hukum tanah, tahun [[1927]] M Soepomo yang menulis tentang hak tanah Kerajaan-kerajaan. Masa setelah kemerdekaan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, mengakui keberadaan hukum adat yang menyatakan "segala badan negara dan peraturan yang masi berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar" dalam konstitusi Republik Indonesia serikat 1949 (Konstitusi RIS) juga mengatur mengenai hukum adat antara lain dalam pasal 144 ayat (1) tentang hakim adat dan hakim agama, Pasal 145 ayat (2) tentang pengadilan adat, dan Pasal 146 ayat (1) tentang aturan hukum adat yang menjadi dasar Hukuman<ref name="mal"/>. Gubernur Jendral Hindia Belanda [[Bonifacius Cornelis de Jonge]] yang merupakan perwakilan dari Ratu Belanda [[Wilhelmina]] (Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau) tahun 1933 mendatangi kediaman pimpinan adat tertinggi pada saat terjadinya gempa bumi pada hari senin 26 Juli 1933, untuk menunjukkan pengakuan tentang kebangsawaan ... pada masa itu, merupakan tempat yang mempunyai nilai sejarah dan mempunyai nilai kebesaran tertinggi, pemerintah kolonial belanda memberikan kawik buttokh terdapat besi berbentuk kroon<ref>Gubernur Jendral Hindia Belanda Bonifacius Cornelis de Jonge yang merupakan perwakilan dari Ratu Belanda Wilhelmina (Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau) tahun 1933 mendatangi kediaman pimpinan adat tertinggi pada saat terjadinya gempa bumi pada hari senin 26 Juli 1933, untuk menunjukkan pengakuan tentang kebangsawaan ... pada masa itu, merupakan tempat yang mempunyai nilai sejarah dan mempunyai nilai kebesaran tertinggi, pemerintah kolonial belanda memberikan kawik buttokh terdapat besi berbentuk kroon.</ref>.
 
Dalam pasal 104 ayat (1) Undang-undang Dasar Sumentara 1950 (UUDS 1950) juga terdapat penjelasan mengenai dasar berlakunya hukum adat<ref name="mal"/>. Pasal tersebut menjelaskan bahwa, segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya disertakan bukti-bukti yang sebenarnya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan Undang-Undang dan aturan-aturan hukum adat mutlak yang dijadikan dasar hukuman itu. Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor II/MPRS/1960 Memberikan pengakuan badi hukum adat, yaitu: