Masjid Al-Atiiq: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
65434fedcd (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
k pembersihan kosmetika dasar, added deadend tag
Baris 1:
{{Dead end|date=Februari 2023}}
 
{{referensi}}
== Sejarah Masjid ==
ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀ꦧꦼꦱꦫꦭꦠꦶꦲꦶꦛ꧀ꦏꦲꦸꦩꦤ꧀ꦱꦭꦠꦶꦒ (Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga. Masjid ini oleh masyarakat disebut dengan nama Masjid Kauman Salatiga atau Masjid Al-Atiiq Kauman Salatiga. Masjid tertua kedua di Kota Salatiga memiliki sejarah panjang dan erat kaitannya dengan sejarah Perang Jawa atau Perang Diponegoro pada Tahun 1825-1830. Masjid dibangun sekitar tahun 1247 H/1832 M oleh Kyai Rono Sentiko/ Ki Rono Sentiko yang merupakan Abdi Ndalem Kraton Surakarta dan sekaligus Laskar Prajurit Pangeran Diponegoro ( hal ini berdasarkan dari tulisan di Mihrab Masjid). Masjid ini dulunya oleh Dinas Terkait akan dimasukkan dalam Situs Cagar Budaya sekitar tahun 2004-an. Namun, karena lamanya proses tersebut dan kurangnya edukasi terkait akan pentingnya sebuah sejarah, oleh pengurus Ta'mir dilakukan pembongkaran total bangunan masjid. Dalam sejarahnya Majid ini dahulu digunakan sebagai pusat keagamaan dan sebagai tempat untuk mengatur siasat perang.<ref>{{Cite web|title=MASJID BESAR AL-ATIIQ KAUMAN SALATIGA|url=https://alatiiqkaumansala3.blogspot.com/|website=alatiiqkaumansala3.blogspot.com|language=id|access-date=2021-11-26}}</ref>
 
=== Laskar Prajurit Diponegoro di Salatiga ===
Baris 24 ⟶ 26:
Pada masa Perang Jawa atau Perang Diponegoro, bahwa Kota Salatiga merupakan kota favorite sangat memungkinkan banyak para pejabat Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang bertempat tinggal di Salatiga. Dengan demikian Kota Salatiga bisa disebut sebagai markas militer Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.
 
Dalam upaya membantu perjuangan Pangeran Diponegoro, Pangeran Pakubuwana VI mengirim utusan abdi dalemnya yang bernama Kyai Rono Sentiko. Beliau ditugaskan untuk memata-matai pergerakan Pasukan Militer Pemerintahan Hindia Belanda di Salatiga. Di salatiga beliau bertemu dengan para laskar prajurit Pangeran Diponegoro, antara lain yakni Kyai Condro yang berasal dari magelang dan Kyai Sirojudin atau Kyai Damarjati.
 
==== Kyai Sirojudin / Kyai Damarjati ====
Baris 50 ⟶ 52:
Adaptasi percampuran budaya di Indonesia menandai adanya sebuah inovasi baru tentang arsitektur, ketika eksperimen dan penciptaan bentuk-bentuk arsitektur baru lahir dengan didorong oleh asimilasi budaya, sosial dan etika maupun norma. Walaupun berbagai jenis bangunan memiliki karakter utama struktural dan tradisi bersama, akan tetapi masing-masing juga pasti mengandung sejumlah karakter atau fitur yang dapat dikatakan sebagai pengaruh eksternal yang berasal dari sejumlah tradisi arsitektural asing.[1]
 
Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga dulunya dapat diketahui bahwa bentuk masjid sangat unik dan khas, membedakannya dengan masjid-masjid di Kota Salatiga. Tampak masjid memiliki bentuk atap tumpang bersusun empat yang merupakan bagian kepala masjid, menampilkan bangunan masjid yang khas dan membedakannya dengan jenis atau tipe bangunan tradisional Jawa lainnya.
 
Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga yang memiliki karakter bangunan sebagaimana yang ada pada arsitektur Jawa memiliki tipologi tertentu yang mendasari dan menjadi ciri-ciri khas masjid tersebut. Apabila dibagi menjadi tiga  bagian yaitu; ''kepala, badan,'' dan ''kaki,'' tampak bahwa masjid ini memiliki elemen-elemen yang berada pada tiga bagian tersebut serta memperlihatkan struktur bangunannya. Yang mengandung makna filosofi Iman, Islam dan Ihsan[2]
Baris 80 ⟶ 82:
a.       Mihrab
[[Berkas:Mihrab Masjid.jpg|kiri|jmpl|290x290px|Mihrab]]
 
 
 
 
Mihrab atau dikenal sebagai tempat imam. Masjid Besar Al-Atiiq kauman Salatiga memiliki Mihrab yang dulunya digunakan sebagai tempat shalat pejabat Bupati/Patih. Mihrab ini sampai sekarang masih dan dipergunakan sebagai tempat imam sholat. Mihrab ini dibuat pada saat masjid di bangun yakni sekitar tahun 1837 M.
Baris 100 ⟶ 99:
e.       Bedug dan Kentongan
 
Bedug merupakan isntrumen musik tradisi-onal yang digunakan sejak ribuan tahun lalu, yang memiliki fungsi sebagi alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik. Bedug sejarahnya berasal dari India dan China. Sejarahnya ketika Laksamana Cheng Ho datang ke Semarang. Kemudian Cheng Ho pergi dan hendak memberikan hadiah, raja Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah, bedug menjadi bagian dari masjid dan digunakan sebagai panggilan sebelum adzan waktu shalat.[3]
 
Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga memiliki sebuah bedug dan kentongan yang dulunya digunakan sebagai penanda masuknya waktu shalat sebelum adzan dikumandangkan dan ketika iqomah diperdengarkan. Yang artinya digunakan sebagai penada waktu sholat dan penanda waktu akan dimulainya sholat berjamaah di masjid. Tapi, bedug ini sekarang di tabuh atau dibunyaikan ketika akan shalat Jum’at, kemudian ketiha hari raya dan ketika selesai shalat tarawih pada bulan Ramadhan.
Baris 121 ⟶ 120:
 
==== Menara al-Anbiya ====
menara ini berada di depan bagian utara masjid yang dibangun pada tahun 2015 yang menelan biaya Rp. 200.605.000 selama 9 bulan. Menara ini di resmikan pada tanggal 18 Oktober 2015 oleh Walikota Salatiga Yuliyanto, SE., MM. keberadaan menara ini digunakan sebagai tempat toa/ speaker, sebagai keamaan dan kemegahan serta setetika masjid. Menara ini dinamakan dengan Menara al-Anbiya dikarenakan tinggi menaran kurang lebih 25 meter dan disesuaikan dengan 25 jumlah Nabi dan Rasul.
 
==== Fasilitas Masjid ====
Baris 137 ⟶ 136:
Pada masa penjajahan Jepang, Masjid Besar Kauman Salatiga masih digunakan sebagai kantor pengadilan Agama Kota salatiga pada tahun 1942-1945. Pada masa penjajahan Jepang ini memang hanya sebentar karena pada saat itu Jepang dihadapkan dengan berbagai pertempuran.[4]
 
Pada masa Kemerdekaan serambi Masjid Besar Kauman Salatiga masih digunakan sebagai Peradilan Agama Kota Salatiga yakni pada tahun 1945 sampai sekitar tahun 1960an.[5] Pada tahun 1949 yang menjabat sebagai Ketua adalah Kyai Irsyam yang dibantu 7 pegawai.  Setelah kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 Masjid Besar Kauman Salatiga juga digunakan sebagai Kantor Urusan Agama (KUA) Kabupaten Semarang di Kota Salatiga sekitar pada tahun yang sama.[6]
 
Selain sebagai tempat Peradilan Agama, Masjid Besar Kauman Salatiga dahulu juga digunakan sebagai kantor Departemen Agama Kabupaten Semarang (sekarang: Kementerian Agama yang sebelumnya bernama Kantor Urusan Agama (KUA)). Kementerian Agama Kabupaten Semarang berdiri pada tahun 1974 dengan nama Kantor Perwakilan Departemen Agama Kabupaten Semarang yang berlokasi di Salatiga. Pada saat itu, Kepala Kantor Perwakilan Depertemen Agama adalah Bapak KH. M. Bakrie Tolchah (Alm) yang juga merupakan pengelola Masjid Besar Kauman Salatiga. Kantor Perwakilan Depertemen Agama Kabupaten Semarang di salatiga ini menenpati area Masjid Besar Kauman Salatiga selama kurang lebih 3 tahun yakni sekitar tahun 1974 sampai dengan tahun 1976.<ref>{{Cite web|title=Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Dibangun Abdi Dalem Keraton Surakarta|url=https://wawasan.co/news/detail/19046/masjid-besar-al-atiiq-kauman-dibangun-abdi-ndalem-kraton-surakarta|website=Wawasan|access-date=26 Mei 2022}}</ref>