Emha Ainun Nadjib: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Perbarui referensi situs berita Indonesia |
|||
Baris 118:
=== Detik-detik Lengsernya Soeharto ===
Mei 1998, kerusuhan pecah di berbagai kota, termasuk [[Kota Surakarta|Surakarta]], [[Kota Bandung|Bandung]], dan [[Kota Palembang|Palembang]] usai terjadi penembakan dalam demonstrasi yang menewaskan mahasiswa [[Universitas Trisakti]] tanggal 12 Mei. Dikenal dengan [[Tragedi Trisakti]]. Jakarta rusuh tanggal 13 Mei, dan puncaknya, 15 Mei, beberapa pusat perbelanjaan di [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]] hangus terbakar. Ratusan orang tewas.<ref name=":19">{{Cite news|url=https://tirto.id/diminta-para-ulama-untuk-mundur-soeharto-bergeming-cKKp|title=Diminta Para Ulama untuk Mundur, Soeharto Bergeming|last=Firdausi|first=Fadrik Aziz|date=19 Mei 2018|work=[[Tirto|Tirto.id]]|access-date=6 Desember 2019|language=id}}</ref> 16 Mei, di tengah suasana Jakarta yang rusuh, beberapa intelektual berkumpul di Hotel Regent. Di antaranya Cak Nun dan [[Nurcholish Madjid|Nurcholish Madjid (Cak Nur)]]. Dalam pertemuan ini, didiskusikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengakhiri krisis ekonomi-sosial-politik yang intinya, Soeharto harus lengser. Tapi bagaimana caranya menyampaikan itu ke [[Soeharto]], karena sebelumnya pernah ditempuh lewat [[Muhammad Quraish Shihab|Quraish Shihab]], tapi [[Menteri Agama|menteri agama]] ini menolaknya. Cak Nun pada pertemuan itu mengeluarkan ide untuk membentuk opini bersama militer.<ref name=":20">{{Cite news|url=https://majalah.tempo.co/read/87640/di-balik-detik-detik-itu|title=Di Balik Detik-
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib di Padhangmbulan 1998.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib menyatakan tegas bahwa Soeharto harus turun, saat Padhangmbulan 11 Mei 1998.]] Ide pembentukan opini ini sebelumnya sudah dilakukan Cak Nun pada forum '''Padhangmbulan''' tanggal 11 Mei di [[Kabupaten Jombang|Jombang]] yang menyampaikan seruan Soeharto untuk lengser, waktunya sudah hampir habis.<ref name=":19" /> Cak Nun juga menerbitkan ''Selebaran Terang Benderang'', sudah ditulis sejak tanggal 8 Mei dan dikirimkan ke berbagai media massa namun tidak ada yang memuatnya. Cak Nun menyatakan tegas: “Pak Harto Turun, TNI Berpihak Pada Rakyat”. Secara khusus di pertemuan Padhangmbulan itu, Cak Nun mengajak masyarakat melantunkan wirid dan zikir bersama yang dipuncaki pembacaan Hizib Nashr yang dipimpin Bu Chalimah, ibunda beliau.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=FBBpDAAAQBAJ&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana|last=Nadjib|first=Emha Ainun|publisher=Bentang|year=2016|isbn=978-602-291-206-4|location=Yogyakarta|pages=3 dan 10|url-status=live}}</ref>
Baris 134:
Merespons pertemuan itu, Amien Rais mengadakan konferensi pers di kantor [[Muhammadiyah|PP Muhammadiyah]]. Ia mengatakan bahwa dengan tak memberi gambaran program dan tempo yang jelas, Soeharto sama sekali tak memberi titik cerah kepada masyarakat. Itu juga menandakan dengan gamblang Soeharto gagal membaca aspirasi rakyatnya.<ref name=":19" />
Pada hari yang sama dengan pertemuan di Istana Merdeka itu, 14 menteri [[Kabinet Pembangunan VII]] menandatangani surat pengunduran diri dari kabinet, di [[Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional|Gedung Bappenas]] dan menolak dimasukkan ke dalam Kabinet Reformasi atau Komite Reformasi yang akan dibentuk. Mereka adalah [[Akbar Tanjung]], [[A.M. Hendropriyono]], [[Ginandjar Kartasasmita]], [[Giri Suseno Hadihardjono]], [[Haryanto Dhanutirto]], [[Justika Baharsjah|Justika S. Baharsjah]], [[Kuntoro Mangkusubroto]], [[Rachmadi Bambang Sumadhijo]], [[Rahardi Ramelan]], [[Sanyoto Sastrowardoyo]], [[Subiakto Tjakrawerdaya]], [[Sumahadi]], [[Tanri Abeng]], dan [[Theo L. Sambuaga]].<ref name=":23">{{Cite news|url=https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180520212528-20-299827/hari-ini-20-tahun-silam-saat-soeharto-bertekuk-lutut|title=Hari Ini 20 Tahun Silam: Saat Soeharto Bertekuk Lutut
Keesokannya, 20 Mei, Soeharto menganggap pengunduran para menterinya yang ramai-ramai mundur, hanya rumor. Sampai Yusril yang berada di kediaman Soeharto di jalan Cendana, [[Menteng, Jakarta Pusat|Menteng]], [[Kota Administrasi Jakarta Pusat|Jakarta Pusat]], mendapat kabar kepastian mundur itu langsung dari Akbar Tanjung, yang menunjukkan kopian surat pengunduran. Surat disampaikan ke Saadilah Mursyid, dan akhirnya Soeharto pun mendapat kepastian kabar itu. Merasa kehilangan dukungan politik, tidak didukung tokoh-tokoh yang menemuinya, dan masyarakat sudah ngamuk, “resepsi” lengser itu pun akhirnya terjadi. Pagi hari pukul 09.00, tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia di Istana Negara, dan kemudian Wakil Presiden [[B. J. Habibie|B.J. Habibie]] dilantik menjadi Presiden.<ref name=":20" />
Baris 182:
Soeharto mengundang Cak Nun kembali ke Cendana tanggal 4 Februari 1999, dan skenario berubah. Karena Soeharto khawatir acara yang rencananya dihadiri 10.000 undangan itu bisa menimbulkan masalah yang memancing demo dan menambah huru-hara. Soeharto tetap berniat melakukan ''taubat nasuha'' meskipun tidak dilakukan di tempat acara Cak Nun digelar. Ia akan melakukannya di masjid dekat rumahnya, Masjid Bimantara, [[Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat|Kebon Sirih]], dan berjanji akan menjelaskan soal pertobatannya pada 28 Februari 1999 di masjid dekat kediaman Gus Dur di [[Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan|Ciganjur]].<ref name=":29" /> Setelah pertemuan kedua itu, kepada wartawan Cak Nun menegaskan, “Ini ide saya dan bukan maunya Pak Harto. Mau datang atau tidak bukan urusan saya.”<ref name=":28" />
Meskipun Soeharto bersumpah untuk bersedia mempertanggungjawabkan kesalahannya dan mengembalikan harta yang dituduhkan telah dicurinya dengan dibuktikan pengadilan, namun hingga wafatnya tahun 2008, Soeharto tidak pernah sekalipun diadili oleh penegak hukum Republik Indonesia.<ref>{{Cite news|url=https://news.detik.com/berita/883729/korupsi-soeharto-sulit-diadili-karena-dilegalkan-peraturan|title=Korupsi Soeharto Sulit Diadili Karena Dilegalkan Peraturan
== Maiyah ==
Baris 233:
=== Opinium ===
[[Berkas:Tampilan fitur Sinau Bareng pada aplikasi Opinium.jpg|jmpl|Tampilan fitur Sinau Bareng pada aplikasi Opinium]] Konsep '''Sinau Bareng''' yang lahir dari rahim Maiyah yang berangkat dari kultur berdaya bersama ini, selanjutnya bisa diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan. Tidak harus berupa pengajian dalam skala besar, yang terpenting inti konsepnya membangun kecerdasan bersama, bisa diaplikasikan. Seperti yang digunakan dalam aplikasi bersistem operasi [[Android (sistem operasi)|Android]] bernama '''Opinium'''.<ref name=":36">{{Cite web|url=https://play.google.com/store/apps/details?id=com.extrainteger.opinium|title=Opinium|last=|first=|date=|website=Google Play Store|access-date=19 Desember 2019}}</ref> Sebuah aplikasi berbasis komunitas yang menyediakan alternatif kurasi informasi. Kurasi ini dibangun dari diskusi untuk menguji bersama keabsahan sebuah informasi, demi menghindari hoaks.<ref>{{Cite news|url=https://tekno.tempo.co/read/1085887/opinium-aplikasi-penguji-hoaks-karya-pemuda-jatim/full&view=ok|title=Opinium, Aplikasi Penguji Hoaks Karya Pemuda Jatim
Salah satu fitur utama dalam aplikasi Opinium adalah '''Sinau Bareng'''. Melalui fitur ini, setiap pengguna dapat membangun reputasi dan kredibilitas mereka melalui interaksi silang berbagai bidang studi. Semua pendapat dan diskusi di forum '''Sinau Bareng''' dapat diuji dan dikuratori oleh pengguna lain. Dengan parameter manfaat visual terbuka, Sinau Bareng menjadi laboratorium interaksi informasi yang penggunanya dapat menilai seberapa besar pengaruh dampak positif setiap pengguna.<ref name=":36" />
Baris 447:
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib menerima Anugerah Adam Malik.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib ketika menerima Anugerah Adam Malik tahun 1991.]] [[Berkas:Emha Ainun Nadjib menerima HIPIIS Award 2017.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib menerima HIPIIS Social Science Awards 2017.]] September 1991, Cak Nun menerima penghargaan '''Anugerah Adam Malik''' di Bidang Kesusastraan yang diberikan Yayasan Adam Malik. Penyerahan anugerah ini diselenggarakan di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta. Keputusan anugerah ini berdasarkan hasil seleksi lima orang juri, yaitu [[Rosihan Anwar]], Adiyatman, Lasmi Jahardi, [[Wiratmo Soekito]], dan [[Ami Prijono|Amy Prijono]].<ref>{{Cite news|url=|title=Anugerah Adam Malik Untuk Emha|last=|first=|date=5 September 1991|work=Jawa Pos|access-date=15 Desember 2019}}</ref><ref>{{Cite news|url=|title=Barangkali Saya Memang Konservatif|last=|first=|date=10 September 1991|work=Jawa Pos|access-date=15 Desember 2019}}</ref>
Bulan Maret 2011, Cak Nun memperoleh Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari [[Negara Kesatuan Republik Indonesia]].<ref name="antaranews.com_MenbudparSematk" /> Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) [[Jero Wacik]], penghargaan diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa penerimaya memiliki jasa besar di bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.<ref name="antaranews.com_MenbudparSematk">{{Cite
Pada pergelaran [[Festival Film Indonesia 2012|Festival Film Indonesia (FFI) 2012]], Cak Nun dinominasikan dalam kategori penulis [[Cerita Asli Terbaik Festival Film Indonesia|Cerita Asli Terbaik]] untuk cerita film [[Rayya, Cahaya di Atas Cahaya]]. Film ini juga mendapatkan dua nominasi lain yaitu [[Tio Pakusadewo]] sebagai [[Pemeran Utama Pria Terbaik Festival Film Indonesia|Pemeran Utama Pria Terbaik]], dan [[Christine Hakim]] sebagai [[Pemeran Pendukung Wanita Terbaik Festival Film Indonesia|Pemeran Pendukung Wanita Terbaik]].<ref>{{Cite news|url=https://regional.kompas.com/read/2012/11/27/13280058/diunggulkan.dapat.penghargaan.reaksi.tio.datar|title=Diunggulkan Dapat Penghargaan, Reaksi Tio Datar|last=|first=|date=27 November 2012|work=[[Kompas.com]]|access-date=13 Desember 2019|editor-last=Sofyan|editor-first=Eko Hendrawan}}</ref>
Dalam Kongres HIPIIS (Himpunan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) ke-10 yang diselenggarakan tahun 2017, Cak Nun memperoleh '''HIPIIS Social Sciences Award 2017''' karena dipandang sebagai contoh ilmuwan sosial yang objektif dan mandiri, serta merupakan sosok yang kritis, independen, dan produktif. Cak Nun memperoleh penghargaan ini bersama ilmuwan [[Siti Zuhro|Prof. Dr. R. Siti Zuhro M.A.]]<ref>{{Cite web|url=http://lipi.go.id/lipimedia/cak-nun-dan-siti-zuhro-raih-penghargaan/18737|title=Cak Nun dan Siti Zuhro Raih Penghargaan|last=|first=|date=10 Agustus 2017|website=LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)|access-date=13 Desember 2019}}</ref>
|